Pameran Seni Rupa "Art Reunion" Terobosan TV di Masa Pandemi
Oleh: Suyito Basuki
Sebuah pameran seni rupa yang bertajuk "Art Reunion" diadakan di Pendapa Kang Teja TVRI Yogyakarta, 8 Februari-7 Maret 2022. Â Pameran yang diikuti oleh 29 pelukis maupun pematung ini, dibuka oleh seorang kolektor seni, dr. Oei Hong Djin. Â Sementara itu Dr. Drs. Hajar Pamadhi, MA, Hons, selain sebagai salah satu pelukis peserta pameran, dia juga bertindak sebagai kurator yang memberikan catatan terhadap pameran tersebut.Â
Catatan Hajar Pamadhi Sebagai Kurator SeniÂ
Dalam tulisannya, Hajar Pamadhi memberikan catatan bahwa berkumpulnya para seniman di Pendapa Kang Teja TVRI, menurutnya memberi arti khusus, pertama, para seniman tetap berkarya walau masa pandemi, karena berkarya merupakan bagian dari hidup, kehidupan dan menjadi penghidupan. Kedua, semakin tua terjadi perubahan gerak melambat, namun kinestesis tangan para seniman justru semakin kuat dengan melepaskan gerakan Menggambar menuju Melukis. Melukis cenderung melepas kemampuan pengamatan realitas menuju pengamatan batiniah, dan menampilkan rasa dan pikiran melalui pengembaraan batin. Ketiga, Kesatuan ide dan gagasan mampu mengolah objek-objek formal. Keempat, estetika sebagai ruh berkarya memberi jawaban pentingnya membaca materi melalui ketajaman batin. Para seniman ini mampu melepaskan ekspresi yang didasari oleh batiniah sehingga mewujudkan karya imajinatif, bagaikan 'tapaking kuntul kang lagi nglayang'(bekas kaki burung camar yang sedang terbang). Sebuah perumpamaan yang menunjukkan abstraksinya seniman yang tervisualkan pada karya-karya, maksudnya karya seni itu merupakan imajinasi seorang seniman. Sehingga membaca karya-karya yang ditampilkan saat ini seperti membaca pikiran dan perasaan para seniman. Di sinilah karya-karya yang diangkat dalam pameran bukan sekedar menggambar namun melukis (adalah membayangkan), jadi karya-karya ini merupakan bayangan dari kondisi realistis. Seniman kemampuan dasar seorang seniman. Logika estetika mampu menerjemahkan objek formal menjadi simbol-simbol artistik.
Dalam catatannya lebih lanjut, Hajar Pamadhi mencoba menelisik karya masing-masing peserta pameran.  Karya-karya yang terpajang mulai dari tiga dimensi sampai dua dimensi; seni patung realis 'Trubador' karya Kondang Sugito dari medium brass dan patung figuratif imajinatif karya Yusman merujuk kepada kemampuan mengolah figur. Beberapa karya seni lukis menurutnya, tampak lebih memberi greget pada kemapuan ekspresi para pelukis; mereka hadir variatif dengan mengangkat tema-tema 'abstraksi' baik abstrak figurative maupun non-figurative. Menurut Hajar Pamadhi yang juga mengajar sebagai dosen di Universitas Negeri Yogyakarta tersebut menyebutkan bahwa pelukis dengan Teknik sungging wayang yang diaplikasikan ke dalam detailing karya Subandi Giyanto dan menguat pada forming. Menurutnya lebih lanjut ungkapan surealistik diangkat Suhardi dalam 'Petruk Ngigau' sebagai simbol-simbol figur wayang untuk personifikasi 'manusia saat ini'. Untuk rangkaian variasi impresionisme menurutnya, digarap oleh Godod Sutejo dengan penguatan pada Tint colours, sedangkan Watie Respati menurutnya, merujuk kepada imajinasi rasa teruntai dengan personifikasi lam 'Daun-daun pun bertasbih'. Menurut Hajar Pamadhi lebih lanjut, dia merasakan sekali imajinasi kosmologis dengan warna burn humber nya. Arfial Arsad Hakim 'Alam Irama Air, Pepohonan & Rumpun Bambu sebagai simbol ketenangan. Alam terkait dengan kosmologi ini memberi nuansa moral kedamaian. Hal senada menurutnya juga diungkapkan oleh I Gusti Nengah Nurata terinspirasi suasana 'Surealisme Magis' dalam 'Warna-warni Berkah Tuhan'. Personifikasi bunga dan tangkai sebenarnya perwujudan  simbol huruf Bali. Gaya ini menurutnya dilandasi oleh potensi nonrepresentasional sehingga ujud sebagai prosa keindahan worship and devotion. Senada impresionistik menurutnya adalah Ahmad Supono PR dengan penguatan karakter yang nonrepresentasional 'Wajah', kekuatan imajinasi pada wajah sebagai gambaran sosok yang diobjektifikasi. Menyerempet nuansa impresionisme, Tondo Suryaning Buwono menggarap rasa 'Rindu' sebagai objek formalnya; Garapan imajinasi impresif figuratif ini sebagai symbol kebutuhan kedekatan rasa. Kawit Kristanto dinilainya menggarap impresi rasa dalam figur-figur keluarga untuk menyatakan kasih sayang dengan blindspot anak dalam naungan keluarga; sama-sama menginginkan suatu kesatuan keluarga sebagai energi hidupnya seorang pelukis. Ayah sebagai simbol energi keluarga dengan katya 'Berangkat pagi' oleh Rismanto; simbol tanggungjawab ada pada kekuatan loko kereta api. Semar sebagai simbol energi keluarga Pandawa untuk kebutuhan komersial itulah 'Semar Palsu' karya Gunawan. Hanoman diangkat oleh Sumiyati Herma menurutnya lebih lanjut, sebagai simbolisasi kekuatan sosial; kejayaan negara ada pada wong cilik dengan simbol kera.
Penilaian Hajar Pamadhi lebih lanjut menyebutkan karya-karya representasional yang menguatkan pada pesan moral yang disampaikan Subroto SM Love of Tank Parade. Kekuatan fisik adalah beban berat dalam kehidupan, di situlah cintanya kepada tank-tank sebagai kendaraan perang melawan kebatilan. Karya representasional dengan kekuatan pengamatan Nanang Wijaya menurutnya memberi nuansa segar atas sapuan realismenya dalam 'Tugu Yogya'. Gerak realisme seni lukis menurutnya juga diangkat Ocong Suroso dalam 'Potret Tokoh' Sedangkan Ansori lebih menitikberatkan pada pesan moral politik dalam 'Penyeimbang' manampakkan kekuatan impresnya dengan gaya mozaik. Karya Taman mengambil objek material relief kapal di masa kejayaan Budha 'Kapal Garuda Raksa' menurutnya untuk memberi suasana 'moral'. Kapal sebagai alat transport vital pada masanya mampu memberi gambaran kehidupan luas. Lebih lanjut menurutnya, Sukadi (Ledek) mengangkat kehidupan wanita: 'Sosok dua wanita ini memberi pesan moral tentang indahnya alami. Ide ini mengingatkan kata Plato, panca indera manusia adalah alat utama untuk melihat keindahan alam. Liek Suyanto dinilainya mengangkat imajinasinya 'Mengejar Mimpi' dalam realismenya. Gaya ini menurutnya diikuti Totok Buchori dalam 'Beringin Alu-alun' sebagai simbol kekuatan Keraton Ngayogyakarta, jumlah ringin yang melingkari lapangan dan sebagai beteng pertahanannya. Ida Ratnaningrum dalam 'Imagine' menurutnya ingin menelusuri keindahan tubuh seorang wanita; secara semiotika dapat diartika bunga cantik. Sedangkan, Untung Basuki menurutnya menampilkan objek 'Bergada' sebagai simbol kekuatan seni tradisi sebagai dasar kehidupan orang Jawa.
Hajar Pamadhi selanjutnya mencatat bahwa karya-karya 'ornamen ideologi'dijadikan gaya oleh Chune Ebeg Mayong: Nogo Sui yang menggambarkan masa yang bergerak seperti kilat seperti nogo yang keluar mencarin musuhnya. Hajar Pamadhi sendiri melukis dengan lebih memilih tata warna, yang merupakan simbol organis kehidupan oleh karenanya dihadirkan harapan 'Rajah Kabegjan dua-dua'.
Fungsi Sosial Seni Perlu Publikasi
Salah seorang peserta pameran, Subroto SM menyebutkan bahwa seniman dan karya seninya membutuhkan media untuk menyampaikan atau mempublikasikan ide-idenya kepada masyarakat. Sebab, selain untuk ekpresi personal, seni juga memiliki fungsi sosial. Tanpa publikasi, seni tidak dikenal dan tidak bermakna atau bernilai. Bentuk dan media publikasi seni menurutnya ada beberapa yakni melalui pameran langsung, media cetak, media elektronik, diskusi/seminar, dan lain-lain. Televisi menurut alumni dan mantan pengajar di FSR ISI Yogyakarta ini adalah merupakan media komunikasi massa yang handal untuk mengomunikasikan dan menyebarkan informasi serta nilai-nilai.
Bagi Subroto yang lahir di Klaten, 23 Maret 1946, pameran merupakan salah satu media publikasi seni rupa yang utama. Karena dalam pameran menurutnya, penonton bisa menikmati karya dan bertemu orang lain dan bisa mengapresiasi secara langsung. Â Setelah dalam acara Pendapa Kang Teja dimana seniman dan karyanya disiarkan oleh TVRI Yogyakarta, kemudian dilanjutkan dengan Pameran aktual Art Reunion #1 dan Wawancara dengan peserta pameran, maka penyebaran informasi/nilai-nilai seni rupa menurutnya menjadi semakin lengkap.
Menurut pendapat Subroto yang saat ini tinggal di Jl Suryodiningratan 68 Yogyakarta, pameran ini menjadi unik, karena biasanya ada pameran yang aktual, disusul publikasi via televisi. Tetapi ini terbalik. Awalnya seniman dan karyanya dipublikasikan via televisi, sebagai tamu di acara Pendapa Kang Teja, kemudian muaranya diadakan pameran aktual. Oleh karenanya menurut Subroto, pameran dalam suasana pandemi kali ini merupakan terobosan luar biasa  dari TVRI Yogyakarta dalam merawat dan menyebarkan nilai-nilai seni/ kultural.  Subroto berpendapat jika dikemas lebih apik dan dikembangkan lagi, acara Pendapa Kang Teja dan tradisi Pameran Seni Rupa Art Reunion ini niscaya menjadi acara andalan/unggulan TVRI Yogyakarta.
Terima kasih TVRI Yogyakarta Sudah memfasilitasi
Beberapa penonton pameran juga melihat Pameran Seni Rupa Art Reunion ini sebagai pameran seni rupa yang positif. Yadi, seorang instruktur Yoga, yang beralamatkan  di Bangunjiwo Bantul, pada tanggal 9 Februari telah melihat pameran TV RI Yogya.  Ia merasa senang dan gembira dengan adanya pameran ini. Dia berharap semoga pameran seperti ini berkesinambungan sehingga dapat merangsang para pelukis yunior menjadi bersemangat dalam berkarya.
Hampir senada dengan Yadi; Puput yang beralamatkan di Bangunjiwo Bantul, setelah  tanggal  9 Februari melihat pameran tersebut, memiliki kesan sangat tertarik sekali, karena menurutnya di situasi pandemi seperti saat ini masih ada pameran seni lukis dan patung.  Puput, seorang ibu rumah tangga ini  mendapat informasi dari teman suaminya yakni Godod Sutejo seorang pelukis dan Kondang Sugito.  Puput juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada TVRI Yogyakarta yang telah memfasilitasi pameran tersebut.  "Semoga dapat berlanjut lagi sehingga dapat menghidupkan karya-karya seniman Yogya terutama." Demikian ujarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H