Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pdt. Dr. Chris Marantika dan Kecintaannya pada Masyarakat Desa

9 Juni 2022   10:41 Diperbarui: 10 Juni 2022   05:14 2966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pdt. Dr. Chris Marantika (Sumber Foto: doulospusat.com)

Dengan kedua lembaga pendidikan tinggi inilah, Pak Chris Marantika yang memiliki putra semata wayang, George Iwan Marantika, memperhatikan kebutuhan masyarakat desa di beberapa kota yang terdapat di sekitar kampus.  Setiap week end, sebagaimana yang saya tulis di atas, mahasiswa seminary diwajibkan untuk pergi ke desa-desa dengan tujuan dapat membantu mengembangkan pelayanan desa-desa sekitar.  Saya sendiri dari tahun 1990-1994, sebagai mahasiswa program Master of Divinity, melakukan tugas pelayanan di sebuah gereja di Desa Pesu Kecamatan Wedi Klaten.  Beberapa teman ada yang melayani gereja pedesaan yang ada di Sleman, Bantul, Ponorogo, Gunung Kidul, Salatiga, Solo, Semarang dan lain-lain. 

Bagi saya pribadi, saat itu adalah saat yang penuh tantangan.  Saya kuliah tetapi juga mengajar MKDU Bahasa Indonesia saat itu.  Saya bisa mengajar karena saya sebelumnya lulus S1 dari Universitas Sebelas Maret Surakarta FKIP Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia.  Meski orang menyebut sebagai "dosen" tetapi penghayatan hidup saya sehari-hari adalah sebagai mahasiswa.  Untuk menghemat biaya transportasi ke tempat pelayanan di desa, saya membeli sebuah sepeda dan bersepeda dari kampus sampai ke Klaten selama setahun lebih, baik pulang maupun perginya.  Jarak berkisar 40 Km yang harus ditempuh setiap akhir minggunya.

Dengan mahasiswa pergi ke desa-desa untuk melakukan pelayanan, maka didapatnyalah data-data masyarakat mana yang memerlukan bantuan untuk pengembangan masyarakat baik jasmani maupun rohaninya.  Jika itu terkait dengan pengembangan masyarakat untuk masalah ekonomi maupun sosial, maka sebagai follow up akan dikerjakan oleh LPM (Lembaga Pengembangan Masyarakat) UKRIM yang memang didirikan untuk kepentingan itu.  Pada waktu itu LPM UKRIM mempersiapkan bantuan ke masyarakat berupa bibit katak unggulan jenis bull frog, merpati unggulan jenis bangkok, kambing dan pinjaman lunak bagi usaha gendongan.  Selain itu juga disiapkan tanki-tanki tandon air untuk masyarakat yang sering kekeringan seperti di Gunung Kidul dan lain-lain.

Dulunya Menderita

Menurut buku I Cannot Dreamless tulisan Ray Wiseman yang berisi kisah perjalanan Dr. Chris Marantika, diceritakan bahwa Pdt. Dr. Chris Marantika lahir awal Juni tahun 1941 dari keluarga pasangan keluarga petani Yunus Marantika dan Yohana.  Pasangan petani tersebut memberi nama kepada anak lelakinya seperti nama kapal layar mereka: Christoffel, lengkapnya Christoffel Zadrach Marantika.  Yunus Marantika dan Yohana sering memanggil nama anak lelakinya dengan panggilan singkat Chada, yang diambil dari nama tengah "Crhistoffel Zadrach Marantika."  Mereka tinggal di pulau terpencil Pulau Nila yang merupakan bagian dari Kepulauan Banda dan berjarak 200 Km dari Ambon. 

Menurut catatan Ray Wiseman, Chris Marantika saat diwawancara masih terkenang dengan suasana perang pada waktu itu.  Sesekali pesawat hitam besar terbang rendah di atas pulau.  Menjelang akhir perang, pesawat terbang Catalina di parkir di teluk yang berlawanan dengan arah desa. Chris, orang tuanya dan juga orang-orang di kampungnya tidak pernah belajar sampai perang itu usai.  Dua setengah bulan setelah Chris ulang tahun yang keempat,  perang dengan Jepang berakhir. Di Kota Jakarta, Soekarno dan Mohammad Hatta menandatangani deklarasi kemerdekaan atas nama rakyat Indonesia, hal itu menandai berakhirnya dominasi asing yang telah berlangsung selama berabad-abad. Negara baru didirikan, bahasa Indonesia sebagai bahasa perdagangan dan pendidikan serta Pancasila menjadi dasar negara yang menjamin kebebasan beragama.

Sebagaimana yang diceritakan Ray Wiseman, Chris Marantika mengalami berbagai kesulitan dalam sekolah dasar maupun sekolah menengahnya. Sekolah, yang dioperasikan oleh Gereja Reformasi di pulau nominal Kristen itu, secara historis tidak lebih dari membekali anak-anak dengan bahasa dasar, aritmatika, dan keterampilan menulis. Meskipun sepertinya mempersiapkan siswa untuk masuk ke sekolah lebih tinggi, tetapi tidak ada yang pernah lulus ujian masuk tidak sampai Chris Marantika dan tiga orang lainnya sukses di tahun yang sama.


Chris mengingat kesempatan itu sebagaimana yang diceritakannya kepada Ray Wiseman: "Untuk pergi ke kelas tujuh dari pulau, itu perlu lulus ujian negara. Tidak ada satu pun di pulau itu kami pernah lulus sebelumnya. Tahun itu saya adalah salah satu dari empat yang lulus pertama kalinya! Kami harus pergi dengan perahu ke Banda Neira di Pulau Banda selama seminggu. Untungnya, saya mendapat peringkat pertama; maka saya sangat populer. Kami berempat meninggalkan pulau untuk pergi ke sekolah."

Menemukan Jati Diri

Chris Marantika menyelesaikan sekolah menengah pertamanya di Ambon dengan penuh perjuangan.  Dia harus tinggal di antara kerabatnya dan bekerja dalam waktu luangnya menjadi pengangkut pasir bangunan dan loper koran pada sore harinya.  Selesai SMP Chris pergi ke Jawa dengan menggunakan uang yang dikumpulkannya dari penjualan rempah-rempah bersama ayahnya.  Chris menuju arah Probolinggo, dimana pamannya, Lodwijk Marantika tinggal.  Chris kemudian membantu pamannya bekerja menjadi penjaga di sebuah sekolah tinggi, dia menjadi pengawas dari orang-orang yang mencuri gula.

Seperti yang diceritakan Ray Wiseman, Chris Marantika kemudian dengan menumpang sebuah kereta akhirnya sampailah di kota Kediri.  Di Kediri, ditampung oleh kerabatnya yang bernama Yunus Marantika.  Di Kediri inilah dia menemukan Gereja Baptis yang pendetanya bernama Pdt. Mulus Budianto.  Saat Pdt. Mulus Budianto berkotbah, menangislah Chris Marantika.  Pdt Mulus Budianto mendramatisir cerita, ia menggambarkan tubuh Yesus, patah dan berdarah, dipaku di kayu salib. Pendeta meneriakkan kata-kata, "Ya Tuhan, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku" Chris saat itu meringkuk di sudut dan mulai menangis. Pendeta Mulus berikutnya beralih ke Galatia 6: 17 dan membaca kata-kata Paulus, "Selanjutnya janganlah ada orang yang menyusahkan aku, karena pada tubuhku ada tanda-tanda milik Yesus." Chris memikirkan penderitaan yang mengerikan Yesus, dan Paulus membawa luka tersebut tanda di tubuhnya sendiri. Ia memikirkan penderitaan pribadinya dan tiba-tiba menyadari bahwa seseorang telah menderita lebih dari dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun