Oleh: Suyito Basuki
Biasanya yang terjadi, ada keterpisahan antara pihak birokrasi atau pemerintah dan kalangan seniman. Â Keduanya saling mencurigai satu sama lain, sehingga terjadilah sebuah kesenjangan. Â Pihak birokrasi memiliki sindrom ketakutan pada kalangan seniman yang suka mengritik kebijakan pemerintah melalui karya-karyanya, sehingga kegiatan berkesenian para seniman tidak tercover oleh pihak birokrasi dengan baik.
Tetapi yang terjadi di Jogja saat ini lain sama sekali.  Pemerintah Jogja, kali ini bersinergi  bersama seniman Jogja mengadakan pameran bersama dengan tajuk Gangsar #2 "Gugur Gunung".  Pameran seni yang dinamakan Festival Kebudyaan Yogyakarta ini berlangsung di Living Museum Kota Gede Yogyakarta, 17-23 September 2022.  Pameran ini dibuka oleh Ibu Yetty Martanti sebagai Kepala Dinas Kebudayaan kota Yogyakarta, Minggu 18 September 2022 pada pukul 19.00.Â
Secara keseluruhan, pameran seni rupa ini diikuti oleh 75 seniman Jogja baik perupa maupun pematung. Â Nama-nama perupa yang tidak asing lagi seperti: Subroto Sm, Supono Pr, Nanang Wijaya, Godod Sutejo, Picuk, Astuti, Rj Winarno, Jedid dan lain-lain turut serta dalam pameran tersebut.
Meneguhkan Konsistensi dan Kontinyuitas
Menurut Astuti , yang adalah yang Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta yang tinggal dan berkarya di Yogjakarta bahwa pameran yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan kota Yogyakarta ini sebagai sarana bagi pemerintah untuk menyapa dan mengenal warga seni rupa Kota Yogyakarta serta memperkenalkan kepada publik seni pameran seni rupa kali ini. Â
Lebih lanjut Astuti yang merupakan koordinator para perupa yang tengah pameran ini, tema "Gugur Gunung sengaja diambil sebagai ungkapan keyakinan akan kekuatan gotong royong sebagai metode berkegiatan.Â
Astuti merasa bangga karena gelaran event ini merupakan bentuk kebersamaan seniman Kota Yogyakarta dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam sebuah spirit yang mengedepankan kebersamaan kegotongroyongan menjadi payung bagi keduanya.
Astuti berharap, kedepannya kegiatan semacam ini tidak semata hanya sebagai sebuah kewajiban terselenggaranya sebuah program seni rupa saja tapi lebih lebih ke bagaimana menyuarakan event besar ini yang berkembang dari tahun ke tahun. Â
"Dimana tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya begitu seterusnya sehingga hal ini akan meneguhkan konsistensi dan kontinyuitas yang tidak hanya mandeg di tangan perupa," demikian urai Astuti. Â "Seni rupa juga harus dekat dengan rakyat dan pemangku kebijakan dalam hal ini Pemerintah sehingga seni rupa tidak hanya mendekam di ruangnya sendiri," lanjut Astuti menutup penjelasannya.
Pemicu Inspirasi dan Motivasi
Salah seorang peserta pameran, Jedid, menjelaskan pemicu inspirasi dan asal muasal dia melukis sebuah tokoh dalam lukisannya. Â Jedid melukis sebuah tokoh karena dia terkesan dengan tokoh yang dilukisnya serta kenal betul dengan keluarga tokoh tersebut. Â Tokoh yang dilukisnya itu meninggal, dia tidak bisa layat. Lukisannya itu merupakan suatu penghormatan kepada tokoh tersebut.
Astuti sebagai pengelola pameran ini menguraikan, mengapa ia melakukan koordinasi dengan para perupa sehingga terjadilah pameran dengan tajuk Gugur Gunung ini. Keterlibatan Astuti yang sejatinya adalah seorang dilandasi oleh sebuah motivasi bahwa seniman tidak saja berbicara di ruang tertutup, tetapi perlu juga melakukan komunikasi yang terbuka.Â
 Oleh karena itu, pameran ini sebagai wujud komunikasi yang terbuka itu dan juga sebagai kontribusi budaya yang memang perlu dilakukan oleh pekerja seni rupa kepada masyarakat.  Â
Perkuat Stigma sebagai Kota Seni
Pameran dengan tajuk Gugur Gunung ini pada akhirnya memang seperti memperkuat stigma seni yang melekat pada kota Yogyakarta. Â Tanpa atau dengan campur tangan pemerintah pun, pameran-pameran seni rupa, baik kolegial maupun individual terselenggara.Â
Dalam bulan yang sama, belum lama diselenggarakan pameran Memorabili Kustiyah kemudian sebelumnya pameran seni lukis di sanggar seninya Godod Sutejo selama bulan Suro yang bertepatan dengan bulan Agustus 2022, pameran para dosen/ guru senirupa oleh Subroto Sm dan kawan-kawan dan lain-lain.
Stigma seni kota Jogja memang istimewa. Â Jogja memang pantas menyandang gelar selain sebagai kota pelajar, dimana banyak pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah menimba ilmu di Jogja tetapi juga sbagai kota seni budaya. Â
Pameran-pameran seni rupa yang terus digelar secara sporadis setelah masa covid hampir terlalui ini, menunjukkan jati diri kota Yogyakarta ini. Â Seniman kembali fokus pada karya-karyanya setelah sesaat di masa pandemi covid mereka sempat terbelah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H