Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Pameran Lukis Godod Sutejo, Lukisan Alam Sepi Bisa Jadi Terapi

17 Agustus 2024   11:13 Diperbarui: 17 Agustus 2024   13:45 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pameran Lukis Godod Sutejo, Lukisan Alam Sepi Bisa Jadi Terapi

Oleh: Suyito Basuki

Suatu ketika Godod Sutejo (71) pelukis senior Jogja, di sanggar Posnya Seni Godod sekaligus rumah kediamannya Gang Rakhmat Jalan Suryodiningratan MJ II/ 641 Yogyakarta berkata,"Lukisan saya bisa menjadi sebuah terapi bagi orang-orang yang lagi stres."

Benar juga, saat mengamati lukisan khas Godod Sutejo yang memiliki gradasi warna, sering menggambarkan alam luas dengan manusianya yang bagaikan noktah, saat mengapresiasi jiwa akan merenung, nglangut, kontemplatif timbulah sebuah katarsis yang meneduhkan alam pikiran.  Barangkali itulah yang disebut sebuah terapi.

Pameran tunggal Godod Sutejo dengan tajuk "Manjing" yang terselenggara di Galeri Kiniko Art Room SaRanG Building II, Kalipakis, RT5/II, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Indonesia yang disuport Yudi Pigura 14-31 Agustus 2024 ini menampilkan lukisan-lukisan Godod Sutejo yang berciri khaskan alam luas.  Kata "Manjing" sendiri dalam bahasa Jawa menurut kamus Bausastra Jawa terbitan Kanisius bermakna "mlebu". 

Lukisan Alam Sepi

Ada yang menyebut lukisan Godod Sutejo adalah lukisan alam sepi.  Menurut Agus Dermawan T seorang pengamat seni rupa, penulis buku-buku budaya dan seni, Godod Sutejo yang tidak bisa menghadiri pembukaan pamerannya karena sedang terbaring di rumah sakit, melukis berdasarkan filsafat Jawa yang menyatakan sing ana iku ora ana, sing ora ana iku ana.

Lengkapnya Agus Dermawan T menjelaskan,"Godod melukis segala sesuatu dengan atmosfir demikian ternyata  diberangkatkan dari sebuah alasan. Dan alasan itu merujuk kepada filsafat Jawa : Sing ana iku ora ana. Sing ora ana iku ana. (Yang ada itu sebenarnya tidak ada. Sementara yang tidak ada sesungguhnya ada). Atau dalam ungkapan Jawa yang agak berbeda: Sing ana kuwi dudu, sing ora ana kuwi sejatine sing ana. (Yang ada itu sebenarnya bukan yang benar-benar ada, sementara yang "tidak ada adalah yang sesungguhnya ada)."

"Sehingga segala benda yang tergambarkan di kanvasnya selalu melebur halus dalam kabut. Manusia, hewan, pohon, bangunan dan sebagainya larut dalam udara, setelah semua mahluknya menjadi semut-semut melata. Menjadi benda mikrokosmos dalam bentangan makrokosmos. Dan hanya hadir sebagai jejeran noktah dalam habluran asap saja," demikian lanjut Agus Dermawan T.

Subroto Sm mengagumi ditil lukisan bersama Riwo, didampingi Yudi Pigura, sponsor pameran (sumber dokumen: Rakhmat S)
Subroto Sm mengagumi ditil lukisan bersama Riwo, didampingi Yudi Pigura, sponsor pameran (sumber dokumen: Rakhmat S)

Subroto Sm yang membuka pameran memberi pendapatnya terkait lukisan alam sepi Godod Sutejo," Ketika kita menyaksikan lukisan-lukisan karya Godod Sutejo, kita dihadapkan dengan pemandangan alam yang luas, sepi, dan terasa nglangut. Ada kerumunan orang dalam berbagai aktivitas. 

Namun kerumunan orang tersebut dalam ukuran sangat-sangat kecil. Maka saya, atau juga mungkin orang lain, punya kesan sama, yakni lukisan- lukisan Godod akan membawa penonton/penikmatnya untuk berefleksi, merenung, atau berkontemplasi: betapa kecilnya manusia, makhluk tertinggi ini dihadapkan dengan alam raya yang demikian luas. Gaya lukisan yang demikian unik tersebut, telah menjadi ciri khasnya dan menjadi kekuatan Godod dalam mengekspresikan ide-idenya di kanvas hingga hari ini."

"Berawal dari kegelisahan untuk menemukan jati diri dalam lukisannya, karena tuntutan kurikulum di Jurusan Seni Lukis ASRI, Godod pergi menyepi ke Pantai Samas. Ketika ia sedang duduk merenung, dari kejauhan ia melihat kerumunan dan gerak-gerik orang yang tampak kecil sekali. Seketika pemandangan ini telah menggugah kesadaran estetisnya untuk melukiskannya di kanvas. Sejak peristiwa tersebut, lebih kurang di tahun 1974, Godod merasa mantap dengan pilihan gayanya yang ia pegang  dengan teguh hingga sekarang," demikian lanjut Subroto Sm yang adalah alumnus dan mantan pengajar FSR ISI Yogyakarta.

"Dalam kacamata saya, lukisan Godod mempunyai pesan agar manusia sadar, rendah hati, dan jangan jumawa. Oleh karenanya, jika manusia ingin bahagia, mesti bisa menjaga kesatuan hidup yang harmonis dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta langit, bumi, dan seisinya," tandas Subroto Sm yang tinggal di bilangan Jl. Sosrodiningratan Yogyakarta bertetanggaan dengan Godod Sutejo.

Yaksa Agus  dalam penilaiannya terhadap Godod Sutejo yang sering mengelola pameran bersama seperti FKY dan memasarkan karya teman-teman sesama pelukis melalui galerinya menyebutkan,"Kiprahnya dalam seni rupa menjadikan Godod lebih pas jika disebut sebagai Bapak Manajemen Seni Yogyakarta. Di saat orang belum tertarik menekuni bidang ini, Godod lebih dulu terjun di bidang ini sejak masih muda."

Gradasi warna dan obyek yang kecil (foto: Yahya Kumarawangi)
Gradasi warna dan obyek yang kecil (foto: Yahya Kumarawangi)

Godod Sutejo yang kelahiran Dusun Tameng, Desa Girikikis, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Senin Legi, 12 Januari 1953 atau 14 Ba'dal Mulud, Taun Ehe 1884, tepat pada kalender Mangsa Kapitu, jatuh pada Wuku Madangkungan ini, menurut Yaksa Agus," Pameran tunggalnya kali ini bukan lagi sebagai refleksi kehidupan yang telah dan sedang dijalani, melalui pembelajaran mulai dari ranah jiwa dan raga. Ranah jiwa, Godod melatih rasa kramadangsa-nya dengan  melakukan perjalanan spiritual; melalui sosok empu maupun para pakar ilmu mengasah rasa menuju rasa sejati. Kontemplasi ritual dilakukan untuk menemukan arti hidup dan makna hidup dalam kehidupannya. Laku spiritual dengan pengembaraan batin ini menemukan "ati" dalam berkaryanya," demikian Yaksa Agus seorang penulis yang mengaku fitrahnya sebagai pelukis.

Terkait dengan tajuk "Manjing" dalam pameran lukis ini, Yaksa Agus berpendapat bahwa, "Godod sudah waktunya Manjing Empu, Manjing Legenda atau mungkin sudah Manjing Maestro untuk jalan kesenian yang dilaluinya dengan perih, getir, bahagia, berat dan ringan sudah tak bisa lagi dibedakan."

 Konsistensi Karya

Terhadap lukisan yang dikerjakan, Godod Sutejo memiliki konsep dasar kreatifitas yang unik.  Baginya,"Membaca kedalaman lukisan ini lebih arif jika dengan mata hati. Keluasan alam dan kecilnya manusia di tengah semesta adalah bobot penghayatan eksistensi penghayatan pada kekuatan alam sebagai bagian dari ayat-ayat Tuhan. Suasana hati damai dan penuh cinta kasih bukan pada lapis permukaan yang dihadirkan secara wantah dan amat dekat, justru dalam kejauhan itu tiap- tiap diri manusia selalu nampak sama tetapi beda. Sekaligus, mereka selalu dalam aktifitas, cermin dari manusia yang berbuat dengan tetap punya perasaan pasrah sumarah kepada kuasa Yang Maha Luas."

Keluasan alam dan kecilnya manusia di tengah alam semesta itu selalu dimunculkannya dalam setiap lukisannya.  Godod Sutejo yang lulus tahun 1977 di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) sebagai Sarjana Muda (BA) dan kemudian lulus sarjana dengan gelar Drs tahun 1982 di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (Institut Seni Indonesia) menampilkan lukisan dalam pameran ini dengan lukisan yang dibuatnya di tahun 1980 hingga tahun 2024.   

Lukisan yang dibuatnya di tahun 1980 berjudul Adu Domba Acrylic on Canvas 80 X 80 cm, Merapi Merbabu Acrylic on Canvas 200 x 200 cm di tahun 2015, Krakatau Acrylic on Canvas 200 x 200 cm di tahun 2015, Mendapat Rezeki Acrylic on Canvas 200 x 200 cm di tahun 2022 selebihnya dibuatnya di tahun 2024 ini seperti Kontes Kutut Katuranggan 1 dan 2 Acrylic on Canvas 80 x 60 cm,yang dipuji Subroto Sm karena tiang gantangan yang lurus itu dibuat oleh manual lukisan tangan tanpa menggunakan penggaris.  

Banyak lukisan yang dibuat di tahun 2024, sebut saja Arak-arakan Sesaji Acrylic on Canvas 100 x 70 cm,  Borobudur 7 Penjuru Dunia 160 x 145 cm, 2024, Berburu Katuranggan Acrylic on Canvas 80 x 60 cm, Dewi Kemakmuran Acrylic on Canvas 160 x 130 cm, Do'a Sekalian Alam Acrylic on Canvas 100 x 70 cm, Iring-iringan Do'a Acrylic on Canvas 130 x 130 cm, Hasaka Bulan Pangaksama Acrylic on Canvas 150 x 120 cm, dan lain-lain.

Terpesona amati karya (foto: Yahya Kumarawangi) 
Terpesona amati karya (foto: Yahya Kumarawangi) 

Seorang pengunjung pameran, Miko, mahasiswa UNY asal Jepara yang sedang mengerjakan skripsinya itu, mengetahui pameran dari temannya dan instagram mengaku baru pertama kali ini melihat pameran seni rupa.  Menurutnya pameran ini menarik, karena melihat banyak lukisan yang dipajang yang punya ciri khas lukisan dengan obyek-obyek kecil.  Karya favoritnya terhadap lukisan yang dipajang adalah Gunung Krakatau dan Mancing Rejeki. Miko terkesan dengan display pameran yang simpel.  "Kita bisa merasakan rasa kesepian seorang seniman," demikian ujar Miko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun