Nanang Widjaya menurut penilaian Aak Nurjaman dalam proses melukisnya menunjukkan pandangan yang berbeda dengan para pelukis terkini. Ia menekankan pentingnya menggali teknik dasar melukis seperti yang banyak dilakukan oleh para pelukis 'on the spot' pada era 'Moi Indie' era pelukis Belanda saat melukis orang-orang Hindia Belanda saat itu.
Nanang Widjaya menurut Aak Nurjaman gemar melancong ke kota-kota baik di dalam maupun luar negri dan tentu saja sambil melukiskan kehidupan kota atau bangunan-bangunan bersejarah yang dikunjunginya. Di antara bangunan-bangunan kuno itu ada yang menjadi objek pariwisata, tetapi ada pula yang sudah dirobohkan dan diganti dengan bangunan yang baru. Namun demikian, bagi Nanang Widjaya, menurut Aak Nurjaman lebih lanjut, betapapun bangunan-bangunan heritage itu tengah berubah fungsi, ia tetap memancarkan vibrasi estetika kesejarahan.
"Bangunan-bangunan kuno itu seakan memanggil saya untuk melukiskannya, karena sangat mungkin suatu saat akan dirubuhkan seperti halnya Gedung koran 'De Locomotif' di Semarang yang memiliki nilai sejarah perintisan negara Republik Indonesia. Tetapi kini sudah tidak ada lagi.", Ungkap Nanang yang dicatat Aak Nurjaman berdasar pada podcast tahun 2020 lalu. Â Bangunan kuno itu nampak dalam karya-karyanya, antara lain: "Candi Prambanan" (2024), "Goddes of Mercy Temple" (2023), "Pura Tabanan Bali" (2024), "Puri Ubud Bali" (2022), "Pura Samuan Tiga" (2019) dan "Klenteng Gondomanan" (2024).
Â
Bagi orang yang awam lukisan, melihat lukisan-lukisan Nanang Widjaya yang tengah dipamerkan, pasti tertarik dengan guratan lukisan dan perpaduan warna cat air yang digunakan. Â Obyek yang sehari-hari bisa dilihat berupa candi Borobudur, Kalasan, Klenteng, Kampung Pecinan dan lain-lain menjadi lebih menarik dengan coretan stilasi terhadap obyek tersebut. Â Melihat lukisan Nanang Widjaya seolah obyek-obyek itu menjadi hidup, bersinar dan bergetar.
Lihat saja lukisan Caffe Ho Ping Pecinan karya tahun 2020 berukuran 90x200 cm yang dipatok harga Rp. 75.000.000. Â Atau lukisan Kalasan Temple berukuran 80x60 cm yang dipatok harga Rp. 35.000.000. Â Atau lukisan Borobudur Temple berukuran 150 x 200 cm yang dipatok harga Rp. 150.000.000.
"Harga lukisan cat air saat ini harganya tidak kalah dengan harga lukisan cat minyak," demikian ujar Nanang Widjaya dalam chat WA.  Kalau melihat rata-rata harga lukisan Nanang Widjaya yang dipajang di pameran yang rata-rata seharga Rp. 35.000.000 memang terasa mulia sekali lukisan dengan bahan cat air di atas kanvas ini.  Dalam ukuran yang lebih kecil, Nanang Widjaya memang mematok harga berkisar Rp. 9.000.000.  Lihat saja beberapa lukisan seperti Gereja Blenduk 2023 | watercolour on canvas | 30 x 40 cm, Goddess of Mercy  2022 | watercolour on canvas | 30 x 40 cm, Sudut Pecinan 2022 | watercolour on canvas | 40 x 30 cm, Warung Bu Jumiyati  2024 | watercolour on canvas | 30 x 40 cm, Hong Se Si Temple Kuching Sarawak 2023 | watercolour on canvas | 30 x 40 cm dan masih ada beberapa lainnya.
Work Shop Keunggulan Lukisan Cat Air
Kepiawaian Nanang Widjaya dalam memanfaatkan cat air untuk karya lukisannya juga ditularkan kepada orang lain. Â Oleh karena itu dua hari berturut-turut di tempat pamerannya Sabtu dan Minggu, 31 Agustus dan 1 September 2024 diadakanlah work shop.Â
Di dalam materi work shop disampaikannya bahwa dari hasil penemuan ilmu cat air di atas kanvas yang memungkinkan saat ini sudah jarang sekali atau mungkin tidak ada pelukis cat air Indonesia yang mendalaminya maupun mengerjakannya dimana pada umumnya cat air hanya di kerjakan di atas kertas saja.