Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fase Disorientasi hingga Reorientasi Saat Pasangan Hidup Meninggal

15 Juni 2022   08:19 Diperbarui: 16 Juni 2022   09:05 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai contoh: seorang istri yang memiliki pekerjaan tetap dan memiliki penghasilan yang bisa untuk membantu suami memenuhi kehidupan sehari-hari, saat suami meninggal, dia akan lebih bertahan dari pada seorang istri yang menggantungkan sepenuhnya pada kehidupan suami. 

Contoh lagi: seorang yang setiap harinya selalu menghayati ibadah yang dilakukan dengan berpasrah penuh kepada Sang Pencipta, lahir dan batin, akan lebih tahan dalam menghadapi kematian pasangannya, dibanding dengan orang yang masa bodoh dengan kehidupan rohaninya. 

Contoh selanjutnya: sesorang yang hidup di keluarga dimana ibunya sudah menjadi single parent sejak mudanya dan bisa membawa kesuksesan hidup bagi anak-anaknya, maka saat pasangan hidupnya meninggal, dia akan lebih tahan karena terinspirasi dengan kehidupan ibunya daripada seseorang yang sebelumnya terbiasa hidup manja dan selalu bergantung kepada orangtuanya.

Move On

Sekarang ini ada istilah move on. Arti istilah ini kurang lebihnya adalah: seseorang yang suatu ketika terpuruk karena suatu hal, mungkin putus cinta atau dalam hal ini ditinggal mati oleh pasangan, sudah bisa menerima kenyataan dan menjalani kehidupannya sebagaimana adanya.

Hal ini dibuktikan dengan keterbukaannya untuk membuka relasi baru dengan orang lain, tidak terkungkung lagi pada masa silam yang membuat langkah kakinya seolah berhenti.

Ada memang seseorang yang setelah kematian suaminya sudah setahun lebih, masih terus menerus memasang foto kebersamaan dengan mendiang suami di akun-akun media sosial miliknya.

Mungkin itu hanya gambaran bahwa orang tersebut belum bisa move on atau masih gagal move on. Bukan berarti salah atau benar, baik atau tidak baik, semuanya sah-sah saja. Tetapi terlalu lamanya seseorang gagal move on, akan berakibat fatal bagi seseorang tersebut dalam jangka panjang; mungkin ia akan mengalami berbagai penyakit akibat kesedihan mendalam yang terus menerus ia pikirkan dan lain-lain.

Mbah putri saya disebut orang "ngenes" istilah bahasa Jawa yang berarti memiliki kesedihan mendalam yang terus menerus dipikirkan saban harinya karena anak lelaki semata wayangnya, yang adalah ayah saya itu, meninggal sewaktu masih usia muda. Waktu ayah saya meninggal katanya saya masih berumur satu tahun.

Mungkin mbah putri saya itu saking sayangnya pada anak lelaki satu-satunya yang pada saat orang kampung masih banyak yang buta huruf, anaknya itu sudah berhasil menyelesaikan studi di Solo di sebuah sekolah konservatori dan kemudian menjadi buah bibir karena anaknya itu mahir bermain kerawitan dan menjadi seorang dalang di pusat kota kami. Karena terlalu sedih memikirkan anaknya itu, maka mbah putri saya terserang berbagai penyakit dan meninggal. 

Orang kampung mengatakan bahwa mbah putri saya itu meninggal karena "ngenes". Mungkin kalau zaman sudah ada istilah gagal move on, mbah putri saya akan dikatakan meninggal karena gagal move on barangkali ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun