Kami diberi kelonggaran membayar tanah itu dengan cara menyicil. Mulailah dari bulan ke bulan hingga tenor penyicilan itu selesai.Â
Setelah selesai penyicilan, kemudian dibuatlah sertifikat untuk masing-masing pemilik tanah-tanah kapling tersebut.
Lahir kemudian anak kami yang ketiga dan keempat, kami masih juga menjadi "kontraktor". Kami masih juga bertahan sebagai "kontraktor". Betapa semakin ribetnya kami setiap saat pindah rumah kontrakan, karena selain mengurusi barang-barang yang semakin bertambah, juga anak-anak yang masih kecil-kecil yang perlu ekstra perhatian. Tetapi perasaan hati sudah agak tenang, karena telah memiliki sebidang tanah, meski kecil untuk sebuah rumah milik sendiri nantinya.
Kencangkan Ikat PinggangÂ
Kami teringat, saat menyicil tanah yang sebenarnya tidak seberapa harganya bagi orang kaya itu, kami harus mengencangkan ikat pinggang untuk menyicilnya. Saat krismon (krisis moneter) terjadi di negara kita ini, itu saat-saat kami menyicil tanah kami.
Dalam membeli kebutuhan sehari-hari, kami betul-betul perhitungan. Misal saja kami membutuhkan sabun cuci, maka kami akan masuk ke sebuah swalayan dan melihat semua merk-merk sabun cuci.
Kemudian setelahnya, kami akan membeli sabun cuci merk tertentu yang memiliki harga yang terendah tetapi masih memiliki kualitas yang kami rasa bagus.
Saat menyiapkan makanan bayi, istri saya membuat makanan untuk bayi kami dengan nasi tim. Nasi tim itu seperti nasi liwet tetapi disertakan juga saat memasak sayuran, lauk, misal tempe, tahu atau telur dan lain-lain.Â
Setelah nasi tim itu matang, kemudian akan dipenyet di sebuah saringan. Sari-sari makanan yang dihasilkan itulah yang dikonsumsikan kepada bayi kami.
Kami tidak pernah membeli makanan bayi instan yang berupa tepung saat itu. Selain kami berpikiran nasi tim lebih sehat karena menu bisa dirancang dan jelas sekali proses pembuatannya, tetapi kami merasa lebih hemat dengan membuat nasi tim itu.