Mohon tunggu...
Suyono Apol
Suyono Apol Mohon Tunggu... Insinyur - Wiraswasta

Membaca tanpa menulis ibarat makan tanpa produktif.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anomali Demokrasi pada Pilkada Serentak 2015

24 Juli 2015   19:15 Diperbarui: 1 Desember 2015   15:54 1999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Pilkada Serentak 2015 - Sumber Gambar: lensaindonesia.com"][/caption]Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2015 (PKPU 12/2015) mengatur antara lain tentang solusi apabila calon kepala daerah cuma ada satu pasang. Ternyata keputusan tersebut malah berpotensi menimbulkan berbagai komplikasi yang bisa berujung pada praktik-praktik yang justru bertentangan dengan demokrasi.

Petahana terlalu kuat

Mengingat mahalnya biaya mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada), tentu sangatlah konyol bagi para calon pasangan kepala daerah untuk sekadar menjadi penggembira dengan kans yang tipis, katakanlah cuma satu digit. Ini bukan sekadar teori, tapi fakta di lapangan membuktikan kemungkinan tersebut, dan adalah fakta juga bahwa calon kuat yang mereka takuti itu ternyata semuanya adalah petahana kepala daerah setempat.

Peraturan KPU yang mengaturnya

Pada dasarnya, berikut ini adalah inti pasal yang relevan dari PKPU tersebut. Dalam hal sampai dengan akhir masa pendaftaran terdapat kurang dari dua pasangan calon maka masa pendaftaran pasangan calon diperpanjang paling lama tiga hari. Kalau sampai dengan berakhirnya perpanjangan masa pendaftaran terdapat masih kurang dari dua pasangan calon maka maka seluruh tahapan dan pemilihan ditunda sampai pada pemilihan serentak berikutnya (dalam hal ini adalah sampai Pilkada 2017).

Penjabat kepala daerah selama masa penundaan

Selama masa penundaan pilkada akan terjadi kekosongan jabatan kepala daerah (dan wakilnya) yang definitif untuk waktu yang cukup lama. Kekosongan ini akan diisi oleh penjabat sementara kepala daerah, namun penjabat sementara ini memiliki kewenangan-kewenangan terbatas, tidak bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang strategis.

Sumber lain menggunakan istilah pelaksana tugas, yang menurut penulis adalah lebih tepat, dan lebih penting lagi, kewenangannya lebih luas. Mengenai siapa yang akan mengisi kekosongan kepemimpinan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mewacanakan bahwa dirinyalah yang akan memilih pelaksana tugas jika kekosongan itu pada jabatan gubernur. Sedang untuk bupati dan wali kota, maka gubernurnya yang akan mengirimkan pejabat eselon II ke Kemendagri. Nanti Kemendagri yang menentukan.

Berbagai dampak dari peraturan tersebut

  1. Pelaksanaan demokrasi yang benar diharapkan menyerap aspirasi rakyat seluas-luasnya secara adil dan benar. Apabila seorang kepala daerah berkinerja sedemikian bagusnya dan sangat dicintai rakyatnya, ia akan menjadi petahana kepala daerah yang sangat kuat dan bisa membuat semua calon lainnya mundur sambil mengempit ekor. Dalam keadaan demikian, demokratiskah apabila petahana itu dilengserkan menjadi pengangguran sampai pilkada serentak berikutnya andaikan Kemendagri menunjuk orang lain sebagai pelaksana tugas kepala daerah? Bukan rahasia lagi kalau Mendagri adalah petugas partai tertentu. Risma adalah salah satu contoh petahana yang kuat. Meskipun kebetulan ia dan Mendagri berasal dari partai yang sama, tapi haruskah hasil yang sama (dengan pilihan rakyat) ditempuh secara kebetulan dan tergantung pada perintah seorang ketua umum partai?
  2. Para politisi pengecut akan menggunakan celah peraturan KPU itu untuk menjegal dan melemahkan petahana yang terlalu kuat. Mereka dengan sengaja tidak maju pada Pilkada 2015, sehingga petahana tidak memiliki saingan, kemudian penyelenggaraan pilkada setempat ditunda sampai Pilkada 2017. Karena petahana itu tidak menjabat untuk waktu yang cukup lama, diharapkan ia menjadi lemah saat maju pada tahun 2017 nanti.
  3. Petahana yang kuat dan bergizi yang tidak memiliki lawan, justru diam-diam mensponsori dimajukannya lawan abal-abal, lawan yang maju untuk jadi samsak (sandsack) saja. Bayangkan pemenangnya nanti akan memperoleh suara lebih besar dari 90%, mengapa lawannya mau buang-buang duit dengan sia-sia?

Akhirnya sebagai penutup, penulis berpendapat, kalau ada calon tunggal, sesungguhnya memang dialah yang paling pantas menjadi kepala daerah.

Sumber Gambar: lensaindonesia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun