Sepeda, Tustel dan Mesin Ketik
Oleh: Suyito Basuki
Tiga benda yang ingin kumiliki saat belia kau tahu hanya tiga, yaitu sepeda, tustel dan mesin ketik.
Sepeda
Kau tahu bahwa sepeda itu bisa membawa kemana pun kita mau pergi. Â Itu tergantung dengan kekuatan kaki kita dalam mengayuh pedalnya. Â Sepeda harganya juga lebih murah dibanding harga motor, lebih-lebih mobil. Â Sepeda akan membawa kita ke pinggir pantai, ke kaki gunung dan ke kota yang penuh hiruk pikuk ramai. Â Di tempat-tempat itu kita bisa belajar dari persoalan orang-orang selain itu kita pun bisa melihat dan menikmati berbagai pemandangan yang bisa kita kenang.
Selain itu, melihat sepeda aku selalu teringat masa kecilku ketika digoncengkan kakek belanja kulakan kebutuhan warung di pasar Bulu Semarang yang sekarang sudah menjadi pasar digital.  Saat itu aku di goncengan sama mbakyu, aku di bagian  depan dan mbakyu yang di belakang.  Supaya kakiku tidak masuk ke jeruji sepeda, kedua kakiku diikatkan di dalangan sepeda oleh kakek dengan sebuah selendang nenek.  Jarak rumah kami dengan Pasar Bulu sekitar 8 kilometer.  Dari kampungku, Karang Kumpul setelah melewati Petompon, kemudian melewati pula Lemah Gempal baru kemudian masuk ke daerah Bulu Stalan dan akhirnya sampailah di Pasar Bulu itu.  Aku selalu berusaha menikmati berbagai pemandangan di jalan, terlebih kalau sampai di Lemah Gempal, aku akan memandangi air sungai yang mengalir di atas bangunan semen yang dibuat melandai.  Sering anak-anak remaja bermain luncuran di situ hanya dengan kaki telanjang.  Orang-orang menyebutnya daerah itu sebagai plered.
Yang paling membekas sampai sekarang adalah saat di Pasar Bulu, kakek seperti biasanya meninggalkan kami di tempat parkiran. Kakek sendiri akan pergi belanja masuk ke berbagai tempat yang menjual barang-barang sembako. Â Pada saat itu, di jalan raya, ada rombongan reog dengan suara tabuhan gamelannya. Â Rombongan itu menuju ke arah Tugu Muda, bukan ke arah parkiran sepeda. Â Meski begitu aku merasa ketakutan sehingga menangislah aku kuat-kuat. Â Mbakyu dan tukang parkir yang berusaha membuat aku diam tidak berhasil. Â Saat kakek datang, barulah aku diam, meski masih sesenggukan.
Kakek memang jagoanku. Â Wataknya keras, tetapi sangat sayang sama aku. Â Mungkin karena sejak usia satu tahun, setelah bapak meninggal, saya diasuh oleh ibu di rumah kakek. Â Saat ibu menikah lagi, maka aku sama mbakyu diasuh oleh kakek dan nenek. Â Ibuku pergi meninggalkan kami mengikuti suaminya yang baru.
Kakek tidak mau seorang pun menggangguku. Â Saat aku kelas 3 SD, di lapangan kami para murid berkumpul. Â Pada saat itu entah siapa yang kentut, sehingga suasana jadi heboh. Â Semua saling menuduh satu sama lain. Â Saat itu temanku, Wardoyo, anak Petompon, rumahnya dekat dengan penyanyi Titik Sandora -- Muchsin Alatas, menuduhku bahwa akulah yang kentut. Â Perawakan Wardoyo ini dulu kulihat tinggi, tidak terlalu besar. Â Tapi Wardoyo ini kami kenal sebagai murid yang jago berkelahi. Â Wardoyo agak menyudutkanku dengan tuduhannya itu. Â Maka aku yang memiliki tubuh paling kecil di antara rekan-rekanku, Supar, Witono, Mujiono, tiba-tiba saja ketakutan dan menangis. Â Aku segera pulang ke rumah. Â Sampai di rumah kakek bertanya sebab musabab aku menangis. Â Setelah kakek tahu, maka serta merta dia membawa bendo, semacam sabit yang digunakan untuk membelah kayu, ke sekolah mencari Wardoyo dengan ancaman mau membelah tubuh orang yang sudah membuat ketakutan cucunya. Â Gegerlah anak dan guru semua.
Tustel