Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Senja di Jerusalem

9 Januari 2022   08:08 Diperbarui: 9 Januari 2022   08:09 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Internasional kompas.com

Suatu Senja di Jerusalem

Oleh: Suyito Basuki

Aku ingin sekali menikahi Sri Handayani, kupanggil saja dia: Sri.  Tetapi inilah yang terjadi.  Saat itu aku berada di Yerusalem; senja merangkak, sinar mentari di balik pohon tamariska membiaskan warna-warna antara merah, oranye, pink, dan baris-baris kelam. Bunyi-bunyi letupan sesekali yang terjadi karena kontak senjata antara para pejuang Palestina dan tentara Israel sudah tidak lagi terdengar. Suara adzan, sayup-sayup dari Masjidil Aqsa menyelinap mengingatkan umat Islam di Jerusalem untuk memuja sembah Khaliknya.

Bukit Zaitun telah kami punggungi. Bersama para peziarah, kami meninggalkan bukit yang semakin buram di belakang kami. Aku beberapa kali menolehkan muka ke bukit tempat Tuhan Yesus pernah berdoa sebelum prosesi penyaliban-Nya. Berpikir demikian, hatiku terenggut entah oleh sentimental atau menurut ilmu angelologi, karena Roh-Ul Kudus yang memang sering berkarya merenggut orang dalam keharuan atau mungkin menurut almarhum YB. Mangunwijaya itu adalah rasa religiositas. Dalam suasana yang demikian, kadang-kadang aku tidak habis pikir, kenapa Dia yang tidak berdosa rela membela orang yang berdosa, malah rela menjadi korban tebusan bagi umat yang tidak kenal pada Penciptanya?

Sudah sepuluh hari ini aku berada di Jerusalem. Peziarah yang aku bawa ini adalah kelompok yang kedua kalinya. Ada 10 orang. Rata-rata mereka adalah para umat awam kristiani, sebagian kecil saja rohaniwan dan dosen sekolah teologi. Kepada mereka aku menunjukkan tempat-tempat bersejarah Kristiani. Sehari sebelum melihat Bukit Zaitun, kami ke Danau Galilea, tempat Tuhan Yesus atau di tanah air saudara-saudara muslim sering mengenal sebagai Nabi Isa Almasih, pernah memarahi angin ribut sehingga angin yang nyaris membuat perahu Petrus, Yakobus dan para murid lainnya tenggelam itu menjadi teduh. Selain Danau Galilea, kami juga melihat tempat kelahiran Tuhan Yesus, yang sekarang sudah menjadi gereja yang megah.

Tentunya engkau bertanya, kenapa aku bisa sampai ke tempat ini dan menjadi pemandu ziarah rohani ini bukan? Boleh dikata ini kebetulan. Dua tahun setelah menjalani masa kevicarisan di sebuah gereja, aku mendapat cuti selama 1 bulan. Iseng-iseng, 3 bulan sebelum cuti aku telpon seorang teman di kota J yang mempunyai yayasan yang bergerak di bidang ziarah rohani ke Israel dan Mesir. Dia menawariku untuk menjadi pemandu wisata ini. Apakah aku bisa? Aku bertanya basa-basi. Dia meyakinkanku bahwa aku bisa, karena pengetahuan teologi dan pekerjaan yang pernah aku jalani sebelumnya sebagai dosen bahasa Ibrani di sebuah sekolah teologi di kota Y. Aku ingin ketemu pacarku, kataku. Bisa diatur, pacarmu baik-baik saja di kota ini. Bekerja di sebuah hotel. Kapan kau ingin ketemu, aku bisa menolong, dan selama kamu di Jerusalem, kalau mau, aku jamin kontak dengan pacarmu akan lancar, katanya persuasif.

Okelah, dasar Israel belum pernah aku datangi. Hitung-hitung sekaligus sebagai pengalaman tambahan, mencocokkan dengan pemahaman di kelas ketika mengajar mata kuliah teologi Perjanjian Lama dan bahasa Ibrani dan siapa tahu pengetahuan itu akan dapat menjadi tambahan ilustrasi khotbah. Setelah urusan paspor selesai, jadilah aku berangkat. Sekali saja aku ketemu dengan Sri yang memang sudah bekerja di sebuah hotel, sebagai tenaga akuntan. Kau kerasan? Tanyaku. Habis mau gimana lagi, di kota Y kita tidak pernah merasa aman.

Sri benar, empat tahun bekerja di sebuah kampus di kota Y. Nyaris hampir setiap saat kami karyawan dan dosen merasa tidak aman. Ketidaknyamanan itu memuncak ketika mulai aksi bakar-bakaran dan teror-teror kepada sejumlah gereja di Situbondo dan Tasikmalaya. Merembet pada kerusuhan Poso dan Ambon.

Yang kemudian hampir menjadi histeria beberapa bulan sebelum kami memutuskan keluar dari kampus kami, ketakutan yang mencekam warga kampus terutama para pemimpin yayasan yang memiliki aset bernilai miliaran rupiah itu adalah, kejadian perusakan di kampus kami. Kalau tidak salah itu terjadi hari Jumat, setelah massa bertemu di lapangan olah raga di pusat kota, massa yang kembali ke daerah masing-masing melakukan perusakan beberapa gereja dan kampus tertentu yang mereka lewati.

Di kampus kami sendiri perusakannya terjadi demikian: dua truk yang mengangkut massa berhenti di kampus yang sudah ditutup pintu gerbangnya. Sembari meneriakkan kata-kata tertentu, mereka melompati pagar dan kemudian melempari gedung kapel, ruang pasca sarjana, dan ruang perpustakaan. Apakah tidak ada antisipasi dari aparat? Saat itu, menurut pengakuan satpam kampus, beberapa polisi dan satpam justru malah bersembunyi. Pak Ratijo, satpam yang saya kenal baik, berada di antara pohon jagung di depan kampus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun