Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

In Memoriam: Pdt. Em. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th, Pejuang Bahasa dan Kebudayaan Jawa itu Telah Tiada

6 Mei 2023   11:22 Diperbarui: 6 Mei 2023   22:51 1626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

In Memoriam Pdt. Em. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th: Pejuang Bahasa dan Kebudayaan Jawa itu Telah Tiada 

Oleh: Suyito Basuki

Di group WA Tim Revisi Alkitab LAI, rekan kami Pdt. Daniel Iswanto memberikan info percakapannya dengan keluarga Pdt. Em. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. yang sering kami sebut Pak Siman, keluarga minta dukungan doa, karena Pak Siman masuk sumah sakit.  Tadi malam, akun FB rekan pendeta GKJ Ambarawa, Pdt. Setyo Utomo menginfokan bahwa Pak Siman telah tiada.

Pdt. Em. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th lahir di Wates, Kulonprogo, 5 Oktober 1932.  Itu berarti pada tahun 2023 ini usia beliau sudah 91 tahun.  

Meki sudah usia sepuh, tetapi masih terlihat energik.  Beliau saat ini masih terlibat pelayanan revisi  alkitab Perjanjian Lama (PL) Bahasa jawa Formal Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).  Pdt. Em. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. Menikah dengan Soepandijah, tgl. 4 juli 1959, dikaruniai 5 orang anak, cucu-cucu dan buyut.  

Pendidikan SR (SD) 1946, SMP tamat 1950, SMA tamat 1953, B1/ Jawa 1956, S1 (IKIP)/ Jawa 1968, S1 (Theologia) 1974, S2 (SEA-GST) 1984. Tahun 1953 s/d 1968, bekerja sebagai PNS di Kantor Cabang Bagian Bahasa, Jakeb, P & K Yogyakarta.  Menjadi majelis GKJ Gondokusaman 1960 selama 2 periode, menjadi majelis GKJ Samironobaru 1973 selama beberapa periode. 

Ditahbiskan sebagai PPK 1982 dan diutus Sinode GKJ melalui GKJ Samirono sebagai staf Pengajar di S.T.Th Dutawacana Yogyakarta.  1960 pengajar tidak tetap pada ATY, 1962 pengajar tidak tetap pada S.T.Th Dutawacana, 1968 Pengajar tetap S.T.Th Dutawacana, 1985 Pengajar tetap Fak. Th. UKDW, 31 Agustus 1998 memasuki masa pensiun, emeritasi 1 Januari 1999. 

Guru dan Rekan Sekerja

Saat saya dan Pak Siman selama lima hari memeriksa kitab Nehemia di Yogyakarta beberapa tahun yang lalu, bu Soepandijah yang mengantar keperluan untuk konsumsi kami berupa snack dan lain-lain. Setiap siang saya makan bersama Pak Siman di warung khas masakan Jawa dan kadang di warung sate Samirono yang terletak di depan kampus Universitas Negeri Yogyakarta.  Saat kami melakukan aktivitas yang kami sebut "cheking dan revisi alkitab" itu, saya menginap di wisma LPPS  milik Sinode GKJ dan untuk bekerja kami mendapat pinjaman sebuah ruangan di GKJ Samirono di mana Pak Siman bergereja di tempat ini.

Secara regular, bersama dengan rekan-rekan tim revisi, sejak tahun 2009 hingga sebelum masa covid 2020, kami melakukan pertemuan atau rapat setahun minimal lima kali.  Sering kami menggunakan tempat di Wisma Sabda Mulia Sinode GKJTU Salatiga.  Namun beberapa tempat sempat kami gunakan untuk pekerjaan itu, seperti Wisma Kateketik, Wisma Syantikara Yogyakarta, Pasturan Senjaya Muntilan dan kantor pusat Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) di Salemba Jakarta. 

Pertemuan itu kadang bersifat pertemuan besar yang dihadiri oleh wakil-wakil sinode yang gerejanya masih menggunakan alkitab bahasa Jawa seperti GKJ (Gereja Kristen Jawa), GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa), GKJTU (Gereja Kristen Jawa Tengah bagian Utara), GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan), GKSBS (Gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan) dan Gereja Katholik, serta para ahli bahasa seperti: Dr. Sudaryanto (Universitas Widya Dharma Klaten) dan Dr. Yulia (Universitas Tidar Magelang). 

Pertemuan tim kecil hanya dihadiri oleh beberapa orang seperti: Pdt. Em. Dr. Soelarso Sopater (dari GKJ, sudah almarhum), Pdt. Edi Trimoedoroempoko, M.Div. (dari GKJ, sudah almarhum), Romo Dr. Hari Kustono (STT Filsafat Kateketik Kentungan Yogyakarta, sudah almarhum), Pdt. Em. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. (dari GKJ, almarhum), Pdt. Dr. Em. Sutarno (dari GKJ), Pdt. Daniel Iswanto, M.Th. (GKJTU), saya sendiri dan Pdt. Dr. Anwar Tjen (Konsultan LAI) yang saat ini digantikan oleh Dr. Tri Harmaji (Konsultan LAI).

Kamus dan Tatabahasa Berjalan

Setiap kali pertemuan, dalam memutuskan terjemahan yang baik, pasti akan diskusi soal teologi, tata bahasa (parama sastra), kata (tembung), dan pengalimatannya.  Dalam diskusi yang kadang juga seperti perdebatan, maka dibukalah hand book tafsir, alkitab bahasa Ibrani, Septuaginta, bahasa Inggris terutama versi RSV, terjemahan bahasa Indonesia baru, terjemahan bahasa Indonesia sehari-hari.  Kadang untuk memperjelas suatu kata, misal tanaman, nama burung-burung, peralatan Bait Allah dan lain-lain, kami membuka gambar-gambar yang terkait dengan apa yang sedang dibahas.

Jika pembahasannya soal kata-kata dalam bahasa Jawa berikut tata bahasanya, maka Pak Siman akan segera memberi keterangan, tanpa membuka kamus dan buku tata bahasa.  Kamus yang kemudian beliau buka adalah Kamus Baoesastra Djawa karangan W.J.S Poerwadarminta.  

Kalau saya sih, saya usahakan selalu membawa Kamus Baoesastra Djawa karangan W.J.S Poerwadarminta terbitan J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij, Groningen, Batavia, 1939 itu; Kamus Bahasa Jawa, Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, terbitan Kanisius 2001; Kamus Indonesia -- Jawa, Panitia Kongres Bahasa Jawa & Duta Wacana University Press 1991 dan beberapa kamus bahasa Jawa lainnya, kadang juga bawa buku ensiklopedia setiap kali rapat atau diskusi. 

Pak Siman, misalnya untuk menerangkan kata "butajengan" yang ditulis di Alkitab untuk sifat Tuhan, beliau langsung menerangkan bahwa "butajengan" itu adalah krama inggil, ngokonya "butarepan".  

Oleh beliau dijelaskan bahwa "butarepan" itu adalah sebuah ringkasan dari kata "rebut arep-arepan."  "Rebut arep-arepan" atau "rebut ajeng-ajengan" itu artinya berebut menjadi yang terutama. Itu semacam kalau ayam satu keturunan dalam generasi yang sama (sakpranakan) bertarung itu berebut  tua katanya.  Saya yang lulusan sekolah pedhalangan Habirandha Yogyakarta, semula mengira kata "butarepan" itu raksasa-raksasa yang berhadap-hadapan "buta-buta kang adu arep".  Wah!

Demikian juga ketika Pak Siman menerangkan arti kata "jakalara" yang digunakan untuk menerangkan pernikahan antara perjaka dan perawan.  Menurut beliau tembung "jakalara" itu dari dua kata "jaka" yang berarti jejaka dan "lara" yang bermakna perawan.  Kata lain untuk "lara" ini dalam bahasa Jawa "rara".  Oh, baru paham saya tentang hal itu.  Semula saya pikir, pernikahan "jakalara" itu adalah pernikahan yang dilakukan saat pengantin itu dalam penderitaan.  Waduh!

Beberapa kata yang oleh Pak Siman supaya kami singkiri antara lain adalah kata ganti orang ketiga "dheweke".  Kata "dheweke" oleh beliau disarankan supaya diganti dengan kata "wong iku" atau "wong mau."  Selain itu kata penunjuk "sawijining" juga 'disingkiri'.  Untuk menggantikan kata "suatu" maka Pak Siman lebih menyukai "sawenehe."  Kata "sawijining" menurut Pak Siman diperuntukkan untuk  hari atau waktu, misal "sawijining dina."  Untuk orang beliau menyarankan supaya digunakan kata "sawenehing", misal "sawenehing utusan." Meski kata beliau, tanpa "sawenehing" pun sudah jelas dan bisa dimengerti.

Pak Siman memisahkan penulisan "dipun" sebagai awalan dengan kata kerja yang diikuti.  Misalnya kata "dipun dhawuhi."  Saya pernah bertanya, mengapa demikian?  Karena dalam Ejaan Bahasa yang Disempurnakan, penulisan awalan dengan kata kerja yang diikuti, dirangkaikan.  Jika penulisan kata depan dengan kata benda, maka kata depan itu dipisahkan dengan kata benda yang diikutinya.  

Meski sampai sekarang saya masih belum puas dengan jawaban beliau tentang hal itu, tetapi sampai sekarang penulisan alkitab bahasa Jawa yang tengah kami kerjakan penulisan "dipun" sebagai awalan tetap dipisahkan dari kata kerja yang diikuti.  Saya yang sudah memasuki tahun kelima menjadi pemimpin redaksi dan editor renungan harian bahasa Jawa, dalam pekerjaan mengedit karangan kiriman penulis, maka saya selalu memisahkan awalan "dipun" terhadap kata kerja yang diikutinya.  Saya sedang berusaha memahami hal itu, barangkali karena tuntutan tulisan aksara Jawanya?

Kami tim revisi alkitab PL-BJF, Tri Harmaji, Pak Siman, Pdt. Daniel Iswanto dan penulis (Sumber gambar: dokumen pribadi) 
Kami tim revisi alkitab PL-BJF, Tri Harmaji, Pak Siman, Pdt. Daniel Iswanto dan penulis (Sumber gambar: dokumen pribadi) 

Rajin dan Teliti

Di dalam tim revisi alkitab PL-BJF, dibagi beberapa tugas.  Pak Siman memiliki tugas sebagai pembaca ahli dan pembesut.  Pembesut ini tugas final yang dikerjakan dalam editing dan revisi sebelum naskah diterbitkan menjadi sebuah buku.  Tugas pembesut ini tentunya tugas yang bukan sembarangan.  Ia harus memiliki pengalaman berbahasa Jawa yang baik, bahkan disebut ahli dan teologia yang kukuh.  

Pak Siman itu mantan dosen bahasa Jawa di UKDW Yogyakarta.  Beliau juga pernah aktif menulis renungan berbahasa Jawa di majalah bahasa Jawa Djaka Lodhang Yogyakarta.  Beliau pernah menerjemahkan alkitab ke bahasa Jawa sehari-hari (padintenan) terbitan LAI yang digunakan sampai sekarang.  Sebelumnya, beliau juga menjadi tim revisi Alkitab LAI Perjanjian Baru Bahasa Jawa Formal yang sudah diterbitkan LAI.

Saat pertemuan rutin di Salatiga, beliau biasanya datang di hari Minggu sore dengan berkendara travel dari Yogyakarta.  Hari Senin hingga Jumat kami bekerja, duduk melingkar menatap tampilan LCD Projector yang menunjukkan ayat demi ayat kitab- kitab PL yang sedang kami bahas.  Pagi hari Pak Siman bangun, kemudian akan berjalan mengitari Lapangan Pancasila Salatiga sekitar tiga-empat kali, kemudian akan mandi dengan air hangat yang telah disiapkan oleh pihak penginapan.  Maklum Salatiga termasuk kota yang berhawa dingin.  Pak Siman tidur di kamar lantai bawah, di depan kamarnya terletak aula wisma yang kadang-kadang, pada saat hari baik digunakan masyarakat untuk perhelatan pernikahan, sehingga istrirahat siang kadang terganggu.

Meski demikian, di malam hari usai pertemuan, beliau akan memanfaatkan waktu untuk memeriksa print out naskah yang telah dikirimkan LAI via pos kepada beliau.  Dengan demikian, saat kami melakukan diskusi keesokan harinya beliau siap dengan masukan-masukan yang akan beliau berikan.  

Oleh karena itu, setiap beliau menyampaikan pendapat, selalu kokoh dan memiliki dasar-dasar kebahasaan dan teologia yang jelas.  Jika dalam diskusi beliau tidak bisa memasukkan usulan dan idenya, maka beliau hanya tersenyum dan kadang seperti yang disampaikan oleh rekan karibnya, Pdt. Em. Dr. Sutarno, beliau berkata,"Sing waras ngalah..."

Perjuangan Melestrasikan Bahasa dan Budaya Jawa

Saya pernah mewawancarai Pak Siman secara khusus dan wawancara itu dimuat di tabloid Caraka terbitan Sinode kami, Sinode Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ).  Judul artikel wawancara itu: TANGGUNG GEREJA JAWA DALAM PELESTARIAN BUDAYA JAWA.  Berikut ini cuplikan wawancara saya dengan beliau:

Saya: Wujud budaya Jawa sendiri sebenarnya bagaimana?

Pak Siman: Budaya Jawa itu selalu menunjuk pada kognitif afektif dan fungsi atau nilai.  Dados miturut pikiran lan penalarane, biyen omahe ki neng ngisor, ning bareng ana kewan-kewan, banjur gawe omah ana ing ndhuwur, omah panggung.  Nha itu kognitif, ning afektif karena ada perasaan dan kegunaan untuk kewan-kewan tadi dan juga menghindari banjir. 

Adapun bahasa, tari, seni rupa, unggah-ungguh itu yang disebut sebagai sendi-sendi budaya.  Di GKJ Samirono Yogyakarta ada kelompok minat pelestari budaya Jawa, sakpunika ingkang dipun tindakaken gamelan, macapat.  Lajeng kerja sama kaliyan kokomas (komisi komunikasi masyarakat) melakukan siaran.  Lha punika rumiyin nalika kula damel buku macapat "Jangkar Gondhelaning Gesang" punika kula gandhengaken kaliyan kokomas, macapat dipun tindakaken kokomas.

Yang disebut Jawa itu pandangan hidup kejawen.  Pandangan hidup kejawen itu berbicara bagaimana pandangan hidup tentang Tuhan, pandangan hidup tentang manusia, pandangan hidup tentang alam semesta dll.  Kula sampun nate damel artikel bab gepok senggolipun Kristen kaliyan kejawen.  

Inggih punika ngrembag kanggone wong Jawa, gusti Allah iku apa ya.  Lha punika menawi onten ing kejawen tan kena kinaya ngapa, ora kena dipadhakaken apa wae.  Nanging saben tiyang gadhah Gusti Allah piyambak, sing momong. Sing ngecet lombok abang, sing ngukir pare lan sakpiturutipun punika, lha kaya ngapa ta, ha ya embuh, ya kaya ngono kuwi, tan kena kinaya ngapa, punika ingkang ngrembag buku Brotokesawan Kunci Swarga.

Saya: Lalu pandangan orang Jawa Kristen terhadap Tuhan seharusnya bagaimana?

Pak Siman: Gusti Allah iku rak transenden ta?  Ora ana wong kang wis tau weruh Gusti Allah.  Sing adu arep, bakal mati. Nanging sareng  Gusti Yesus manjalma manungsa, lha lajeng saged dipun gambar, jane ora ana wong sing bisa nggambar Gusti Allah.  Wong Jawa bareng wiwit ketemu karo agama Hindhu banjur nduwe Hyang tunggal, Hyang Wenang, bareng ketemu Islam dadine nduwe tembung Gusti Allah.  Tumrape para wong Jawa para pemimpin iku wakili Gusti Allah.  Mulana banjur ana hamengku buwono, hamangkurat, mangkubumi, mangkunegara lan sakpiturutipun.  Rehne punika wakilipun Gusti Allah, tan kena wola-wali, sabda pendhita ratu. Pendhita pimpinan rohani, ratu pimpinan jasmani, mulane wis ora bakal kleru,  pramila Sri Sultan Hamengkubuwono ngedalaken sabda raja punika, sanadyan para rayi padha protes.

Saya: Bagaimana sikap Jawa dalam ibadah gereja?  Bagaimana pula dengan adanya ibadah alternatif yang sekarang marak di gereja?

Pak Siman: Aku ki wong kolot , golongan enom karo golongan tuwa ki ora pati gathuk.  Wong Jawa sakpunika sampun sami ninggal Jawane.  Upamane nek mangan ki aja ning tengah lawang, nek mangan ki dha lungguh sing apik.  Lha sakniki, dha mangan karo ngadeg lan omong-omongan kok.  Mangka mangan ki aja karo ngomong, 'ngko keselak.  Mila menawi kula wonten ing resepsi standing party, kula trimah meneng kemawon, nek dipun pendhetaken nggih kula tedha nek mboten nggih mboten nedha, wegah kula rebutan ngaten punika.  Ngibadah Jawa punika nyepi golek sing sepi kok, lha samangke rak pating grobyak, dados cara kula, cara tuwa, nggih namung swaraning pendhita ingkang kedah dirungokake, awit nggih punika pusat ibadah. Ngantos sprika sepriki punika, pengakuan iman kok ndadak ngadeg barang piye ta, mbok uwis thenguk-thenguk wae.  

Saya: Lalu apa peran pendeta dalam ibadah menurut pemahaman Jawa?

Pak Siman: Pendeta itu wakil Tuhan,   yang membawa firman.  Secara Jawa dipahami sebagai brahmana, sabda pendhita ratu. Dan sekarang sembahyang karo tangane ngena-ngene, mangka  sembahyang iku ngapurancang, duduk dengan sikap yang baik, punika cara Jawa.  Lha punika menawi rembagan kaliyan lare-lare inggih lajeng mboten cocok, lha lare-lare punika sembahyang karo bengok-bengok barang. Kula mestani arti panggilan dan pelayanan itu berbeda, kula taksih meningi, khotbah mboten mawi transportasi punika. Ing tahun 1970-nan, kula dados dosen punika, mbimbing skripsi, ujian skripsi mahasiswa punika tanpa biaya.  Ning samangke rak mboten ngaten.

Saya: Apakah itu yang disebut pelayaan sejati dalam konteks Jawa?

Pak Siman: Pelayanan Jawa itu seperti di Lukas 17:7-10, "...semono uga aku, nek duwe batur ngluku, banjur mulih mangan?  Ora, ngladeni ndarane ndhisik..."  Batur ora perlu dikeki panarima, ya uwis, kuwi pancen gaweane.  Pelayaan menurut saya, mesthine ora ngarep-arep iki lan iku.

Saya: Lalu bagaimana sikap jemaat terhadap pelayanan pendeta seharusnya?

Pak Siman: Lha jemaat harus menghargai pendetanya.  Nek cara ndesa, ya gedhange barang teka neng pendhetane.  Kala emben punika, naminipun arta dhahar.  Pdt GKJ Gondokusuman Jogya ingkang angka kalih, Bapak Darmoatmojo punika nate ngendikan, 'ngko aku nek mati kepengin mati neng mimbar'.  Margi kala rumiyin punika mboten wonten ingkang ngrembag rumah pensiun pendeta.  Ingkang wonten namung griya pesanggrahan, dados namung kenging dipanggeni bapak kalayan ibu saklaminipun gesang, anak-anak sampun mboten nggadhahi hak punapa-punapa. Dados menawi bapak ibu sampun mboten wonten, anake kudu pindhah.  Lha saweg sakpunika kemawon, nembe dipun pikiraken, wong mentas ditahbisake wae, wis mikir rumah pendeta.

Saya: Apakah bahasa Jawa mesti dilestarikan oleh gereja-gereja Jawa?

Pak Siman: Kudune, dan saya mengatakan, benteng terakhir bahasa Jawa ini di gereja.  Lha liyane wis dha entek, neng keluarga wae, wis dha nggunakake bahasa Indonesia, sekolahan ya bahasa Indonesia, di kraton bahasanya juga ora karu-karuan ora kaya  basa sing tak sinaoni. menawa  kraton isih nggunakake basa bagongan, mangga mawon.

Saya: Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan oleh gereja, supaya bahasa Jawa dilestarikan?

Pak Siman: Pengalaman saya, setelah saya tidak mengajar di UKDW, bahasa Jawanya pathing gronjal, pasamuwan punika kraos.  Lajeng sami yasa bahasanipun piyambak-piyambak, paraga saking peraga, saengga saking sehingga, sami nJawakaken bahasa Indonesia.  Unsur-unsur yang ada di gereja seperti pendeta, majelis, lan jemaate harusnya mempunyai tanggung Jawab untuk melestarikan bahasa Jawa.

Saya: Bagaimana dengan pengaruh modernisasi?

Pak Siman: Penyerapan bahasa Indonesia, bahasa asing tidak bisa dihindarkan.  Untuk remaja perlu tata krama, wujuding kalbu, lan unggah-ungguh wujud tembung.  Tata krama samangke sampun mboten kantenan.  Kula saking yogya dugi karta sura namung ngadeg cekelan cagak bis. Jane ki ya ana cah enom sing lungguhe katon penak, lha niki klebu tata krama utawa etika.

Selamat jalan Pak Siman, panjenengan akan selalu kami kenang.  Panjenengan itu pejuang bahasa dan kebudayaan yang patut kami jadikan teladan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun