Menjadi Narasumber dalam Pembelajaran Jarak Jauh
Oleh: Suyito Basuki
Pembelajaran siswa saat ini dikenal dengan cara Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).  Jika kondisi suatu daerah menunjuk pandemi pada level  3 maka pembelajaran dilakukan PJJ tetapi ada kelas yang siswanya masuk 2-3 hari, diselang-seling harinya.  Jika kondisi naik ke level  4, maka aturan PJJ berubah lagi bagi siswa.  Mereka akan sepenuhnya melakukan PJJ.  Hal ini dilakukan oleh pihak sekolah dalam rangka mencegah penyebaran virus Covid-19 di lingkungan sekolah.  Bagi siswa yang tubuhnya kurang enak badan, demam, flu disarankan tidak masuk sekolah pada saat PTM.
Baik PTM maupun PJJ memberi guru sekolah untuk mencari narasumber yang dianggap berkompeten membantu proses pembelajaran. Â Jika yang dilakukan PTM maka narasumber haruslah didatangkan ke lokasi sekolah. Â Namun jika yang dilakukan PJJ maka narasumber dapat diminta masuk ke link google meet atau zoom meeting yang telah tersedia. Â Dengan demikian, narasumber tidak terbatas pada jauh dekatnya dengan lokasi sekolah. Â Di samping itu terasa lebih ekonomis karena narasumber hanya berada di lokasi rumah tanpa harus pergi ke mana-mana, sehingga tidak diperlukan biaya transport.
Berawal dari Bus Wisata
Suatu ketika saya mengikuti tour yang diadakan sekolah SMA tempat istri mengajar. Â Hampir dua tahun, keluarga besar karyawan-guru SMA tersebut tidak mengadakan tour karena pandemi yang berkepanjangan. Â Saat level pandemi menurun, maka keluarga besar karyawan-guru tersebut mengadakan tour ke Pacitan Jawa Timur, sekaligus perpisahan dengan kepala sekolah mereka yang lama yang mendapat penugasan di tempat yang baru.
Biasalah di dalam bus, suasana keceriaan dibangun dengan menyanyikan lagu-lagu karaoke. Â Lagu-lagu karaoke yang dinyanyikan pun silih berganti dari lagu pop, dangdut, langgam campur sari dan lain-lain. Â Para guru dan karyawan pun silih berganti menyanyikan lagu pilihan mereka dengan kekhasan suara mereka masing-masing. Â Saat itu saya pun ikut menyanyi. Â Pilihan saya pertama kali adalah lagu langgam campur sari "Nyidham Sari" ciptaan almarhum Manthous. Â Saya tidak sadar saat nyanyi ada guru yang merekam video dari belakang kemudian menshare di grup WA sekolah. Â Kemudian menurut istri saya kemudian, ambyarlah berbagai komentar terhadap rekaman video tersebut.
Namun inilah berkahnya. Â Melalui istri saya kemudian hari diberi tahu bahwa guru pengajar bahasa daerah (Jawa) meminta kesediaan saya untuk menjadi narasumber kelas PJJ yang akan dilakukan. Â Topik pembahasannya tentang Wayang Purwa. Â Wah ini topik yang tidak perlu terlalu banyak persiapannya. Â Pengalaman sekolah di Habirandha, sebuah sekolah pedalangan di lingkungan Kraton Yogyakarta, serta pengalaman mendhalang beberapa kali sejak tahun 2000 memberi bekal cukup bagi saya untuk menerima tawaran menjadi narasumber tersebut. Â Setelah ikut mengisi kelas X yang mengupas topik Wayang Purwa kemudian saya juga diberi tugas di kelas XII melagukan dan mengupas Serat Tri Pama di minggu depannya.
Saat Menjelaskan tentang Wayang Purwa
Sebelumnya saya menshare kepada siswa melalui guru, tulisan yang saya buat di Kompasiana perihal Wayang Purwa dan Wayang Wahyu sebagai bahan pembelajaran. Â Dalam pertemuan sekitar 45 menit saya menjelaskan bahwa cerita wayang kulit itu pada umumnya bersumber dari kitab Mahabarata dan Ramayana. Â Dari kitab Mahabarata timbul kisah para Pandhawa dan Kurawa. Â Pandhawa itu kestria keturunan Prabu Pandhudewanata. Â Mereka adalah: Yudistira/ Puntadewa, Bima/ Werkudara, Arjuna/ Janaka, Nakula dan Sadewa.
Saat sebelum Pandhudewanata meninggal, kerajaan Astina yang dipimpinnya dititipkan kepada kakaknya Adipati Destarastra dengan pesan jika para padhawa sudah dewasa maka kerajaan hendaknya diberikan kepada kelima anaknya. Â Destarastra sendiri memiliki anak yang berjumlah 100 orang yang disebut Kurawa. Â Saat Kurawa sudah mulai tumbuh dewasa, mereka membujuk ayah mereka supaya negara tidak dikembalikan kepada Pandhawa. Â Akhirnya terjadilah perang Baratayuda yang mengisahkan peperangan antara Pandhawa melawan Kurawa dalam rangka memperebutkan kerajaan Astina yang akhirnya dimenangkan Pandhawa dan Astina kembali ke tangan para Pandhawa yang memang ahli waris kerajaan itu.
Selain kitab Mahabarata, kisah wayang kulit juga bersumber dari buku Ramayana. Â Dari buku Ramayana, muncul kisah peperangan antara Prabu Rama melawan Prabu Dasamuka atau sering disebut Rahwana. Â Ceritanya bermula saat Prabu Rama beserta istrinya yang bernama Dewi Sinta berada di sebuah hutan yang bernama Dandaka. Â Prabu Rama yang ditemani adiknya, Lesmana Widagda kaget karena Sinta ternyata diculik oleh Rahwana yang menginginkan Sinta menjadi istri Rahwana karena menurut Rahwana, Sinta adalah titisan dari Bethari Widowati, makhluk kahyangan yang dia selalu impikan. Â Terjadilah kemudian peperangan antara wadyabala Pancawati kerajaan Prabu Rama melawan pasukan dari Alengka kerajaan Rahwana. Â Muncul tokoh dari kerajaan Pancawati seperti Sugriwa, Gunawan Wibisana Anoman, Anggada dan lain-lain. Â Sementara itu dari Alengka, muncul tokoh-tokoh seperti Kumbakarna, Indrajit disamping Prabu Rahwana sendiri. Â Akhirnya peperangan dimenangkan oleh wadya bala Prabu Rama. Â Sinta kemudian diboyong pulang ke kerajaan Pancawati. Â Sedangkan Rahwana yang dikisahkan tidak bisa mati karena memiliki ajian Pancasona, ditimbun hidup-hidup oleh Anoman di Gunung Pangrantunan.
Saat Melagukan dan Menjelaskan Serat Tri Pama
Sebelumnya saya juga menshare bahan yang telah saya tulis di Kompasiana sebelumnya kepada para murid peserta kelas melalui guru mereka. Â Setelah itu dalam waktu sekitar 40 menit saya melagukan dan menjelaskan Serat Tri Pama ciptaan KGPAA Mangkunegoro IV. Â Serat Tri Pama itu terdiri dari 7 bait atau pupuh dan dikemas dalam tembang macapat dhandhanggula. Â Dua bait pertama menceritakan kisah Patih Suwanda sebagai panglima perang Kerajaan Maespati.. Â Bait ketiga dan keempat menceritakan kepahlawanan Kumbakarna panglima perang kerajaan Alengka. Â Bait kelima dan keenam mengisahkan Adipati Karna senapati Astina.
Patih Suwanda atau Sumantri berjasa kepada negara karena berhasil melaksanakan perintah Raja Arjuna Sastrabahu dengan memboyong Dewi Citrawati dan dipersembahkan kepada Raja Maespati tersebut. Â Saat kerajaan Maespati diserang oleh kerajaan Alengka yang dipimpin Rahwana, maka Patih Suwandalah yang menjadi panglima perang kerajaan Maespati. Â Namun malang, Patih Suwanda mati di tangan Rahwana. Â Kepahlawanan Patih Suwanda terletak bagaimana dia sebagai kstaria selalu taat dan setia kepada perintah raja.
Kumbakarna yang adalah adik Rahwana sebenarnya tidak menyetujui sikap kakaknya yang menculik Dewi Sinta. Â Oleh karena itu dia kemudian minggat bertapa dengan cara tidur berbulan-bulan. Â Saat Alengka diserang musuh, maka Kumbakarna dibangunkan dan diminta menjadi panglima perang. Â Meski dalam lubuk hati Kumbakarna tidak sepakat dengan kakaknya, namun demi bangsa negaranya, maka dia mau bertempur dengan musuh. Â Hingga akhirnya Kumbakarna tewas di tangan kstaria dari Pancawati. Â Kepahlawanan Kumbakarna terletak pada kesetiaannya pada negara dan bangsanya. Â "Right or wrong is my country" begitu semboyannya.
Adipati Karna meski masih bersaudara dengan Pandhawa, tetapi terpaksa berperang melawan Pandhawa dalam peperangan memperebutkan kerajaan Astina. Â Adipati Karna sebenarnya adalah anak dari Dewi Kunthi. Â Dewi Kunthi itu istri dari Prabu Pandhudewanata yang memperanakkan Yudistira, Bima dan Arjuna. Â Sebelum menikah dengan Pandhudewanata, Kunthi sudah memiliki anak yang bernama Surya Putra yang nantinya disebut Adipati Karna, hasil hubungan dengan Bathara Surya, dewanya matahari.
Pada akhirnya Adipati Karna gugur di medan laga saat berperang melawan Arjuna yang adalah adiknya.  Kepahlawanan Adipati Karna ini terletak pada kesetiaannya pada perintah raja dan negaranya.  Hampir sama dengan semboyannya  Kumbakarna: "right or wrong is my country".
Pupuh atau bait sekar macapat Tri Pama ditutup dengan 1 bait yang menceritakan kepahlawanan ketiga kstaria: Patih Suwanda, Kumbakarna dan Adipati Karna yang patut diteladani. Â Dalam tanya jawab hanya dua orang siswa yang bertanya. Â Satu orang siswa mengaku sering melihat pentas wayang Ki Seno Nugroho almarhum di you tube. Â Lumayanlah ada satu-dua siswa yang masih nyangkut dengan cerita wayang dan tembang Jawa di tengah hembusan tafsir wayang haram bagi pemeluk agama tertentu.
Akhirnya harus diakui, menjadi narasumber PJJ bagi siswa itu mengasyikkan. Â Banyak hal yang bisa dipelajari oleh narasumber juga, yakni soal pemanfaatan teknologi dan komunikasi yang semakin hari semakin canggih. Â Jika materi yang disampaikan narasumber adalah materi yang menjadi hobi atau bahkan keahlian, maka akan menyenangkan dan mudah diterima oleh siswa dalam kelas PJJ-nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H