Dengan membaca karya sastra ini, pembaca akan menemukan suatu kegunaan, yakni memahami realitas sosial dan menemukan kesenangan-kesenangan melalui permainan dan pemilihan kata penyair.Â
Bagi pencipta, sastra memiliki kegunaan sebagai pengungkap ide-idenya serta pemikirannya. Pencipta karya sastra akan menemukan kesenangan-kesenangan ketika melakukan pemilihan kata atau diksi, mempermainkan kata dan kemudian menoreh-norehkan bait-baitnya.
Chairil Anwar dan Puisi Aku
Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatra Utara, 26 Juli 1922. Anak pasangan Toeloes dan Saleha ini meninggal 28 April 1949. Tanggal meninggalnya ini yang kemudian dijadikan Hari Puisi Nasional.
Chairil Anwar dikenal sebagai penyair pelopor angkatan '45. Dalam karyanya, dia berusaha melepaskan diri dari kungkungan aturan berpuisi para penyair Pujangga Baru, angkatan sebelumnya terikat dengan persajakan bagaikan pantun. Kemerdekaan jiwanya itulah yang tercermin jelas pada puisinya yang berjudul "Aku". Puisi tersebut lengkapnya sebagai berikut:
Aku Kalau sampai waktuku/ Ku mau tak seorang kan merayu/ Tidak juga kau/ Tak perlu sedu sedan itu/ Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang/ Biar peluru menembus kulitku/ Aku tetap meradang menerjang/ Luka dan bisa kubawa berlari/ Berlari hingga hilang pedih peri / Dan aku akan lebih tidak peduli/ Aku mau hidup seribu tahun lagi
Baik larik, maupun tema yang diusung oleh Chariril Anwar ini mengekspresikan kejiwaannya yang merdeka. Puisi "Aku" tersebut bisa ditafsir wujud pemberontakan jiwa Chairil Anwar terhadap pemerintahan kolonial Jepang saat itu. Dengan demikian dalam hal ini, bisa dilihat jiwa patriotisme Chairil Anwar.
Pada saat kolonial Jepang mendirikan badan Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso, Chairil Anwar enggan bergabung dengan badan kebudayaan tersebut karena ia merasa akan dijadikan corong pemerintahan Jepang saat itu untuk kepentingan kolonialismenya terhadap bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa di Asia.
Fungsi Dulce dan Utile Terpenuhi
Selain itu, secara intrinsik, puisi "Aku" memiliki tema "keakuan" yang pada masa sebelumnya belum pernah ada. Hal ini menunjukkan bahwa Chairil Anwar ingin melepaskan diri dari paradigma penyair sebelumnya yang sangat terikat dengan komunal kebersamaannya.