Kami para petugas P4, baik yang aktif maupun yang sudah non aktif karena masa SK sudah habis, saat itu membentuk Paguyuban P4 dan saya ditunjuk menjadi koordinatornya, mengadakan audiensi dengan Ketua DPRD dan Ketua-Ketua Komisi (Saat itu, Bupati Dian Kristiandi S.Sos, masih menjadi salah satu Ketua Komisi dari Fraksi PDIP) pada hari Rabu, tanggal 10 Juni 2013 kemudian dilanjutkan audiensi dengan Bupati Jepara, saat itu H. Akhmad Marzuki, SE pada hari Jumat, tanggal 13 Juni 2013 dengan satu isu yang sama. Â Baik dalam audiensi dengan Ketua DPRD maupun Bupati, kami mempertanyakan logika bahwa tiga orang pejabat/ pegawai Disdukcapil Kabupaten Jepara apakah memungkinkan melayani pernikahan umat Kristen, Katolik, Hindhu, dan Budha di Kabupaten Jepara ini? Â Kami menyatakan bahwa rasanya akan mengalami kesulitan karena selain pejabat/ pegawai tersebut memiliki tupoksi tersendiri yang harus dikerjakan secara maksimal dan beberapa alasan lain sebagai berikut:
- Jumlah umat Kristen, Katolik, Hindhu dan Budha yang cukup banyak. Â Di kabupaten Jepara terdapat sekitar 100 gereja dengan jumlah umat Kristen berkisar 18.000 orang; 31 vihara dengan jumlah umat Budha 7.000 orang; 3 pura dengan jumlah umat Hindhu 500 orang
- Secara geografis, umat Kristen, Katolik, Hindhu dan Budha menyebar di berbagai lokasi yang di beberapa tempat, jauh dari jangkauan kantor Disdukcapil; baik warga yang akan datang langsung maupun petugas yang akan mendatangi, akan mengalami kesulitan. Â Suatu contoh, ada komunitas umat Budha yang bertempat tinggal di Guwo Blingoh Kecamatan Donorojo, sekitar 40 km dari pusat kota Jepara. Â Ada juga komunitas umat Kristen di daerah Tempur Damarwulan Kecamatan Keling, sekitar 50 km dari pusat kota Jepara dengan kondisi jalan yang cukup sulit.Â
- Frekuensi pernikahan umat cukup tinggi. Â Setiap tahunnya, umat Kristen/ Katolik warga yang menikah sekitar 130 pasang; umat Hindhu dan Budha 20 pasang.
- SDM umat yang rendah dan berpikiran sederhana. Â Hal ini menyulitkan apabila mereka mengurus sendiri syarat-syarat administrasi pernikahan yang cukup rumit. Â Jika umat ini berlokasi jauh dari kantor Disdukcapil, akan sangat kasihan kalau harus bolak-balik hanya untuk memenuhi syarat administrasi. Â
Kami juga mengungkap keberadaan P4 pada saat itu, yakni sebagai berikut:
- Membantu pemerintah dalam hal ini kantor Disdukcapil dalam hal melayani masyarakat, khususnya umat Kristen, Katolik, Hindhu, dan Budha dalam pernikahan. Â Petugas P4 membantu pengurusan syarat administrasi bagi umat dan segera melaporkan peristiwa pernikahan kepada pihak kantor Disdukcapil supaya dicatat pada Register Akta Perkawinan dan diterbitkan Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana mestinya. Â Prinsip pelayanan yang efektif dan efisien diterapkan oleh petugas P4 dalam pelayanannya. Â Sampai sejauh ini tidak ada keluhan dari umat, melainkan mereka merasa ditolong.
- Â Petugas P4 yang adalah para pemuka agama dalam komunitasnya masing-masing, dalam pelaksanaan tugasnya, mempunyai peran juga dalam hal pembinaan umat, khususnya dalam hal persiapan maupun dalam hal pelaksanaan pernikahan sesuai dengan ajaran agama komunitas tersebut.
- Petugas  P4 dalam pelaksanaan tugas; prioritas pada pelayanan umat, bukan pada pencarian materi.  Adapun subsidi perjalanan pelayanan yang tidak seberapa dari kantor Disdukcapil setiap tahunnya diterima dengan ikhlas tanpa keluhan.
Regulasi sebagai Payung Hukum
Saat itu juga kami sampaikan bahwa kajian kami terhadap surat edaran Kemendagri yang ditujukan kepada Gubernur dan bupati seluruh Indonesia, No. 472.2/6614/MD tertanggal Jakarta, 15 Oktober 2012 yang menyatakan P4 tidak sejalan dengan UU no. 23 th 2006  menurut kami membingungkan.  Sesuai dengan Kepmendagri No. 97 Th. 1978 Petugas P4 hanya mendaftarkan/ melaporkan peristiwa pernikahan serta menyimpan akta perkawinan; pengesahan pernikahan secara pemerintahan oleh petugas dari kantor Disdukcapil.  Mengapa dikatakan P4 sebagaimana diatur dalam Kep Mendagri  no. 97 th 1978 tidak sejalan dengan UU no. 23 th 2006. Pernyataan "tidak sejalan" tidak memberi kejelasan/ ketegasan  apakah keberadaan P4 dilarang atau bisa diteruskan.
Sehingga kemudian kami mengajukan permohonan supaya keberadaan P4 tetap dipertahankan dengan mengacu kebutuhan umat dan juga perundangan otonomi daerah. Â P4 yang saat ini sudah habis SK Gubernurnya, kami mohon dapat diaktifkan kembali dengan kebijakan Bupati/ Kantor Disdukcapil berdasarkan perundangan otonomi daerah.
- UU 32 th. 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Bab III Ps. 10 ayat 2:
- Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagai dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas oronomi dan tugas pembantuan.
- PP 38 th. 2008 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah daerah propinsi dan Pemda Kabupaten; Ps. I ayat 4-5: otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (ay. 4).
- Urusan pemerintahan  adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
- Perda No. 3 th 2008 Ps. I ayat 6: Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sejenisnya.
Kami saat itu juga mohon supaya Revisi dan Pembaruan Perda Kabupaten Jepara tahun 2014 mendatang tentang  otonomi daerah, mohon dimasukkan eksistensi P4 dalam membantu pencatatan perkawinan umat, sebagaimana yang sudah berjalan pada tahun-tahun sebelumnya, sebagaimana yang diatur dalam Kepmendagri No. 97 Tahun 1978.
Penetapan PAP3
Alhasil, dengan didukung oleh Kepala Dinas Kantor Disdukcapil saat itu, Ibu Sri Alim Yuliatun, SH. M.Si, maka baik Ketua DPRD saat itu Bapak H. Yuli Nugroho (alm) merekomendasi keberadaan P4 supaya dipertahankan dan Bupati Akhmad Marzuki, SE. kemudian mengeluarkan SK bagi kelangsungan tugas P4 hanya kemudian istilahnya diganti menjadi PAP3 sebagaimana yang saya sebut di atas.
Kami mendengar beberapa keluhan rekan yang tidak memiliki semacam P4 atau PAP3 di kabupaten atau daerah lain, semua dihandle oleh pegawai atau pejabat dari Disdukcapil setempat. Â Keluhan mereka rata-rata seperti ini: mereka repot harus datang ke kantor Disdukcapil untuk pengurusan pencatatan. Â Bayangkan, pengantin hari itu dilakukan pemberkatan dan perhelatan di rumah, masih harus pergi berduyun-duyun bersama para saksi dan keluarga ke kantor Disdukcapil yang belum tentu dekat dari rumah pengantin. Â Kalaupun toh pegawai dari Disdukcapil datang, selain memikirkan uang transport juga kadang datang terlambat sehingga keluarga pengantin harus menunggu kedatangan pegawai tersebut. Â Atau ada keluhan, petugas lupa datang, sehingga perlu ditelpon berulang-ulang.Â
Maklumlah, kalau di Jawa Tengah khususnya, orang punya hajatan pernikahan biasanya memilih hari yang disebut hari baik dan bulan baik, misalnya bulan Jawa Besar, hari Selasa Legi. Â Sehingga pada bulan dan hari itu akan banyak orang punya kerja. Kalau hanya pegawai Disdukcapil dalam jumlah terbatas kemudian mereka harus mendatangi banyak lokasi pernikahan dalam sehari, betapa pontang-panting dan ribetnya. Â Petugas Pemuka Agama sebagai Penghubung Pencatatan Perkawinan (PAP3) yang tersebar di berbagai kecamatan di Kabupaten Jepara dalam hal ini sangat membantu memperlancar tugas-tugas pencatatan perkawinan itu menjadi lebih efisien dan efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H