Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 1)

21 Mei 2024   21:45 Diperbarui: 24 Mei 2024   08:45 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Renungkanlah, budaya itu indah (IG-Kumarawangi Art) 

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 1)

Oleh: Suyito Basuki

 

Perkenalan

 

Sebuah rumah joglo Jawa dengan gandhok di kiri dan kanan, berhalaman luas.  Bagian belakang rumah terlihat seperti bedheng, tedengar suara mesin dari arah bedheng tersebut. Pohon-pohon mengitari rumah.  Alunan musik kerawitan Jawa yang rancak.  Seorang pemuda, usia 30 tahun, Bagas Kumarawangi (Bagas), memasuki halaman rumah dengan motor honda bebek.  Memarkir motor dan memasuki rumah. 

Di dalam rumah joglo, Fitri Dewandari (22 th) latihan menari dengan iringan kaset, ini siang hari yang terik.

 "Kulanuwun...kulanuwun...permisi...permisi," Bagas uluk salam.  Seorang gadis dengan masih berikatkan selendang tari keluar.

"Oh, mangga, mari-mari ...," sambut gadis yang bernama Fitri itu.  Fitri berteriak kepada adiknya, "Naaaang, matikan tapenya."

"Silakan duduk, Mas mau cari siapa?" tanya Fitri kepada Bagas yang kelihatan agak lelah.
"Saya mau ketemu Pak Sutejo.  Betul ya ini rumah Ki Cermo Sutejo, dhalang kraton itu?" kata Bagas agak terengah sambil duduk di kursi.

"Ya, tidak salah, tapi bapak sedang pergi...Mas siapa?" tanya Fitri penuh selidik.

"Saya siswa pedhalangan kraton, siswa bapak. Ehm, nama saya Bagas, bapak pasti sudah tahu.  Eh, mbak siapa?" Bagas menyodorkan tangannya kepada gadis berperawakan langsing berwajah manis dan berkulit kuning langsat itu.

"Saya Fitri..." Bagas dan Fitri bersalaman, saling bertatapan.

"Begini mbak, sampaikan pada Bapak rencana saya bersama teman-teman akan berlatih karawitan rutin seminggu sekali.  Kalau nanti Bapak tidak keberatan, latihan akan dimulai besok hari Minggu siang jam 13.00.  Sampaikan juga bahwa saya akan belajar privat pada bapak soal sabetan wayang.  Mulainya terserah bapak saja, kapan bapak luangnya," sambil berkata, Bagas masih memegang tangan Fitri.

"Ya, ya...nanti saya sampaikan..." Jawab Fitri sambil berusaha melepas genggaman tangan Bagas.  Bagas sadar dan melepaskan tangan Fitri. Bagas agak malu.

"Mbak lagi latihan nari ya," tanya Bagas

"Ya, latihan rutin saja..." jawab Fitri.

"Mau pentas mbak?" Bagas menyelidik.

"Nggak juga..." jawab Fitri lagi.

"Sekolah tari ya...", masih juga Bagas bertanya.

"Ya, di Sekolah Tinggi Seni..." terang Fitri.

"Oooo...Yang lagi main kendang itu siapa?" tanya Bagas Sambil menunjuk seorang pemuda yang lagi latihan ngendang kendangan jaipong.

"Adik, sekolah di SMKI," jelas Fitri singkat.

"Eh, maaf mengganggu, permisi saya mohon diri.  Tolong jangan lupa sampaikan pesan saya untuk Bapak," Bagas sadar bahwa dia terlalu banyak bertanya dan segera minta pamit. Fitri Mengangguk sambil memperhatikan Bagas yang berdiri dan membalik hendak keluar.

Bagas menstarter motor, menganggukkan kepala, Fitri balas mengangguk sambil memperhatikan kepergian Bagas. 

Hidup berpacu dengan waktu (IG-Kumarawangi Art)
Hidup berpacu dengan waktu (IG-Kumarawangi Art)

Warisan Budaya

Nyi Sutejo keluar dari kamar menyentuh bahu Fitri yang masih di bibir pintu.  "Siapa itu?" tanyanya kepada anak gadisnya.

"Ngakunya sih namanya Bagas, siswa pedhalangan Bapak...," jawab Fitri sambil mengikat rambutnya dengan karet gelang.

"Ooo...yang dosen itu?" kata Nyi Sutejo sepertinya sudah paham. 

"Lho ibu malah sudah tahu?" Fitri agak keheranan.

"Iya, Ramamu kan kadang-kadang cerita perihal siswa-siswanya.  Katanya ada siswanya yang sudah dosen yang tekun dan berbakat ndhalang..." kata Nyi Sutejo.

"Sudah, sudah, ayo masuk...diteruskan latihannya," lanjut Nyi Sutejo seolah memberi instruksi.

"Sulit bu gerakan-gerakannya...," keluh putrinya.

"Ya harus sabar, itu lho gerak cangletmu sama tubrukannya mesthi harus lebih liat dan indah...," kata Nyi Sutejo kembali.

"Benar bu, mbak Fitri kakunya di situ, mosok bikin tari Srikandi -- Bisma, Srikandinya kaku...kasih conto bu...," teriak Danang dari kejauhan.  Nyi Sutejo lalu memberi contoh gerakan-gerakan yang dimaksud.   Fitri memperhatikan ibunya.  Danang yang duduk bersila menghadapi kendangnya juga memperhatikan.

"Ibu luwes lho..." puji Fitri kepada ibunya sambil menirukan gerak tari ibunya.  Sambil meneruskan gerakannya Nyi Sutejo berkata,"Lho ibu belajar tari sejak kecil."

Fitri masih menirukan gerak tari ibunya, sambil bertanya,"Pada siapa sih ibu belajar nari?"

"Ya pada nenekmu.  Nenekmu bisa menari dari orang tuanya, ya nenek buyutmu itu...," Nyi Sutejo menjawab sambil mengusap keringat.

Mendengar percakapan itu Danang menyelutuk,"Wah hebat dong kalau begitu nenek moyangku..."

"Lha makanya Danang kamu harus prihatin, belajar yang baik, supaya bisa lebih pintar dibanding mereka yang sudah tiada...kamu sudah mendapat warisan budaya," ucap Nyi Suteja kepada anak lelakinya yang masih sibuk memainkan kendang.

"Nggih bu, sendika..." ucap Danang keras sambil menyatukan telapak tangan ke atas dalam bentuk sembah.

"Dan kamu nduk Fitri, juga harus berhasil kuliahmu.  Kuasailah tarian tradisonal yang diajarkan kepadamu oleh dosen-dosenmu.  Kamu ingat kan pesan eyangmu ketika tahun lalu nengok beliau ke Jepara? Supaya kamu walau seorang wanita, harus pintar, mandiri dan memiliki pekerjaan yang mapan di masa mendatang.  Syukur kamu bisa juga menjadi panutan dan pendidik bagi wanita-wanita di sekelilingmu supaya memiliki pikiran maju.  Itu kan semangat RA Kartini yang sering dibicarakan eyangmu?" pesan Nyi Sutejo kepada putrinya itu.  Dielusnya rambut putrinya yang sudah digerai itu.

"Heran saya itu, eyang itu siapa sih kok kalau ngomong tentang RA Kartini, tokoh emansipasi itu semangatnya menyala-nyala?" tanya Fitri.

Renungkanlah, budaya itu indah (IG-Kumarawangi Art) 
Renungkanlah, budaya itu indah (IG-Kumarawangi Art) 

"Lho kamu belum tahu to, dulu orang tua dari eyang buyutmu itu kan ngabdi pada garwa ampil bupati Rembang Djojoadiningrat yang bernama Mas Ajeng Soedjirah atau Ibu Raden.  Ketika itu kan orang tua eyang buyutmu yang asli Blora itu, juga sering menerima petuah dari  RA Kartini, sehingga semangat dan perjuangan RA Kartini dalam memperjuangkan sekolah bagi kaum wanita, terkesan sekali padanya..." jelas Nyi Sutejo masih tetap mengelus rambut putrinya.

"Tapi sulit juga ya RA Kartini itu, walau dia menjadi garwa padmi, tetapi kan dia juga menghadapi garwa-garwa ampil bupati lainnya, sementara itu dia memperjuangkan emansipasi wanita," Fitri berkata sambil menerawang ke langit.

"Itulah 'ndhuk, keadaan waktu itu...Tapi seribu satu lho orang seperti RA Kartini kala itu...," kata Nyi Sutejo sambil menggandeng tangan anaknya masuk ke bilik belakang.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun