Di Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Tijarotul Qur'aniyah (PPMMTQ) kabupaten Sukoharjo, ada cerita yang mengundang tawa sekaligus renungan. Seorang santri, ketika ditanya soal rencana setelah lulus, menjawab dengan santai, "Belum tahu". Ditanya soal kuliah? "Belum ada bayangan". Lalu, rencana kerja?. "Nggak tahu".
Bayangkan, jika ini terjadi pada anak sendiri, bisa bikin orang tua panik!. Atau bisa juga ini dianggap hal sepele yang tidak perlu mendapat perhatian. Tapi, Ibu Riyanti, M.Psi dan Ust. Hanni, S.Pd. dari tim Kepengasuhan PPMMTQ, tidak terlalu cemas. Mereka malah melihat ini sebagai kesempatan untuk menerapkan pendekatan yang lebih mendalam. Dalam Islam, kita diajarkan untuk memahami bahwa setiap individu memiliki jalannya masing-masing, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an:
Katakanlah (Nabi Muhammad), "Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing." Maka, Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. Â (QS. Al-Isra': 84)
Pendekatan ini mirip dengan teori Person-Centered Counseling dari Carl Rogers, yang menekankan pentingnya mendengarkan dengan empati dan membantu individu menemukan jalannya sendiri, tanpa menghakimi. Mereka pun mengadakan sesi percakapan santai dengan santri ini, melibatkan juga keluarganya.
Hasilnya? Santri ini ternyata sangat menyukai... bis! Ya, bukan kuliah atau karir hebat, tapi kendaraan besar yang berderu di jalanan. Alih-alih menganggap ini sebagai masalah, pihak pesantren justru memanfaatkannya sebagai langkah awal. Seperti yang dikatakan Imam Al-Ghazali, salah satu tujuan pendidikan adalah mengenali potensi diri agar bisa bermanfaat bagi umat. Jika santri ini suka bis, maka mengapa tidak diarahkan ke sesuatu yang terkait?
Dengan pendekatan yang santai namun penuh makna, santri ini kemudian diarahkan untuk magang di salah satu perusahaan mitra pesantren. Magang ini bukan hanya sekedar menonton atau duduk di kantor, tetapi benar-benar pengalaman nyata. Tugas pertamanya? Menyemai 1000 tanaman!
Di sini, teori Experiential Learning dari David Kolb ikut bermain, bahwa belajar melalui pengalaman langsung adalah cara efektif untuk membangun keterampilan dan pemahaman hidup. Dan tentu saja, Islam mengajarkan kita untuk berusaha keras dalam segala hal, sebagaimana firman Allah:
Dan Katakanlah (Nabi Muhammad), "Bekerjalah! Maka, Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kamu akan dikembalikan kepada (Zat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kamu apa yang selama ini kamu kerjakan." Â (QS. At-Taubah: 105)
Setelah berhasil menyelesaikan tugas tersebut, santri ini merasakan pencapaian nyata. Menurut teori Self-Efficacy dari Albert Bandura, pencapaian kecil seperti ini bisa membangun rasa percaya diri. Dalam Islam, rasa percaya diri yang lahir dari usaha yang halal juga bagian dari konsep tawakal---berserah diri kepada Allah setelah berusaha maksimal.
Tak berhenti di situ, santri tersebut juga diberi tugas-tugas lainnya, seperti memperbaiki kompor rusak dan belajar cara memperbaiki kendaraan. Setiap tugas yang selesai oleh mentor di tempat magang akan diberi reward kecil yang sekaligus mampu memberi kepuasan dan kebanggaan tersendiri. Ternyata, hal-hal kecil seperti ini perlahan menumbuhkan rasa tanggung jawab dan tujuan hidup.
Cerita santri yang awalnya tampak kehilangan arah ini mengingatkan kita pada ajaran Rasulullah SAW untuk tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun. Sebagaimana sabdanya:
- - " " .
"Telah mengabarkan kepadaku Abu Ghassan Al-Mismari, telah mengabarkan kepada kami Utsman bin Umar, telah mengabarkan kepada kami Abu Amir, yaitu Al-Khazzaz, dari Abu Imran Al-Jauni, dari Abdullah bin Ash-Shamit, dari Abu Dzar, dia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku: 'Janganlah kamu meremehkan kebaikan sedikit pun, meskipun hanya kamu bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang cerah." Â (HR. Muslim)
Melalui tugas-tugas sederhana ini, santri mulai belajar tentang pentingnya memiliki tujuan, sekecil apapun itu. Teori Goal-Setting dari Edwin Locke juga relevan di sini, bahwa memiliki tujuan yang jelas, meski kecil, dapat meningkatkan motivasi dan produktivitas seseorang.
Cerita ini memberi kita pelajaran berharga. Ketika remaja tampak bingung dan tidak memiliki arah, bukan berarti mereka malas atau tidak peduli. Bisa jadi, mereka hanya belum menemukan minat dan potensi mereka. Oleh karena itu, pendidikan yang baik harus memperhatikan hati, akal, dan kemampuan individu, serta membimbingnya secara bertahap.
Dengan bimbingan yang tepat, seperti kisah santri ini, ketidakpastian bisa berubah menjadi pencarian makna dan tujuan hidup. Dan terkadang, jawabannya sesederhana menemukan "bis" yang mereka sukai! Jadi, ketika menemukan santri yang bingung, jangan cemas dulu---siapa tahu, dari hal kecil ini, impian besar akan tumbuh dan berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H