Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 14)

4 Juni 2024   11:11 Diperbarui: 4 Juni 2024   11:20 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadis menari (IG-Kumarawangi Art) 

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 14)

Oleh: Suyito Basuki

 

Terenggut dari Pelukan

 

Sebuah rumah sederhana, berhalaman luas, tumbuh pohon-pohon kelapa, di senja hari.  Parmi, seorang ibu muda,  menggendong Bagas bayinya, berumur sekitar satu tahun dengan selendang.  Kakak bocah bayi, berusia sekitar 3 tahun memegang pakaian ibunya.  Segerombolan orang masuk ke dalam rumah.

Orang 1 bertanya,"Maaf ini rumah saudara Warsi?"

Ibu muda yang tengah menggendong Bagas bayi,"Benar pak, ada apa?

Orang 2,"Saya mendapat perintah untuk membawa Bapak pergi bersama kami."

"Ada apa dengan suami saya?" Ibu Bagas bertanya kaget.

"Suami ibu terlibat sebuah gerakan politik yang saat ini dilarang negara, oleh karena itu kami akan menangkapnya," Orang 3 menjawab agak keras. Ibu Bagas menangis, kaget,""Oh, jangan Pak, anak-anak kami masih kecil.  Nanti kalau ada apa-apa, bagaimana dengan nasib anak-anak kami Pak?" Ibu Bagas menghiba.

"Di mana saudara Warsi?" Orang 1 kembali bertanya, suaranya tegas.

"Saya tidak tahu Pak," Ibu Bagas menjawab sambil mendekap bayinya.

"Mustahil ibu tidak tahu.  Tadi malam dia pulang ke rumah ini, kami tahu itu," Orang 1 bertanya mendesak.  

Ibu Bagas tetap bertahan,"Saya betul-betul tidak tahu Pak." Kedua anak, baik bayi maupun kakaknya menangis.

Orang 2 mengancam,"Baik kalau tidak mau menunjukkan, maka ibu kami bawa ke kantor."

"Oh jangan pak, kasihan anak-anak saya," Ibu Bagas ketakutan.

"Oleh karena itu, cepat tunjukkan di mana suamimu?,"  Orang 1 semakin mendesak.

Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari luar,"Saya di sini!" Orang-orang segera berlari ke luar, mencari arah suara.  Seseorang meluncur dari pohon kelapa. 

Orang 1 memerintahkan rekan-rekannya,"Itu Warsi, tangkap dia!" Orang-orang mengepung Warsi yang baru turun dari pohon.

Warsi dengan tenang berkata,"Kalian salah tangkap.  Bukan aku yang harusnya kalian tawan."

Orang 2 tegas berkata,"Perintah atasan, kamu kami tangkap."

Warsi bertanya,"Dengan dasar apa?"

Orang 1 menjawab sambil menunjukkan sebuah daftar dimana ada tanda tangan Warsi di situ,"Kamu mendukung partai politik yang sekarang dilarang oleh pemerintah.  Kamu mendukung dengan kegiatan kesenianmu."

"Itu omong kosong.  Daftar itu adalah daftar orang-orang yang diminta sumbangannya untuk sebuah kegiatan. Hal itu adalah legal, sebagai pejabat pemerintahan saya hanya menyumbang, tidak lebih dan tidak kurang," Warsi membela diri.

Orang-orang tidak sabar,"Terlalu lama ngoceh, ayo kita tangkap dia, ganyang dia."

Warsi tahu nasibnya akan sama dengan orang-orang sebelumnya.  Mereka ditangkap oleh orang-orang yang mengaku aparat atau organisasi keagamaan tertentu dengan tuduhan mendukung gerakan partai politik yang sebelumnya besar pengaruhnya di masyarakat, bahkan seorang presiden pun mengakui otoritasnya.  

Warsi hanyalah seorang pegawai pemerintahan bagian keuangan daerah.  Selepas dari sebuah sekolah konservatori Solo, kembali ke kotanya, kemudian ada tawaran pekerjaan, dia memasukinya. Karena pendidikannya, maka dia dijadikan kepala kantor.  Dia bekerja dengan baik, bahkan di kantornya dia mengadakan kegiatan kesenian berupa karawitan.

"Silakan tangkap aku, tapi ijinkan aku bertemu dulu dengan istriku." Warsi mendatangi istrinya yang menangis sesenggukan di pintu rumah.  Dipandanginya istrinya dan diciumnya bocah bayi dan kakaknya.  Dipegangnya bahu istrinya,"Aku pergi, mungkin untuk selamanya.  Jangan harapkan kepulanganku. 

 Pesanku, didiklah anak-anak kita menjadi orang yang teguh dalam pendirian, tegar dalam pergulatan hidup.  Selamat tinggal istriku.  Selamat tinggal Bagas dan Titin anakku, tabahlah dalam menghadapi hidup ini." Warsi mencium istrinya dan anak-anaknya.  Istrinya menangis, kedua bocah itu juga menangis dengan suara keras seolah tahu situasi yang menegangkan.

 Orang 1 tidak lagi sabar,"Ayo ikut dengan kami." Warsi pergi diikuti orang-orang yang membawanya.  Kakek Bagas yang baru saja pulang dari ladang, segera berlari mendekati ibu Bagas yang menangis.  Kakek Bagas kemudian meraih Titin, digendongnya.  Sontak Bagas dan Titin pun menangis, seolah mengerti keadaan.

Tembang macapat Durma masih lamat-lamat terdengar: Paman-paman apa wartane ing dalan...

Nenek Bagas yang menembangkan macapat Durma sambil mendengarkan kisah yang dituturkan kakek Bagas kepada Bagas soal penangkapan ayah Bagas yang merenggut ayah Bagas dari pelukan istri anak yang dikasihi saat itu keluar ke ruang tamu dengan segelas minuman,"Wis...wis le crita, ini minum dulu, tadi aku bikin wedang jahe, bagus untuk kesehatan.  Ayo le, tukar pakaian sana, nanti segera minum." Bagas masuk sambil menenteng sepatu dan baju.  Dia masuk dengan bertelanjang dada.

Nenek Bagas berkata kepada suaminya,"Sudahlah lah pakne, tidak usah mikir anakmu Warsi lagi yang memang sudah tidak jelas juntrungnya.  Kita serahkan semua kepada yang Maha Kuasa."

"Ya...ya, mau bagaimana lagi," Kakek Bagas menarik napas dalam-dalam, Bagas sudah kembali dan ikut duduk.

"Pak, bagaimana kalau kambing Bagas dijual seekor?" Bagas bertanya kepada kakeknya, seperti biasanya ia sebut kakeknya dengan sebutan 'Pak" atau 'Bapak'.

Kakek bertanya,"Lho untuk apa?"

Bagas menjawabnya,"Sudah lima bulan ini Bagas belum bayar sekolah pak." Bagas teringat kambingnya yang selama ini dipeliharanya sejak kecil.  Sekarang sudah cukup besar.  Meski seekor kambing jenis gibas, tetapi ia juga rekan bermain Bagas.  Usai Bagas mencarikan rumput untuknya dan kambing-kambing yang lain.  Kambing muda itu diajak Bagas ke lapangan rumput.  Selain kambing itu merumput juga bermain berlarian bersama Bagas.

"Ya sudah, kalau untuk sekolah Bagas, biar saja pakne, " ujar Nenek Bagas.

"Ya, ya...kambing yang lain pun boleh kamu jual untuk ujian dan biaya sekolahmu kemudian." Kakek Bagas menjawab sambil mengelus kepala Bagas.

"Terima kasih pak," Bagas merasa senang dengan jawaban kakeknya.

 "Ya, ya, moga-moga kamu besok jadi anak yang pinter ya cah bagus," Kakek matanya berkaca-kaca, menghisap rokok tingwenya, menyemburkan asap dari mulut tuanya.  Matanya mengikuti lekukan asap rokok yang memutar dan musnah dihembus angin.  Tembang macapat durma lamat-lamat kembali mengumandang: Paman-paman apa wartane ning dalan, neng dalan 'keh wong mati...

 (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun