Hakikat Karya Sastra, Sebuah Realitas Fiktif
Oleh: Suyito Basuki
Andre Harjana dalam bukunya Kritik Sastra Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1985) mengutip pendapat David Daiche dalam buku A Study of Literature and Critics menyebutkan bahwa sebenarnya karya sastra diciptakan orang sebelum orang memikirkan apa hakikat sastra, apa nilai, serta apa makna sastra.  Ini seperti halnya dengan kehidupan yang mengalir tanpa lebih dulu orang berpikir apa hakikat, apa nilai, serta apa makna kehidupan sesungguhnya.
Andre Harjana juga mengutip pendapat W.H Hudson dalam bukunya An Introduction to the Study of Literature yang mengatakan bahwa sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dipermenungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan lewat seluk beluk bahasa. Â Apabila pengertian longgar tentang sastra itu dapat diterima, kiranya dapat dikatakan bahwa yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk menaruh minat pada sesama manusia, untuk menaruh minat pada dunia realitas tempat hidupnya, dan pada dunia angan-angan yang dikhayalkan sebagai dunia nyata, dan keinginan dasar untuk mencintai bentuk sebagai bentuk.
Pada Mulanya Tersentuh Alam Kehidupan
Pada mulanya sastrawan tersentuh oleh lingkungan kehidupan dan lingkungannya, menurut Pamusuk Eneste dalam bukunya yang berjudul Proses Kreatif II (Jakarta, Gramedia: 1984). Â Lebih lanjut Pamusuk Eneste menyampaikan bahwa alam kehidupan lingkungan membuatnya simpati karena peristiwa-peristiwa yang menyedihkan dan mengagumkan yang membuatnya terdorong melukiskan perasaan-perasaannya pada karya sastra. Â Dalam hal ini, Sapardi Djoko Damono memberikan pengakuan bahwa sajak-sajak "Masa Kecil"-nya adalah merupakan penuangan dari pengalaman kehidupan yang dapat diartikan sebagai reaksi atas kehidupannya. Â Umar Khayam pun juga mengakui bahwa kumpulan cerpen-cerpennya Seribu Kunang-Kunang di Manhattan yang berlatar belakang kota New York, sepenuhnya merupakan reaksinya terhadap beberapa kejadian di kota New York.
Alam dan kehidupan tidak hanya berpengaruh pada "isi" sastra seorang sastrawan saja, melainkan dapat mempengaruhi bentuknya juga. Â W.S Rendra, penyair, dramawan, sekaligus budayawan, dalam buku Dua Puluh Sastrawan Bicara (Jakarta: 1984), mengutarakan betapa besar pengaruh alam terhadap karya-karya sastranya. Â Dan ini yang mempengaruhi bentuk seninya. Â Diakuinya saat dia senang menonton wayang kulit, mendalami suluk-suluk sang dalang dan juga dekat kepada teknik serta bentuk tembang dolanan anak-anak Jawa yang penuh dengan imajinasi orang yang sedang stoned atau in tranced, maka bentuk seni yang ia tampilkan tidak seperti bentuk prosa liris. Â Ini dapat dilihat dari kumpulan-kumpulan sajaknya Balada Orang-orang Tercinta, Nyanyian dari Jalanan, Sajak-sajak Dua Belas Perak, dan Malam Stanza.
Kemudian timbul sebuah pertanyaan mendasar. Â Jika demikian, apakah sastra merupakan pelukisan seorang pengarang terhadap kehidupan sehari-hari saja? Â Jawaban ini yang akan menemukan hakekat sastra itu apa.
Antara Aristoteles dan Plato
Realitas kehidupan sehari-hari hanya berfungsi sebagai picu kreatif, demikian pendapat Jan Van Luxemburg dkk dalam buku terjemahan Dic Hartoko Pengantar Ilmu Sastra (Jakarta: Gramedia, 1984). Â Realitas yang tergambar dalam karya sastra tidak memiliki kesamaan yang sama persis dengan realitas keseharian. Â Karya sastra, bagaimanapun juga dipandang sebagai karya rekaan, meski berpijak dari sebuah relaitas. Â Aristoteles dalam teori mimesisnya tidak semata-mata bahwa karya sastra menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif yang berpangkal pada kenyataan untuk kemudian menciptakan suatu hal yang baru. Â Lebih lanjut Aristoteles dalam bukunya Poetica, tidak lagi memandang sastra sebagai suatu copy atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia".
Pendapat Aristoteles ini mematahkan pendapat gurunya, yakni Plato tentang teori mimesis ini. Â Plato memandang bahwa karya seni hanya merupakan penjiplakan saja dari sebuah benda. Â Tetapi tragisnya, jiplakan itu tidak memiliki nilai lebih dibanding nilai benda itu sendiri. Â Menurutnya, setiap memiliki ide yang asli, sedangkan karya seni adalah tiruan dari benda asli itu. Â Karya seni dipandangnya sebagai suatu ilusi tentang kenyataan yang jauh dari kebenaran. Â Secara sinis Plato memandang bahwa karya seni lebih tinggi nilainya dibanding dengan barang-barang buatan tukang. Â Karya tukang meski prosesnya melalui peniruan juga, namun dapat disentuh dengan panca indra. Â Menurut Plato, hal inilah yang merupakan kelebihan karya tukang dibanding karya seni.
Burung-Burung Manyar, Pengakuan Pariyem dan Ziarah
Teori Creatio dapat pula membantu pemahaman masalah hakekat sastra. Â Pada dasarnya teori Creatio ini mengatakan bahwa karya sastra memiliki unsur-unsur fiktif meski gejalanya adalah sebuah realitas. Â Meski novel Burung-Burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya merupakan novel yang berusaha berpijak pada pada pengalaman sejarah, namun kita tidak dapat dapat menjumpai tokoh Setadewa dan Larasati yang masing-masing mempertahankan diri untuk tidak menikah walaupun masing-masing saling mencintai. Â Masing-masing mempertahankan ideologinya dengan teguh. Â Jelas bahwa Setadewa dan Larasati merupakan dunia ide Y.B Mangunwijaya. Â Secara realitas, sulit dijumpai dalam kehidupan nyata.
Demikian pula halnya dengan tokoh Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Â Orang sulit mengerti dan menerima bahwa Pariyem adalah seorang wanita yang sungguh-sungguh pasrah ketika diperlakukan tidak senonoh oleh juragan mudanya. Â Dia tidak menolak, bahkan mau meladeninya dengan baik.
Juga, orang tidak akan habis mengerti dengan tingkah nyentriknya tokoh Pelukis dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang.  Tokoh Pelukis ini dikisahkan selalu berjalan di tikungan, hanya untuk bertemu dengan istrinya.  Padahal dia tahu bahwa istrinya sudah meninggal.
Memahami hal-hal semacam itu, pembaca harus kembali pada pijakan bahwa sastra adalah dunia kreasi, fiktif yang memilki realitasnya sendiri. Â Meski karya-karya sastra itu semula diciptakan karena sentuhan realitas kehidupan para sastrawan. Â Karya sastra adalah sebuah mimetik atau peniruan, tetapi memiliki realitas fiktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H