Nah pada saat seorang raksasa itu menunjukkan kelincahannya.  Mungkin saking semangatnya, gerakan salah satu tangannya  menyenggol rahangnya yang panjang, sehingga "rahang" raksasa Cakil yang panjang itu menjadi terlepas.  Raksasa Cakil itu kemudian menghadap ke layar, membelakangi panggung sambil berjongkok, membenahi "propertinya" yang rusak.  Sementara raksasa Cakil yang lain, melakukan penyerangan kepada kesatria itu.  Sehingga "insiden" rahang Cakil yang rusak itu tidak begitu diperhatikan oleh penonton.
Setelah "rahang" bisa diperbaiki, maka kembalilah raksasa Cakil itu membantu temannya menyerang kesatria yang tangkas meladeni pengeroyokan itu.  Lagi ramai-ramainya mereka berkelahi, tiba-tiba musik, gendhing  pengiring tari terhenti.  Berbunyi lagi gendhing itu, tapi kemudian berhenti lagi.  Yang sedang pentas di panggung, berharap  gendhing iringan tersebut kembali berbunyi, mereka tetap melakukan gerakan-gerakan tarian.  Tetapi tidak dalam keadaan mereka bertarung, tetapi hanya semacam melakukan dialog dengan tangan-tangan  yang digerakkan atau dalam gerak tari disebut "ulap-ulap".
Setelah menunggu beberapa saat, musik gendhing tari tidak kunjung berbunyi, akhirnya pemeran kesatria dan dua raksasa Cakil akhirnya turun panggung.  Kutebak saja, kemungkinan musik yang digunakan menggunakan iringan musik YouTube, dan di saat sinyal HP lemah, maka musik akan terjeda atau bahkan terhenti.  Padahal perkelahian kesatria dan raksasa Cakil baru tahap awal, Cakil belum kena hantaman tangan kesatria dan raksasa Cakil belum mengeluarkan keris dan belum juga ada adegan mereka mati oleh keris mereka sendiri.  Eh, pertunjukan sudah bubar, secara filosofi, kebenaran belum sempat memenangkan kejahatan.  Berarti apakah itu  gambaran bahwa kejahatan masih merajalela?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H