Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tunggul Wulung, Tokoh Legendaris Sekitar Gunung Muria

3 Februari 2022   13:17 Diperbarui: 3 Februari 2022   13:41 3068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: panjimasyarakat.com

Dia berganti nama Tunggul Wulung.  "Tunggul " merupakan nama bendera yang sering dikeramatkan, "wulung" adalah warna hitam keungu-unguan atau jenis burung buas biru hitam sekerabat dengan elang.  Nama ini merupakan mitos penunggu kawah api Gunung Kelud.  Nama ini juga menunjuk nama pahlawan kerajaan Kediri masa pemerintahan Prabu Joyoboyo lebih kurang 1150 M.

Pertemuan Tunggul Wulung dengan Endang Sampurnawati terjadi di tempat pertapaan di Gunung Kelud.  Endang Sampurnawati adalah puteri dari Bupati Kediri yang senang melakukan pertapaan.  

Terjadi perdebatan di antara mereka.  Teka-teki yang diajukan oleh Endang Sampurnawati: "Ana kemiri tiba saiki, kena dijupuk dhek wingi."  Teka-teki dari Tunggul Wulung: "Ratu Adil mertamu, tamu mbagekake kang didhayohi, sebiting tanpa sangu."  Kedua teka-teki ini sama jawabnya yakni: Yesus Kristus.  Akhirnya mereka sepakat untuk berdiri sama tinggi, duduk sama rendah sebagai suami istri.

Di dalam pertapaan itu, Tunggul Wulung menemukan secarik kertas dengan ayat-ayat kitab suci yang berisi 10 perintah Allah. Pengakuan Tunggul Wulung di hadapan Pieter Jansz bahwa pertobatan Tunggul Wulung karena kesaksian seorang Kristen Jawa dari pertapaan Gunung Celering di sebelah utara Gunung Muria, yang saat itu pindah ke Surabaya.  

Tunggul Wulung yang saat itu bernama Ngabdulah kemudian mendalami kekristenan di Ngoro, bertemu dengan C.L. Coolen, seorang Indo-Eropah yang mengembangkan kekristenan model Jawa dengan mengumpulkan orang sekeyakinan di tanahnya.  Kemudian Tunggul Wulung belajar kekristenan pada misionaris J.E. Jellesma, utusan NZG di Mojowarno. 

Saat Jellesma mengajar, Tunggul Wulung datang dengan aji panglimunan, sehingga tidak diketahui oleh orang banyak.  Namun saat jemaat pulang, Jellesma mendekatinya dan menegurnya.  Tunggul Wulung merasa ngelmunya telah dikalahkan.  Adapun Tunggul Wulung datang ke rumah Jellesma karena sinar ajaib yang ternyata bersumber dari rumah Jellesma.  Ternyata sinar ajaib itu berasal dari kitab yang tengah dibaca oleh Jellesma.

Ciri-ciri fisik Tunggul Wulung, menurut kesaksian S.E. Harthoorn, seorang misionaris yang lain yang bekerja di Jawa Timur: "Luar biasa untuk generasinya, terutama rupanya.  Orangnya tinggi perawakannya dan ramping tubuhnya, dengan rupa yang memukau, pemandangan tajam serta hidung yang tajam.  Tentunya orangnya kuat dan pemberani."

Selesai belajar selama dua bulan, terutama tentang Hukum Sepuluh Perintah Allah, Pengakuan Iman Rasuli, dan Doa Bapa Kami, Tunggul Wulung mengabarkan Injil.  Mula-mula ke desa Belum dekat Ngoro, distrik Kertosono Karesidenan Kediri.  Kemudian ke Pelar, desa terpencil di Malang, kemudian ke Dimoro (Kepanjen), Jenggeri (Malang) dan di Junggo (Pandakan). 

Malahan ada yang berpendapat Tunggul Wulung melakukan perjalanan keliling ke Kediri, Banyumas, Kudus, Rembang dan sekitarnya. Bahkan ada sumber yang mengatakan sampai juga ke Salatiga, Semarang, Jepara, dan Kayu Apu (Kudus). Tahun 1854 Tunggul Wulung diminta oleh Sem Sampir, pembantu misionaris di Jepara yang berasal dari Jawa Timur untuk membantunya mengabarkan Injil di Jepara dan sekitarnya.

Pieter Jansz missionaris Belanda dari DZV, saat bertemu dengan Tunggul Wulung, memberi tawaran untuk menjadi pembantunya, tetapi diharuskan belajar lagi untuk beberapa bulan  hingga setahun.  Pieter Jansz menilai, pemahaman kekristenan Tunggul Wulung masih dangkal.  Tunggul Wulung menolak tawaran bergabung dan belajar pada Pieter Jansz. Alasannya, Pieter Jansz lebih muda sekitar 10 tahun, sementara Tunggul Wulung adalah bangsawan dengan segudang pengalaman, termasuk pengalaman menjadi pejuang Pangeran Diponegoro.  

Lagi pula, visi pelayanan Tunggul Wulung adalah pedesaan, bukan perkotaan seperti visi Pieter Jansz.  Babad alas, seperti tradisi orang Jawa, dan itu dilihatnya di Jawa Timur, adalah tradisi orang Jawa membuka lahan baru, penghidupan baru.  Orang desa menurut Tunggul Wulung masih polos, beda dengan orang kota.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun