Sebagaimana yang saya kisahkan di dalam tulisan sehari sebelumnya bahwa tanggal 13 Mei-3 Juni 2017 yang lalu saya berkesempatan mengikuti training perdamaian di Mindanao Peacebuliding Institute (MPI).  Kami berempat, saya (Jepara), Pdt. Herin K.Hadijaya (Kudus), Najahan Musyawak (Semarang), dan Anas Aijudin (Solo) berangkat ke Davao Filipina dengan sponsor  Mennonite Central Commite (MCC). Â
Saya dan Pdt. Herin mewakili sinode gereja kami yakni Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ). Â Najahan dan Anas mewakili bidang akademik. Najahan mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, sementara Anas mengajar di UIN Solo dan pengasuh sebuah pondok pesantren di Karanganyar.Â
Saat pelatihan di Mindanao Peacebuliding Institute berlangsung, selain situasi kepulauan Mindanao yang masih menyisakan konflik pemerintah Filipina dengan milisi Moro; Â pada 23 Mei 2017 terjadi penyerangan atas kota Marawi yang sebenarnya secara letak agak jauh dari Davao. Â
Dari Davao ke Marawi memerlukan waktu sekitar 7 jam perjalanan dengan berkendara. Â Kota Davao yang yang adalah tempat kelahiran presiden Filipina Rodrigo Duterte jumlah penduduk berdasarkan sensus tahun 2015 adalah sebanyak 1.632.991 orang. Mayoritas penduduknya menganut agama Khatolik (70%), sedangkan sisanya menganut agama lain seperti Protestan, Islam, Hindu dan Budha (kemlu.go.id). Â
Kota Marawi yang berpenduduk lebih dari 200.000 orang ini adalah ibu kota Provinsi Lanaul de Sur. Banyak penduduknya yang muslim. Marawi ini adalah daerah otonomi Islam yang memberlakukan hukum syariah, meski tidak ada hukuman rajam dan potong tangan sebagaimana hukum syariah murni.Â
Penyerangan terhadap Kota Marawi ini dilakukan oleh kelompok milisi yang dipimpin oleh Oman dan saudaranya yang bernama Abdullah. Mereka membentuk milisi yang bernama Maute yang terafiliasi dengan ISIS. Â Penyerangan mereka atas kota Marawi membawa ketegangan di lokasi penginapan kami. Â Pengajar dan peserta saat istirahat meluangkan waktu untuk melihat perkembangan penyerangan tersebut di televisi. Â
Kemudian ada larangan selama beberapa hari untuk peserta, terutama orang asing untuk keluar lokasi pelatihan demi menjaga keamanan bersama. Â Orang asing, terutama dari Eropa atau Amerika atau Kepulauan Solomon gampang dikenali, sehingga dimungkinkan akan menjadi sandera dan kepentingan politik lainnya oleh pihak milisi.
Dua akhir pekan kami lewati dengan mengunjungi tempat wisata yang ada di kota Davao.  Akhir pekan pertama, Kami mengunjungi taman kupu-kupu yang disebut sebagai  Davao Butterfly House.  Di Davao Butterfly House ini pengunjung akan dibawa ke sebuah taman yang asri. Beberapa bangunan dijadikan semacam museum kupu-kupu.  Di dalam bangunan-bangunan tersebut, pengunjung dapat melihat berbagai macam kupu yang diawetkan di insektarium. Â
Sebagai sarana edukasi ada tempat dan gambar-gambar yang menjelaskan proses bagaimana ulat menjadi kepompong hingga akhirnya menjadi kupu-kupu yang indah. Â Ada spot-spot foto dengan berlatar belakang sayap kupu-kupu yang disediakan di situ. Â Sehingga pengunjung yang berfoto menjadi seolah memiliki sayap.