Teori Kepengasuhan: Dari Teori ke Praktik di Pesantren
Dari sudut pandang psikologi perkembangan, ada banyak teori yang dapat dihubungkan dengan peran musyrif dan musyrifah dalam kepengasuhan santri. Salah satu teori yang relevan adalah teori attachment yang dikemukakan oleh John Bowlby. Teori ini menjelaskan pentingnya keterikatan emosional antara anak (atau dalam konteks ini, santri) dengan pengasuhnya. Ketika santri memiliki ikatan yang kuat dan sehat dengan musyrif atau musyrifah mereka, mereka akan merasa lebih aman dan lebih mudah menerima bimbingan.
Musyrif dan musyrifah di pesantren berfungsi sebagai figur pengganti orang tua. Mereka memberikan rasa aman, dukungan, dan dorongan yang dibutuhkan oleh santri. Di balik teguran ketika santri terlambat bangun subuh, ada kasih sayang yang mendalam untuk memastikan bahwa mereka menjadi orang yang disiplin dan bertanggung jawab.
Para musyrif dan musyrifah menciptakan "ikatan emosional" dengan santri melalui pendekatan yang penuh kesabaran dan pengertian. Saat seorang santri mungkin merasa jauh dari rumah dan keluarga, para musyrif dan musyrifah inilah yang mengisi kekosongan tersebut dengan memberikan perhatian dan bimbingan. Dan jika kita berpikir lebih dalam, itulah bentuk kepedulian yang sesungguhnya. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali 'Imran: 104).
Musyrif dan musyrifah, dalam konteks pesantren, adalah orang-orang yang senantiasa menyeru kepada kebaikan, menanamkan nilai-nilai Islam, dan mencegah santri dari perilaku buruk. Meskipun tugas ini terkadang terasa berat, tetapi peran mereka sangatlah penting dalam menjaga moralitas generasi muda.
Disiplin dengan Cinta: Tugas Berat, Namun Mulia
Berbicara tentang peran musyrif dan musyrifah, tak lengkap rasanya tanpa menyebut disiplin. Pesantren dikenal dengan jadwal yang padat dan disiplin yang ketat, mulai dari bangun pagi untuk shalat subuh hingga tidur malam setelah hafalan. Tapi disiplin ini bukan sekadar bentuk "hukuman" atau "paksaan." Disiplin di pesantren adalah bentuk kasih sayang.
Sebagaimana Allah SWT menyebutkan dalam Al-Qur'an:
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya." (QS. Thaha: 132).
Disiplin shalat, menghafal Al-Qur'an, dan belajar yang diterapkan oleh musyrif dan musyrifah adalah bentuk bimbingan agar santri terbiasa menjalani kehidupan yang teratur dan penuh ibadah. Mereka ingin santri tidak hanya patuh pada aturan, tetapi juga mencintai ibadah. Dan ini tidak mudah! Saya ingat betul bagaimana saat menjadi musyrif, beberapa santri memiliki "trik" untuk menghindari hafalan, seperti berpura-pura sakit. Tapi, di situlah tantangan bagi musyrif dan musyrifah untuk mendekati santri dengan pendekatan yang lembut namun tegas, agar mereka paham bahwa disiplin itu adalah bentuk kasih sayang.