Beliau memberi jawaban,"Kita harus sehat selalu sekarang dan selamanya dan kita harus berbuat kebajikan untuk kepentingan orang banyak." Saya kemudian teringat saat kami berkunjung ke rumahnya tahun lalu, kemudian pulang diberi sebuah lukisan yang sekarang saya pajang di ruang tamu.
Juga teringat saat anak sulung saya menikah 2022, beliau datang ke Jepara bersama mbak Atik jauh-jauh dari Jogja sambil meneteng lukisan sebagai hadiah.
Demikian pula teringat saat kunjungan ke Jogja 10 bulan yang lalu bersama istri, kami diberi tanaman melati Belanda, tanaman bunga ketelang bersama potnya serta bunga ketelang yang telah dipak siap dikonsumsi dan biji bunga ketelang, yang sampai hari ini belum semuanya kami tanam. Oh ya, saat saya menikahi mamanya anak-anak 2 Agustus 1992, di Blora beliau datang bersama mbak Atik memberi kado cermin dengan bingkai ukir kepala burung garuda.
Godod Sutejo lahir di desa Tameng Girikikis Giriwoyo Wonogiri, 12 Januari 1953 pada jam 6.15, hari Senin Legi wuku Madangkungan. Anak kedua dari pasangan Siswomiharjo dan Sutihartini. Ayahnya adalah seorang Kepala Sekolah Guru Sekolah Rakyat. Namun soal pendidikan karakter, neneknya lebih dominan menanamkan prinsip-prinsip perilaku spiritual orang Jawa. Sejak kecil Godod sudah dilibatkan dalam olah batin, tirakat atau laku prihatin sebagai pondasi penting.
Godod Sutejo adalah cucu dari Ronggo Tarusarkoro, seorang penari Mangkunegaran Solo dengan pangkat Jajar Ongko Loro. Neneknya bernama Sumani, keturunan trah Banteng Lanang Kediri, selain dikenal sebagai spiritual, Eyang Sumani punya kemampuan menyembuhkan luka bakar atau luka akibat terkena api.Â
Lingkungan keluarga Jawa yang memiliki kedekatan dengan Keraton Mangkunegaran Solo telah membentuk Godod Sutejo sebagai pribadi yang kokoh, pantang menyerah, dan pekerja keras. Keterlibatannya dengan ritual-ritual kejawen di masa kecil telah terekam di ruang memorinya.
Selamat jalan mas Godod Sutejo, saat kulihat lukisan-lukisanmu...terasa benar alam sunyi yang menjadi tema lukisan itu. Sampai berjumpa nanti di keabadian, alam kekal, entah itu hiruk pikuk entah itu sunyi, yang pasti keindahannya tak dapat terlukiskan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H