Saat kami sampai di Stanplat Suruh pada waktu itu; bau aroma pertama kali yang saya cium adalah asap sate. Asap sate apa itu? Asap sate sapi Suruh!
Aromanya harum, menukik kenangan hingga saat dewasa. Sehingga setiap kali mendengar ucapan daerah Suruh, ingatan kemudian melayang ke sate sapi Suruh!
Saya berhasil menemui dan mewawancarai Supriyati (54) bungsu dari pasangan Bapak Harjo Suwarni dan Ibu Mujiyo pendiri sate sapi Suruh.
Menurut Supriyati usaha sate sapi bapaknya sudah dimulai sejak tahun 1945. Sebelum membuka warung di Pasar Suruh, Bapak Harjo Suwarni dan Ibu Mujiyo berjualan sate sapi keliling dari desa ke desa. Supriyati menyebutnya mrema atau boro.
"Dulunya keliling, mikul, jalan ke desa-desa. Antara lain keliling di lomba pacuan kuda, jualan sampai malam. Dari kecil saya sudah diajak boro. Semua anak juga diajak jualan mrema dari desa ke desa. Berangkat dari rumah kami desa Plumbon,"Â demikian Supriyati yang mengikuti jualan bapak dan ibunya sejak dia masih SD.Â
Supriyati bersaudara akhirnya terbiasa dengan aktifitas jualan sate sapi ini bersama bapak dan ibunya sejak masih kanak dan remaja. Berbekal wasiat Bapak Harjo Suwarni, Supriyati dan ke-5 kakak perempuannya berjualan sate sapi dengan nama khas "Sate Sapi Suruh."Â
"Kowe dha sekolah, sing penting isa maca nulis, tak tinggali anglo, karo ipit (Kamu sekolah, yang penting bisa baca tulis, tak tinggali anglo dan kipas)," demikian ungkap Supriyati menirukan wasiat almarhum Bapak Harjo Suwarni.
Wasiat inilah yang mendasari Supriyati dan kakak-kakak perempuannya membuka warung sate sapi di beberapa tempat, di Semarang satu tempat di Jln. Sriwijaya dan di Salatiga ada tiga tempat: di Pasar Salatiga, di Puja Sera, dan di belakang Hotel Wahid.
Gamang Regenerasi