Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar di Mindanao Peacebuilding Institute Filipina, Para Pengajarnya Top Markotop

17 Maret 2022   06:07 Diperbarui: 17 Maret 2022   07:47 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar di  Mindanao Peacebuliding Institute Filipina, Para Pengajarnya Top Markotop

Oleh: Suyito Basuki

Tanggal 13 Mei-3 Juni 2017 yang lalu saya berkesempatan mengikuti training perdamaian di Mindanao Peacebuliding Institute (MPI).  Kami berempat, saya (Jepara), Pdt. Herin K.Hadijaya (Kudus), Najahan Musyawak (Semarang), dan Anas Aijudin (Solo) berangkat ke Davao Filipina dengan sponsor  Mennonite Central Commite (MCC).  

Saya dan Pdt. Herin mewakili sinode gereja kami yakni Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ).  Najahan dan Anas mewakili bidang akademik.  Najahan mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, sementara Anas mengajar di UIN Solo dan pengasuh sebuah pondok pesantren di Karanganyar.  Kedua rekan ini memiliki gelar akademis sebagai doktor sekarang ini.

Rute perjalanan dari bandara Ahmad Yani Semarang, kami ke Jakarta.  Setelah dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta kami ke taransit ke bandara udara Internasional Ninoy Aquino Manila. 

 Dari Bandara Manila baru kemudian kami ke Bandara Internasional Fransisco Bangoy Davao.  Sesampai di Davao, kami dibawa ke sebuah tempat tepi pantai.  Rupanya lokasi pelatihan berada di sebuah pinggir pantai.  Banyak rumah kecil berderet dengan dua kamar menjadi tempat tinggal kami selama 3 minggu pelatihan.  

Saya tinggal dengan rekan dari Kepulauan Solomon dan dari India.  Peserta pelatihan berasal dari berbagai negara.  Yang saya tahu selain kami dari Indonesia, juga dari India, Laos, kepulauan Solomon, Papua Nugini, Birma, Jepang, Bangladesh, Mexico, Filipina sendiri dan lain-lain.  

Tulisan identitas saya yang dikalungkan setiap hari di leher: "Pak Suyito", dikira saya berasal dari Jepang.  "Are you Japanesse sir?" begitu kata seorang gadis muda Filipina pembawa acara.

Yang agak lucu adalah saat hari Minggu, saya dan Herin mengunjungi sebuah gereja di kota Davao dengan menumpang sebuah taksi.  Sopir taksi malah mengira kami adalah orang Filipina.  

Setelah kami jelaskan bahwa kami ini dari Indonesia, sopir taksi kemudian kembali bertanya,"Are you married to a philipine women?"  Wah, malah kami dikira menikahi wanita Filipina.  Herin tertawa, mungkin dia ingat istrinya di tanah air.  Saya nyengir saja, ingat posisi saya waktu itu sebagai seorang widower karena istri meninggal akibat tumor colon awal tahun, tgl. 15 Januari 2016.

Tetapi ngomong-ngomong soal wanita Filipina nih ya, meski secara postur tubuh mereka hampir sama dengan wanita Indonesia, tetapi rata-rata kulit mereka agak lebih putih.  Mungkin hampir sama dengan wanita Manado ya.  Tetapi yang jelas, sikap mereka sangat terbuka.  Dengan penguasaan bahasa Inggris yang bagus, mereka mudah bergaul dengan lelaki dari negara mana pun.  

Wanita-wanita Filipina ini menurut pengamatan saya selama 3 minggu di tempat pelatihan, mereka suka acara party dan suka dansa atau menari.  Setiap akhir pekan diadakan semacam talenta show, masing-masing negara menampilkan kesenian khas mereka dan biasanya diakhiri dengan tarian.  

Di sinilah, wanita Filipina terlihat suka menari atau berdansa, mereka menguasai berbagai jenis tarian modern.  Kami yang dari Indonesia dan peserta negara lain yang tidak biasa menari mengikuti saja gerak tarian mereka.

Materi pelatihan perdamaian  yang diberikan selama 3 minggu, disampaikan oleh para pengajar dari berbagai negara dengan cara-cara mengajar yang menarik.  

Seperti Wendy Kroeker Direktur pada Canadian School of Peace Building serta pengajar pada Studi Transformasi Perdamaian dan Konflik di Departemen Universitas Mennonite di Winnipeg, Canada.  Wendy yang sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun sebagai mediator komunitas, pengajar transformasi konflik, manajer program perdamaian dan manajer program pengembangan proyek internasional, mengajar dengan santai tetapi semangat.  

Role playing adalah salah satu metode yang ia terapkan.  Jadi misalnya kami dibagi menjadi dua kelompok.  Satu kelompok adalah sebuah negara yang bertahan, kemudian kelompok yang lain sebagai pihak pemberontak.  Setelah "perang" berkecamuk, maka datanglah seseorang yang memiliki pengaruh yang menyarankan adanya resolusi perdamaian. 

Dari beberapa pelajaran yang ada, saya mengambil pelajaran antara lain dengan topik Interreligious Peacebuilding: Approaches for Cooperation, Social Cohesion and Reconciliation.  

Saya mengambil pelajaran ini karena memang di Indonesia seringkali terjadi konflik dengan dimotivasi oleh perbedaan pandangan agama.  Tujuan pelajaran ini adalah pada prinsipnya mengenali dan memahami dasar-dasar agama yang dianut dalam rangka mengupayakan perdamaian dalam suatu konflik.  

Oleh karena itu, pada saat tugas kerja kelompok, setiap kelompok diminta untuk menulis dasar-dasar ayat atau ajaran agama/ kepercayaan kami masing-masing yang dapat menjadi kontribusi terhadap perdamaian terhadap konflik yang ada.  Kemudian kelompok diminta untuk menerangkan ayat atau dasar agama/ kepercayaan yang kami cantumkan di lembar panel tersebut.  Seorang pengajar di topik ini adalah Shamsia Ramadhan.  

Wanita berjilbab ini bekerja di Catholic Relief Services (CRS) yang berbasis di Kenya .  Shamsia mengepalai berbagai proyek di beberapa negara yakni proyek pembangunan perdamaian intereligius.  Dia banyak mempromosikan perdamaian kepada para ekstrimis di Kenya, Uganda, Tanzania, Mesir, Nigeria dan Nigeria. 

Melukis untuk Perdamaian, Kyoko Okumoto berada di tengah peserta (Sumber Foto: peaceboat.org)
Melukis untuk Perdamaian, Kyoko Okumoto berada di tengah peserta (Sumber Foto: peaceboat.org)

Beberapa pengajar lain yang kami serap ilmu dan pengalaman perdamaiannya antara lain Babu Ayindo seorang pencerita kisah, pengajar, fasilitator, peneliti dan penulis.  Lebih dari dua dekade, dia melakukan seni dan pembangunan perdamaian dalam berbagai konteks.  Sebelumnya dia sebagai Direktur seni di Chelepe Arts di Nairobi, Kenya.  

Selain itu ada pula pengajar yang sudah lebih dari 20 tahun memiliki pengalaman  dalam merencanakan dan memberikan teknik program pembangunan perdamaian di Afrika.  

Dia juga bekerja sebagai penasihat di Catholic Services Peacebuilding untuk Afrika.  Pengajar itu adalah Jean Baptiste Talla.  Ada seorang pengajar wanita dari Jepang, yakni Kyoko Okumoto.  Kyoko mendapatkan gelar Ph.D di bidang the Arts and Literature dari Sekolah Kobe Jepang.  Pengajar wanita yang menjadi favorit kami ini menyelesaikan studi  Master of Arts di bidang Peace Study di Lancaster University di UK.  

Saat ini pengajar yang mengajak kami banyak melukis untuk perdamaian ini menjadi dosen di Universitas  Jogakuin Osaka Jepang.  Masih banyak lagi pengajar-pengajar dengan ilmu dan pengalaman luas yang memberi ilmunya di program MPI ini dan mereka adalah para pengajar yang top markotop alias ahli di bidangnya menurut saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun