Novel Ziarah Iwan Simatupang, Kegelandangan yang Lahirkan Jati Diri
Oleh: Suyito Basuki
Novel Ziarah merupakan salah satu novel karya Iwan Simatupang, seorang sastrawan angkatan 66. Â Novel-novel Iwan yang lain adalah Merahnya Merah (1968), Kering (1972) dan Koong (1975). Â
Novel Ziarah sebetulnya novel pertama Iwan Simatupang, hanya karena persoalan penerbitan, maka novel Ziarah terbit tahun 1969 (NV Djambatan) setelah penerbitan novel Merahnya Merah (PT Gunung Agung Jakarta).  Setahun setelah penerbitan Ziarah ini, Iwan Simatupang meninggal dunia, tepatnya tanggal 4 Agustus 1970.
Berdasarkan surat yang ditulisnya kepada HB Jassin (14/4/68), novel itu menurut Iwan ditulis di tahun 1960, setahun setelah istrinya, Corry meninggal dan rupanya memang dimaksudkan untuk mengenang istrinya, seperti tertera pada sampul dalam buku itu: untuk CORRY yang dengan novel ini aku ziarah terus menerus. Â
Menurut surat Iwan yang sama, dia telah menandatangani kontraknya dengan Ita Pamuntjak dari NV Djambatan dan pada tahun itu proefdruknya sudah diperiksa. (Seperti yang dicatat Abdul Hadi WM "Iwan Simatupang dan Surat-suratnya", Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia, Korri Layun Rampan, Jakarta: Yayasan Arus, 1985 hal. 42)
Sinopsis Cerita
Novel Ziarah ini menceritakan kehidupan seorang pelukis yang kehilangan cita rasa kesenimanannya. Â Hal ini disebabkan oleh kematian istrinya. Â Karya-karya berikut peralatan lukisnya dia ceburkan ke laut. Â Kemudian dia hidup menggelandang dan bekerja serabutan yang hasilnya ia gunakan untuk makan dan minum arak.
Pelukis ini sebenarnya seorang pelukis yang sukses. Â Karya-karya pelukis dikagumi oleh banyak orang baik dari dalam maupun luar negeri. Â Pers dalam negeri terutama banyak memuat tulisan tentang pelukis ini serta karya-karyanya.
Kehidupan pelukis ini dikisahkan sangat unik. Â Sanggarnya adalah hotel tempat dimana ia tinggal. Â Setelah upacara pernikahannya dengan istrinya, yang diadakan di hotel dan dihadiri oleh banyak tokoh negara dan kebudayaan, maka pemilik hotel mengusirnya dengan alasan bahwa pelukis menyebabkan stabilitas kota terganggu. Â Pemilik hotel dan losmen yang lain, dengan alasan sama, menolak pelukis menginap di tempat mereka.