Mrema Menjelang Lebaran Sebabkan Melambungnya Harga dan Urbanisasi
Oleh: Suyito Basuki
Biro travel langganan kami memberi informasi adanya kenaikan harga sebagai berikut: Tarif Tiket Jogja-Jepara sampai tgl 23 April Rp. 140.000. Namun mulai tgl 24 April - 28 April Rp. 170.000, tgl 29 April - 9 Mei Rp. 190.000 dan tgl 2 Mei Rp. 280.000. Ada kenaikan harga bertahap mulai 8 hari sebelum Lebaran hingga puncaknya di hari Lebaran. Wah itu biro travel lagi "mrema" kata saya kepada istri.
"Mrema" menurut arti kamus adalah "ngeman marang" (Kamus Bahsa Jawa, Jogjakarta: Kanisius 2001, h. 522). Kata ini baik krama maupun ngoko bentuknya sama. Sedang arti "ngeman marang" dalam bahasa Indonesia berarti "sayang terhadap" (orang, barang dsb). Dalam bahasa Jawa yang lazim penggunaan kata ini misalnya dalam kalimat: "Wis tak premakke becik nanging meksa durung ana owah-owahane." Artinya: "Sudah ku beri kesempatan dengan kasih sayang, tetapi terpaksa belum ada perubahannya." (terhadap rekanan bisnis yang bangkrut atau terhadap anak yang nakal dan lain-lain).
Dalam perkembangannya, kata "mrema" ada pemahaman yang negatif. Misalnya seperti biro travel tadi, menjelang lebaran mereka "mrema". Itu artinya menjelang lebaran ini, mereka sengaja menaikkan harga jasa travel mereka, dari waktu ke waktu bertahap dan menuju klimaks pada saat hari-H-nya. Dalam bentuk kalimat pasif (ukara tanggap) maka akan muncul kata "diprema". Kata ini muncul dari pihak obyek penderita. Misalnya kalimat: "Wah aku diprema karo bakul-bakul pasar." Artinya dalam bahasa Indonesia "Wah aku dikenakan harga lebih mahal oleh penjual-penjual di pasar."
Mrema sebagai Sebuah Kebiasaan
Menjelang hari-hari besar atau hari raya, memang sudah dipahami adanya budaya "mrema" ini. Tidak saja menjelang hari Lebaran yang diperingati oleh kalangan umat Islam setelah sebulan penuh mereka melakukan puasa di bulan Ramadhan, tetapi menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru yang diperingati oleh kalangan umat Kristiani pun "mrema" dan "diprema" dalam arti menaikkan harga dari harga yang wajar sebelumnya terjadi. Oleh karena itulah selalu pemerintah dari tahun ke tahun berusaha mengendalikan harga terutama kebutuhan pokok pada saat menjelang hari-hari raya, khususnya Lebaran dan Natal/ Tahun Baru.
Namun meski pemerintah berusaha mati-matian mengendalikan perdagangan, supaya segala kebutuhan pokok stabil, namun di pasar-pasar dan di berbagai tempat terjadinya transaksi jual beli, bisa dipastikan harga tetap akan melambung. Mengapa demikian? Hal ini terjadi kait mengait dan sebab akibat dalam dunia perdagangan dan jasa. Mengambil contoh kenaikan harga dari biro jasa travel tadi, juga pasti akan diikuti dengan kenaikan angkutan bus antar kota dan angkutan pedesaan. Para pedagang yang adalah pengguna angkutan umum dalam mereka mengangkut dan mendistribusikan dagangannya, secara otomatis akan menaikkan harga jual barang dagangannya untuk perimbangan hasil keuntungan dan pendapatannya. Mana ada pedagang yang ingin merugi? Insting pedagang adalah mencari untung, di setiap zaman dan di setiap waktu.
Memang ada peribahasa Jawa "tuna sathak bathi sanak" yang artinya "nggak apalah rugi dalam hal keuntungan uang atau barang (materi), yang penting memiliki pertambahan pertemanan." Biasanya ini karena yang membeli barang itu adalah rekan satu alumni sekolah dulunya, saudara atau pedagang tersebut sedang melakukan promo, buka toko atau lapak yang baru. Coba cari pedagang-pedagang apa saja menjelang Lebaran ini, apakah ada yang mempunyai prinsip seperti peribahasa ini? Hampir dapat dipastikan "tidak ada"! Mereka berusaha untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, selain untuk mengimbangi biaya transportasi dan lain-lain yang semuanya naik, juga kebutuhan Lebaran yang secara kebiasaan, mereka harus menyediakan makanan spesial dan kebutuhan pakaian baru kepada anggota keluarga serta berderma kepada sanak keluarga atau tetangga yang dipandang kurang mampu.
Mrema Sebabkan Urbanisasi