Kenangan Mudik Masa Kanak, dari Bus Esto hingga Sontoloyo
Oleh: Suyito Basuki
Dari sebuah stasiun radio yang biasa memantau dan menginfokan kondisi lalu lintas di kota Semarang dan sekitarnya, kami dari radio mobil, mendengar ada seorang bapak yang bertanya. Â
Dia dari Semarang ingin bepergian ke kota Salatiga hari Jumat sore, 29 April 2022 kemarin. Â Jawaban penyiar, menyarankan supaya bersiap-siap untuk menghadapi kemacetan, baik di jalan tol arah Tembalang maupun jalan Ungaran ke arah Bawen. Â
Kebetulan memang kami sedang melewati jalan tol Tembalang ke arah Kaligawe Semarang.  Kami melihat iring-iringan kendaraan yang merambat pelan pada jalan tol ke arah pintu tol Tembalang  yang menanjak. Â
Dua orang polisi berdiri di atas pagar beton pembatas jalan yang tinggi, mengatur jalannya arus lalu lintas. Â Kami sebelumnya juga melewati jalan regular dari Bawen ke Ungaran hingga masuk di jalan tol Tembalang. Â
Sejak di daerah Babadan Ungaran, hingga sampai Ungaran, kendaraan mobil sudah mulai padat merayap. Â Mungkin karena tanggal 29 April hari ini atau 30 April dimulainya cuti pegawai pemerintah dan swasta, maka banyak pemudik yang mulai melakukan perjalanan mudiknya ke Salatiga, Boyolali, Solo dan kota-kota lainnya yang ada di bagian selatan daerah Jawa Tengah atau kota-kota yang ada di Jawa Timur seperti Ngawi, Madiun dan lain-lain.
Melihat arus mudik dimana jalanan dipenuhi dengan kendaraan utamanya mobil-mobil pribadi, saya jadi ingat di tahun 1970-an, ketika masih usia kanak sering diajak mudik oleh keluarga ke "desa", yakni desa Dompon Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Â
Dulu kami menyebutnya daerah tersebut dengan sebutan "Salatiga". Â Perihal asal-usul leluhur kami yang berasal dari daerah "Salatiga" tersebut sudah saya ceritakan pada artikel Kompasiana sebelumnya dengan judul: Mrema Menjelang Lebaran Sebabkan Melambungnya Harga dan Urbanisasi.Â
Kalau saat kemajuan zaman ini, jalan di mana-mana diperlebar serta jalan tol dibangun, pada tahun 1970-an itu jalan raya masih terbatas dan sempit.Â