Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Pameran Lukis Godod Sutejo, Lukisan Alam Sepi Bisa Jadi Terapi

17 Agustus 2024   11:13 Diperbarui: 20 Agustus 2024   13:34 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di sanggarnya, Godod telaten ladeni pengunjung (Dokumen Godod Sutejo)

Lengkapnya Agus Dermawan T menjelaskan,"Godod melukis segala sesuatu dengan atmosfir demikian ternyata diberangkatkan dari sebuah alasan. Dan alasan itu merujuk kepada filsafat Jawa : Sing ana iku ora ana. Sing ora ana iku ana. (Yang ada itu sebenarnya tidak ada. Sementara yang tidak ada sesungguhnya ada).

Atau dalam ungkapan Jawa yang agak berbeda: Sing ana kuwi dudu, sing ora ana kuwi sejatine sing ana. (Yang ada itu sebenarnya bukan yang benar-benar ada, sementara yang "tidak ada adalah yang sesungguhnya ada)."

"Sehingga segala benda yang tergambarkan di kanvasnya selalu melebur halus dalam kabut. Manusia, hewan, pohon, bangunan dan sebagainya larut dalam udara, setelah semua makhluknya menjadi semut-semut melata. Menjadi benda mikrokosmos dalam bentangan makrokosmos. Dan hanya hadir sebagai jejeran noktah dalam habluran asap saja," demikian lanjut Agus Dermawan T.

Subroto Sm mengagumi ditil lukisan bersama Riwo, didampingi Yudi Pigura, sponsor pameran (sumber dokumen: Rakhmat S)
Subroto Sm mengagumi ditil lukisan bersama Riwo, didampingi Yudi Pigura, sponsor pameran (sumber dokumen: Rakhmat S)

Subroto Sm yang membuka pameran memberi pendapatnya terkait lukisan alam sepi Godod Sutejo, "Ketika kita menyaksikan lukisan-lukisan karya Godod Sutejo, kita dihadapkan dengan pemandangan alam yang luas, sepi, dan terasa nglangut. Ada kerumunan orang dalam berbagai aktivitas. Namun kerumunan orang tersebut dalam ukuran sangat-sangat kecil. Maka saya, atau juga mungkin orang lain, punya kesan sama, yakni lukisan- lukisan Godod akan membawa penonton/penikmatnya untuk berefleksi, merenung, atau berkontemplasi: betapa kecilnya manusia, makhluk tertinggi ini dihadapkan dengan alam raya yang demikian luas. Gaya lukisan yang demikian unik tersebut, telah menjadi ciri khasnya dan menjadi kekuatan Godod dalam mengekspresikan ide-idenya di kanvas hingga hari ini."

"Berawal dari kegelisahan untuk menemukan jati diri dalam lukisannya, karena tuntutan kurikulum di Jurusan Seni Lukis ASRI, Godod pergi menyepi ke Pantai Samas. Ketika ia sedang duduk merenung, dari kejauhan ia melihat kerumunan dan gerak-gerik orang yang tampak kecil sekali. Seketika pemandangan ini telah menggugah kesadaran estetisnya untuk melukiskannya di kanvas. Sejak peristiwa tersebut, lebih kurang di tahun 1974, Godod merasa mantap dengan pilihan gayanya yang ia pegang dengan teguh hingga sekarang," demikian lanjut Subroto Sm yang adalah alumnus dan mantan pengajar FSR ISI Yogyakarta.

"Dalam kacamata saya, lukisan Godod mempunyai pesan agar manusia sadar, rendah hati, dan jangan jumawa. Oleh karenanya, jika manusia ingin bahagia, mesti bisa menjaga kesatuan hidup yang harmonis dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta langit, bumi, dan seisinya," tandas Subroto Sm yang tinggal di bilangan Jl. Sosrodiningratan Yogyakarta bertetanggaan dengan Godod Sutejo.

Yaksa Agus dalam penilaiannya terhadap Godod Sutejo yang sering mengelola pameran bersama seperti FKY dan memasarkan karya teman-teman sesama pelukis melalui galerinya menyebutkan.

"Kiprahnya dalam seni rupa menjadikan Godod lebih pas jika disebut sebagai Bapak Manajemen Seni Yogyakarta. Di saat orang belum tertarik menekuni bidang ini, Godod lebih dulu terjun di bidang ini sejak masih muda."

Gradasi warna dan obyek yang kecil (foto: Yahya Kumarawangi)
Gradasi warna dan obyek yang kecil (foto: Yahya Kumarawangi)

Godod Sutejo yang kelahiran Dusun Tameng, Desa Girikikis, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Senin Legi, 12 Januari 1953 atau 14 Ba'dal Mulud, Taun Ehe 1884, tepat pada kalender Mangsa Kapitu, jatuh pada Wuku Madangkungan ini, menurut Yaksa Agus," Pameran tunggalnya kali ini bukan lagi sebagai refleksi kehidupan yang telah dan sedang dijalani, melalui pembelajaran mulai dari ranah jiwa dan raga. Ranah jiwa, Godod melatih rasa kramadangsa-nya dengan melakukan perjalanan spiritual; melalui sosok empu maupun para pakar ilmu mengasah rasa menuju rasa sejati. Kontemplasi ritual dilakukan untuk menemukan arti hidup dan makna hidup dalam kehidupannya. Laku spiritual dengan pengembaraan batin ini menemukan "ati" dalam berkaryanya," demikian Yaksa Agus seorang penulis yang mengaku fitrahnya sebagai pelukis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun