Segera saja aku pergi dari teras, kukayuh sepedaku. Â Terdengar suara Savitri berteriak-teriak memanggilku. Â Angin senja yang kering mendorong sepedaku untuk tidak berhenti, kukayuh terus, kukayuh terus, sambil tak terasa air mata meleleh di pipi.
Mengapa menangis? Â Apa kamu benar banci? Â Tiba-tiba saja ada suara hati yang mengusikku. Â Bagi seorang anak yang sejak kecil hidup diterpa kekurangan, apa yang bisa kuperbuat dalam situasi ini? Â Kakek nenek yang kuikuti telah tiada. Â Nenek berpulang ketika aku usia 9 tahun. Â
Kata orang nenek begitu rindunya dengan ayahku yang pergi entah kemana. Â Sudah tak henti-hentinya nenek dengan diantar kakek mencari-cari ayahku di tempat saudara-saudara di berbagai kota. Â
Telah mencari, nenek dan kakek tak jua menemui timangan hati. Â Akhirnya nenek menjadi sedih, sulit makan, sulit tidur dan kemudian mati. Â Kakek meninggal baru tahun lalu. Â Jadilah aku yatim. Ibu kata kakek pergi juga entah keman bersama seorang lelaki luar kota.Â
Perihal aku dikatakan banci, mungkin benar juga. Â Orang bilang aku ini lemah, cara bicara dan juga cara menghadapi kehidupan ini. Â Kalau aku dihadapkan pada suatu persoalan, kadang butuh waktu yang lama sekali untuk memutuskannya. Â
Misalnya soal jual menjual, walaupun aku butuh uang untuk memperbaiki rumah, tetapi untuk menjual kambing  warisan dari kakek dan nenek, itupun butuh waktu lama untuk mempertimbangkan.  Dan akhirnya berujung tidak jadi menjual kambing itu.Â
Termasuk juga ketika pada akhirnya aku tahu bahwa Pak Maksum inilah yang telah membuat buntu sawahku, sehingga tidak mendapatkan air. Â Sebaliknya areal sawahnya selalu melimpah air karena perbuatan jahilnya. Â Aku tidak dapat berbuat apa-apa, walau tetangga-tetangga mendorongku untuk berani menegurnya.
Mungkin Pak Maksum mengatakan aku banci itu, lebih pada kesan aku tidak seperti dirinya yang kelihatan kokoh dan  tegas bicaranya. Entah mungkin karena tekanan kejiwaan, aku kalau bicara seperlunya saja, kadang-kadang malah gagap kalau terlalu banyak bicara.
Tiba-tiba saja aku merasa memiliki tenaga. Â Aku harus membuktikan bahwa aku bukan banci dan aku masih punya masa depan. Â Kemudian aku pergi ke rumah temanku yang bernama Tarto. Â Seusai Tarto gagal menjadi tentara, Tarto menjadi seorang blantik hewan. Â Namun di waktu senggang, dia menenteng senapan dan berburu babi hutan. Â
Dengan dalih aku mau berburu aku meminjam senapannya. Â "Kamu bisa menembak?"tanyanya. Â Aku mengangguk. Â Tak yakin dengan jawabanku, maka ia mengajariku bagaimana mengisi peluru, mengincar buruan dan menarik pelatuk dengan hati-hati. Â
Dia berpesan, sewaktu berburu, jangan sampai salah sasaran. Â Jangan sampai menembak manusia, katanya. Â Jika semak bergerak, harus dipastikan itu adalah babi hutan atau kijang, jangan buru-buru menembak dulu, siapa tahu itu manusia yang tengah mencari kayu bakar, katanya.