Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pasar Kobong Terbakar

29 Januari 2022   09:43 Diperbarui: 29 Januari 2022   17:07 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar Kobong Terbakar 

Oleh: Suyito Basuki

Setelah aku diwisuda dari Sekolah Pedhalangan Habirandha Kraton Yogyakarta, mungkin permintaan memainkan wayang oleh masyarakat umum di kotaku, baru kali ini.  

Mereka yang memintaku untuk mendalang semalam suntuk menamakan diri sebagai PPAPK. Kepanjangannya adalah: Paguyuban Pedagang Ayam Pasar Kobong.  Sesepuhnya masih terhitung pakdhe saya sendiri.

Saya ingat betul pesan Gusti Bendara Pangeran Haryo yang sering kami sebut Gusti Prabu, adinda kanjeng Sultan Hamengku Buwono X, sebagai pengageng yayasan sekolah pedhalangan tersebut, dalam sambutannya saat wisuda tahun lalu, beliau katakan bahwa dhalang adalah abdi masyarakat.  Sehingga dengan demikian, menurutnya, harus bisa memenuhi permintaan masyarakat.  

Pertimbangan seorang dhalang naik panggung bukan uang semata, tetapi lebih pada pengabdian dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.  Yang kucatat betul perkataan beliau adalah supaya dhalang dalam berkiprah jangan sampai meninggalkan pakem, namun juga harus berkreasi dengan maksimal supaya dibutuhkan oleh masyarakat.

Oleh karena itulah, ketika Pakdhe Setra memintaku untuk mendhalang dengan embel-embel hanya kerja bakti, saya mau saja.  Sekilas saja pakdhe menjelaskan bahwa hari-hari terakhir ini ada orang-orang kekar sering datang ke pasar.  

Dengan perkataan kasar, mereka sering membuat takut para pedagang ayam.  Apakah ini intimidasi dari pihak tertentu yang menginginkan pasar dipindah?  Pakdhe bertanya, tapi saya tidak bisa menjawabnya.

Hanya sebelumnya tentang pertunjukan wayang, saya katakan kepada Pakdhe Setra yang sejak mudanya sudah menjadi pedagang ayam mulai dari pasar tengah kota itu, bahwa model pakeliran saya nantinya bergaya mataraman.  Saya rela tidak dibayar, tetapi untuk rekan-rekan pengrawit dan sinden yang saya datangkan semua dari Berbah, Sleman, saya minta supaya honor mereka diperhitungkan.

Hitung-hitung saya coba menggelar pentas di kota sendiri dan menjajal segala kemampuan yang kutimba selama ini.  Menurut para rama dwija, yang mengasuh kami para siswa waktu itu, pakeliranku sudah lumayan, hanya masalah sabetan perlu dilatih terus supaya lebih cekatan.  "Kalau cekatan, pakeliranmu bakal lebih menjual..." demikian kata mereka.

Saat pendadaran atau ujian bagi para siswa yang akan wisuda, aku diminta mendhalang di bangsal Sri Manganti, sebuah bangsal yang dahulu digunakan untuk tempat transit para nayaka praja yang akan menghadap Sri Sultan.  

Sekarang ini, bangsal tersebut digunakan untuk acara-acara yang bersifat kesenian tradisional.  Seperangkat gamelan kraton digelar di situ, jika hari Jumat macapatan, hari Sabtu pertunjukan wayang dari jam 8 pagi sampai 12 siang.

Istri dan empat orang anakku menonton pertunjukan wayang bapaknya, saat pendadaran itu.  Sebenarnya aku bahagia sekali, dapat mendhalang dengan diiringi pengrawit yang sepenuhnya adalah abdi dalem kraton.  Ki Bekel Cermo Sutejo yang hampir setiap seminggu sekali kukunjungi rumahnya untuk belajar sabetan wayang, memegang rebab.  Sedang gender, sebagai penuntun suara untuk suluk dan timbre atau nada tokoh-tokoh wayang dipegang oleh Mas Lurah Surya Kadulu.  Sindennya hanya seorang Ni Mas Wedana Dra. Sekar Nawangsari.

Usai petunjukan, ada seorang turis asing datang dan menyalamiku saat melepas surjan dan jarik.  "Very good, very good," demikian sapa turis yang mengaku bernama Nick Amstrong ini.  

"Bagaimana Anda bisa mengatakan sangat bagus mister?" demikian tanyaku sambil menggulung stagen, semacam selendang pengikat perut.  Nick yang kemudian mengaku dari Texas, Amerika ini hanya tersenyum kemudian memfotoku.  Setelah itu ia memberi alamat emailnya.  Dia pesan supaya saya mau tulis email kepadanya.  Saya mengangguk-angguk saja. 

Walau dari segi keuangan, rencana pentas di pasar Kobong tidak ada masalah, tetapi dari tematik pertunjukan ini yang membuatku beberapa hari sebelum manggung agak menyusahkan.  

Rupanya, pentas wayang yang diharapkan mengambil lakon "Hanoman Dhuta" ini adalah sebagai upaya menunjukkan semangat para pedagang ayam yang bersatu tidak mau direlokasi ke tempat mana pun.  Karena alasannya, mereka sudah memiliki pelanggan dari berbagai tempat, dan pasar mereka sekarang inilah merupakan tempat yang strategis.  

Dasar pemikiran lainnya adalah bahwa hasil penelitian amdal selama ini yang menyebutkan bahwa limbah dari air yang digunakan untuk mencuci ayam potong, sudah mencemari sumur warga sekitar adalah tidak benar.  Alasan itu adalah sangat dicari-cari karena selama ini tidak ada keluhan warga masyarakat sekitar tentang hal itu.

Memainkan wayang (Dok.Pri)
Memainkan wayang (Dok.Pri)

Gamelan pelog slendro sudah tertata rapi.  Layar sepanjang 4 meter telah terpancang pada tiang gayor.  Rumbai-rumbai berwarna merah dengan lis berwarna kuning keemasan menjadi semacam pasepartu bagi kelir yang berwarna putih bersih.  Anak-anak wayang sudah disimping, ditata menurut bala kiwa dan bala tengen.  

Teman-teman pengrawit dan sindhen Murwati Jooyy, Nunik, Endah, Sri dan Esti dari Sleman sudah datang sejak jam 6 sore tadi.  Sesudah istirahat sebentar dengan makan dan minum, kemudian mereka menata diri.  Jam 20.00 tepat kami naik panggung.  

Aku duduk di antara pengrawit yang memainkan gendhing-gendhing soran, yakni gendhing tanpa vokal, hanya instrumen saja.  Mengapa dikatakan soran?  Ini dari kata sora yang berarti keras.  

Gamelan memang dipukul keras-keras, terutama balungannya seperti demung, saron dan peking.   Mungkin dengan maksud untuk memberi tahu penonton bahwa pertunjukan wayang akan segera dimulai.  Dulu orang kalau menamakan sesion itu adalah talu.

Gendhing Cucurbawuk segera berkumandang, suara sindhen mendayu-dayu.  Kemudian gendhing medley ke srepeg palaran, dan akhirnya sampak manyura kemudian berhenti.  

Dhodhogan kotak memberi pertanda mengalunnya ayak-ayak yang memberi kesempatan wayang Rama, Leksmana, Sugriwa, Gunawan Wibisana, Hanoman serta Jaya Anggada dimasukkan dalam adegan jejer. Dari ayak-ayak kemudian beralih ke Gendhing Karawitan, saat itulah dhalang nyandra atau mendeskripsikan kraton dan anak-anak wayang yang ada.

"Sri tinon ing pasewakan, busana kang maneka warna, Ooo, sebak puspiteng hudyana...." sambil melagukan suluk kucoba lirik kiri kanan.  Penonton melimpah.  Panggung yang sengaja dibuat di jalan masuk pasar, pada depan panggung yang ditata beberapa kursi, dipadati pengunjung.  Pakdhe Setra dan teman-temannya menonton di sebelah kanan panggung.    

Di sebelah kiri panggung, terlihat beberapa orang kekar dengan pakaian hitam dan ikat kepala.  Suara-suara orang di belakang panggung menunjukkan kemungkinan banyak penonton juga di situ.  Sudah ada celoteh orang-orang yang menandakan beberapa orang sudah mulai mabuk.

Adegan limbukan, suasana santai setelah ketegangan dipompakan pada adegan sebelumnya.  Lagu-lagu campursari dan gendhing-gendhing klasik atau kreasi baru mengalir lancar.  

Kemudian adegan perang gagal, perang Jaya Anggada dan Hanoman dalam rangka memperebutkan kepercayaan menjadi duta bertemu dengan Dewi Sinta, penonton riuh.  

Tepuk tangan dan suit-suit penonton menyeruak dari arah sana sini.  Barangkali saja sabetan-sabetan perang yang aku mainkan berkenan di hati penonton.   

Adegan Punakawan, Semar, Gareng, Petruk Bagong muncul, situasi kembali cair.  Saat itulah melalui mulut Petruk aku sampaikan bagaimana tekad pedagang ayam di pasar ini yang akan ikut membina lingkungan supaya menjadi lebih bersih dan aman.  

Saya sampaikan juga tekad para pedagang untuk tetap berdagang di sini.  Kepada para anggota legislatif daerah -- entah datang entah tidak, katanya ada yang diundang hadir -- Petruk meminta supaya aspirasi para pedagang disampaikan ke pemerintah daerah.

Sampailah pada adegan Hanoman tertangkap oleh Indrajit putra mahkota Kerajaan Alengkadiraja, kemudian dihadapkan pada ayahandanya,  Prabu Rahwana.  

Hukuman bagi Hanoman ditetapkan yakni Hanoman akan dibakar di tengah alun-alun Kerajaan Alengkadiraja.  Kemudian disulutkanlah api ke kayu-kayu yang telah ditumpuk-tumpuk dan menumpuki Hanoman si kera putih itu.  

Api kemudian menjilati tubuh Hanoman dan kera putih itu pun terbakar.  Tetapi herannya, badan yang terbakar itu tidak memusnahkan dirinya, malah semakin membuat digdaya tubuhnya.  

Rantai yang mengikat Hanoman menjadi putus karena daya kuasa api.  Dengan demikian malah kemudian Hanoman dengan leluasa melompat ke sana ke mari.  Segala bangunan istana yang kemudian bersentuhan dengan tubuh Hanoman menjadi terbakar.  Hampir seluruh istana Alengka menjadi terbakar, semua penduduk termasuk Prabu Rahwana atau Dasamuka kebingungan mengatasi kebakaran istana yang tiba-tiba itu.

Saat adegan sampai di situ, tiba-tiba teriakan penonton riuh,"Kebakaran, kebakaran, pasar terbakar..."  Aku menoleh ke samping kiri, ke samping kanan, dan ke belakang.  Aku lihat para pengrawit kebingungan.  Api terlihat menyala di kios bagian pojok utara.  

Angin yang mengalir deras dini hari itu, membuat api kemudian merambat ke kios-kios yang lain.  Ayam-ayam yang masih pulas dalam kandang, kemudian terbangun dengan suara hiruk pikuk.  Orang tidak lagi mengarahkan pandangan pada pertunjukan wayang, mereka semua melihat kobaran api yang semakin membesar dan itu menuju ke arah kami.  

Segera saja tabuhan gamelan srepeg manyura berhenti.  Serta merta aku bangkit berdiri.  Dengan dibantu oleh seorang pengrawit, anak-anak wayang segera aku cabut dari gedebog pisang yang menjadi tempat tancapannya.  Anak-anak wayang kumasukkan ke dalam kotaknya, kemudian aku ambil wiron jarik aku selipkan di stagen.  

Segera aku meloncat membantu para pengrawit menyingkirkan gamelan kearah tempat yang kira-kira aman dari amukan api yang akan segera datang.  Para rekan sindhen  dengan tertatih-tatih mencoba turun panggung.  Layar segera di gulung, tiang gayor segera diturunkan.  Upps, asap panas sudah menyeruak di antara kami.

Di tengah perjuangan menyelamatkan alat-alat budaya ini, aku melihat kiri kanan.  Pakdhe Setra dan kawan-kawannya mencoba mencari air dari sumur sekitar untuk ditimba airnya dan digunakan mengguyur api yang semakin besar berkobar.  Ada juga di antara mereka yang telpon blangwir, mobil pemadam kebakaran, tapi kenapa lama tidak datang-datang juga?

Setelah semua gamelan diselamatkan berikut kotak wayang.  Aku duduk di tanah bersama dengan pengrawit, para sindhen dan orang-orang awak gamelan cukup jauh dari panggung wayang, sambil menunggu berakhirnya kejadian.  

Pertanyaanku saat itu, kebakaran pasar ini murni terbakar karena sesuatu hal atau justru ada yang membakar, supaya rencana relokasi pasar segera terealisasikan?  Yang jelas Pasar Kobong terbakar, bukan karena ulah Hanoman!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun