Sebagai seorang yang selain mengajar tetapi juga mengelola buletin kampus, segera saja sesudah kejadian, aku segera memfoto tempat-tempat kejadian dan mewawancarai para saksi mata, untuk kemudian diterbitkan dalam edisi khusus buletin kami. Tapi celakanya, setelah terbit, ketua yayasan kami uring-uringan. Buletin kampus yang kami bangun sudah sekitar empat tahun itu kemudian dibreidelnya. Alasannya? Jangan sampai memancing kemarahan massa perusak!
Sejak itulah, Sri pacarku yang menjadi pegawai keuangan dan para pegawai administratif hampir setiap weekend selalu membawa surat-surat berharga dan CPU komputer pulang ke rumah, takut kalau kampus dibakar, data-data penting menjadi hilang. Kerja kok tidak tenang. Itulah sebabnya ketika ada panggilan untuk menjadi tenaga pendeta di kota yang kamu sudah pernah kunjungi itu, aku menanggapi dengan baik.
Mengetahui aku pindah, Sri pun juga keluar dari kampus. Bedanya, kalau aku ke kota kecil, dia ke kota metropolitan. Bagaimana cinta kita? Kataku suatu ketika. Biar mengalir dulu, katanya. Saat itu, sampai menjelang aku berangkat ke Israel, walau sudah sempat ketemu sekali, aku belum tahu di mana Sri bekerja, ternyata di sebuah hotel, ya sebuah hotel! Mengapa tidak memberitahuku sebelumnya? Tanyaku. Surpise kan, katanya.
"Bom teroris meledak di sebuah hotel di J Indonesia" judul sebuah berita head-line di sebuah surat kabar di Jerusalem. Korban orang asing sekian, dan orang nasional sekian. Ditulis daftar korban yang ada, antara lain: John, Mark, Cindy, Burkin, George, Joyo, Wanto, Surti, Jitheng, Panjul, dan Sri...
Dalam berita kecil yang diraster ditulis kisah feature tentang Sri korban bom, berdasarkan kesaksian temannya. Sri yang adalah pegawai akuntansi hotel tersebut, sebenarnya sudah akan pulang, tetapi karena dia sedang mengerjakan sesuatu yang nampaknya surat buat seseorang, sehingga ia lambat pulang. Selesai Sri memasukkan surat ke amplop, tiba-tiba bom meledak. Sri yang ada di kantor lantai satu, terjungkal kaget, kepalanya membentur pintu. Jatuh terlentang, punggungnya menimpa pojok runcing meja. Dia menggeliat sebentar, kemudian berhenti bernapas. Eloknya, dia masih memegang erat surat itu. Di atasnya, tertulis: kepada kekasihku, gembala jemaat di sebuah kota kecil Anu.
Aku melihat pohon tamariska, senja semakin tenggelam. Pohon badam, pohon ara kaku di taman. Sebuah bom terdengar meletus dahsyat, entah di mana.
Jepara, 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H