Mohon tunggu...
Suyatna Pamungkas
Suyatna Pamungkas Mohon Tunggu... -

Penulis cerpen, novel, skenario, mahasiswa program Magister Linguistik, serta CEO President di Indonesian Writers University

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Mencaplok, Memelihara, Memilah, dan Mengembangkan Ide Tulisan

5 Desember 2011   11:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:48 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Oleh Suyatna Pamungkas

Sumber ide

Ide dapat datang dari mana saja. Sebagai seorang penulis, kita harus peka akan ide yang sangat mungkin datang dengan tiba-tiba, berseliweran di antara kita. Menulis adalah mengamati, mencermati, merenungkan, dan hingga akhirnya menuliskan segala fenomena baik yang ada di dalam diri atau pun di luar diri kita, melalui bahasa yg komunikatif sebagai mediumnya, demi mencapai satu karya seni yang utuh dan bernilai estetik. Jadi ada dua sumber tulisan di sini, yakni yang ada dalam diri atau pun yang berada di luar diri kita.

Pada awalnya manusia adalah kertas kosong, polos dan suci bersih. Tak ada cerita yang sifatnya intern yang dapat diungkap dari bayi yang baru lahir. Teori tabularasa yang dipopulerkan oleh John Lock pun mengatakan bahwa pada awal kelahirannya manusia dapat diibaratkan sebagai kertas putih yang masih kosong, belum tercoret-coret apapun juga. Seiring berjalannya waktu, kertas putih ini akan ditulisi dengan berbagai warna tinta dan model coretan. Terbentuklah apa yang disebut pengalaman pribadi seseorang. Nah, si pengalaman peribadi seseorang ini akan menjadi sumber ide yang sifatnya berasal dari dalam diri penulis. Sumber ide yang pertama atau diri sendiri biasanya akan melahirkan karya yang true story. Namun penyematan label true story pada novel sangat bergantung dari pengakuan pribadi si penulis selaku kreator. Andrea Hirata misalnya, dalam tetralogi Laskar Pelangi dia memang tidak menyematkan label true story, dan saat terjadi “keganjilan” misalnya, maka dia bisa melakukan pledoi dengan mengatakan, “lho ini fiksi kok. Apa yang salah dengan sesuatu yang fiktif?

Sumber ide yang pertama ini yang sering membedakan penulis pemula dengan penulis senior. Penulis pemula cenderung akan menuliskan kisah-kisah pribadinya, sementara penulis senior –tidak semua penulis senior –harus mau dan mampu mengerjakan tulisan sesuai pesanan. Sumber ide yang pertama ini dapat berupa: kenangan masa kecil, kenangan saat masih sekolah, atau yang jarak waktunya masih fresh yakni kenangan hari kemarin, tentu sesuatu itu adalah sesuatu yang berkesan.

Sumber ide yang kedua datang dari luar diri kita, bersumber dari selain pengalaman pribadi yang pernah kita alami. Banyak sekali sumber yang dapat dijadikan ide dasar menulis, sebutlah sinetron, film, lagu, buku biografi, kisah curhatan orang lain, atau semata berasal dari permainan imajinasi kita tentang suatu kisah yang tidak kita alami sendiri.

Kawan, cerita rekaan merupakan ramuan atas tema, tokoh, alur, setting, point of view, dan amanat menjadi ramuan yang sedap untuk dikonsumsi. Maka, silakan ramu sumber-sumber ide yang sudah kamu temukan, baik dari dalam diri maupun dari luar diri, dengan permainan imajinasi yang maksimal. Pepatah bilang, penulis adalah tuhan setelah Tuhan. Nah lo, profesi yang sangat membanggakan bukan?

Caplok lalu kandangkan!

Benar sekali, menjadi penulis harus peka terhadap segala keadaan yang terjadi di sekitar kita. Kemunculan ide yang bisa bersumber dari dalam diri sendiri, maupun yang bersumber dari luar diri harus segera dicaplok (baca: ditangkap ibarat seekor cicak melahap nyamuk, hap, hap, hap! Cepat dan kilat!)  Kawan, sadarlah dalam satu hari kita dikaruniai waktu sebanyak 24 jam. Jika kita bangun pukul 04.00 dan tidur pukul 23.00, maka kita melakukan aktivitas sadar selama 19 jam. Setiap aktivitas atau peristiwa yang kita jalani, jika kita peka, akan menjadi bahan ide untuk tulisan yang sedang atau akan kita tulis. Begitu “wangsit” itu datang, caploklah. Lalu catat dalam sebuah catatan kecil, bisa di hape atau pada selembar kertas. Tulislah ide yang mampir itu dengan kalimat pendek namun sudah dapat dipahami intinya. Misalnya, ide bangun tidur mendengar teriakan ibu ngomelin ayah karena telat ngasih uang jatah bayar listrik dan telepon. Ah, ini ide cerpen yang menarik! Tulislah ide itu dengan kalimat yang tidak rumit, dan bisa mengingatkan kamu pada momen saat kamu mendapatkan ide tersebut. Karena ini sangat berguna ketika akan mengembangkan si ide, nanti.

Beberapa opsi yang mungkin mencaplok ide:

-Nongkrong di toilet

-Jalan-jalan di taman

-Balkon rumah

-Sebuah perbukitan

-Di teras rumah tengah malam

-Perpustakaan

-Mall

-Perjalanan

-Dst

Caploklah ide-ide yang muncul secara mengagetkan tersebut, secara berseliweran dan tak terduga-duga dalam sebuah catatan kecil. Whatever itu bentuknya, tapi yang jelas ide harus segera diikat dalam sebuah catatan. Saya sendiri selalu menggunakan blocknote dan alat digital seperti hape untuk mencatat ide-ide yang baik hati mendatangi saya. Tak peduli ide itu sepele atau ide besar, tak peduli ide itu adalah ide sama sekali baru atau sekadar kelanjutan dari cerita yang sedang saya kerjakan, saya langsung mencaplok ide tersebut dan mengikatnya dalam sebuah catatan kecil, kandangkan ide-ide itu dalam BUKU IDE. Woi, jangan main-main. Jangan menganggap temeh, buku ide ini adalah harta karun kita. Buku kumpulan temuan-temuan yang siapa tahu bisa menghasilkan karya seperti Lord Of The Ring atau Harry Potter. Siapa tahu.

Pelihara!

Setelah ide-ide itu dicaplok kemudian dikandangkan, maka kita berkewajiban memeliharanya. Kambing saja butuh makan, maka ide pun demikian. Apalagi ide adalah sumber kekayaan yang luar biasa. Peliharalah ide sebagaimana kita memelihara hewan ternak. Ketika waktu kita sudah luang, coba tengok lagi catatan yang sudah kita buat dalam BUKU IDE tadi. Bacalah secara skiping lantas begitu mata nyantol pada satu kalimat ide yang menantang (baca: mempunyai daya tarik tersendiri untuk dikerjakan) maka kembangkanlah dari yang semula hanya satu kalimat, menjadi satu paragraf.

Misalnya begini:

Penulisan ide awal (pencaplokan): cerita tentang anak ingin mendirikan masjid.

Setelah waktu kita senggang, dan menoleh kembali buku ide, kembangkanlah menjadi satu paragraf kecil:

Empat anak kecil berasal dari bukit setiap petang harus menuruni bukit untuk pergi mengaji ke masjid di lembah. Jaraknya cukup jauh, sekitar sepuluh kilometer. Di bukit tersebut sama sekali tak ada masjid, dan orang-orang di sana hidup seperti jaman jahiliyah. Akhirnya empat anak yang menamakan dirinya sebagai empat berkawan bertekad mengubah kehidupan para tetangga dan lingkungannya, mereka ingin mendirikan satu masjid di kampungnya.

Nah, ini adalah wujud kita memelihara ide. Ini adalah bukti kita menyayangi ide seperti seorang peternak domba menyayangi domba-dombanya. Ingat, ide juga bisa menghasilkan uang sebagaimana domba yang dijual, bahkan ide bisa menghasilkan jauh lebih besar daripada domba-domba itu. Karena sekali lagi, ide merupakan tumpukan harta karun yang luar biasa, kekayaan pikiran yang jika pintar memanfaatkan dan mengembangkannya akan menjadi gebrakan tersendiri.

Pilih!

Pada kesempatan workshop, ada peserta yang bertanya, “Pak apakah semua ide itu bisa dijual? Dan jika tidak bagaimana memilih ide yang bisa dijual itu?”

Setelah semua ide itu dikumpulkan dalam BUKU IDE, dan dalam waktu senggang kita telah mulai melirik-lirik ide mana yang memunculkan gereget untuk dikembangkan, maka dalam proses ini juga kita harus mulai memililah ide yang masuk dalam daftar. Khusus untuk ide-ide yang sudah mulai dipelihara, atau mulai dikembangkan menjadi paragraf, beri perhatian khusus padanya. Bagi ide-ide yang masih belum dilirik, yang tergabung dalam daftar ide di BUKU IDE, cobalah mulai dipilah. Ide yang menarik biasanya adalah ide yang menawarkan suatu kebaruan, ide yang sesuai zaman bahkan ingin menawarkan sesuatu untuk menjadi pelopor. Tentu Kawan ingat bagaimana fenomena Lupus begitu dominan dulu, munculnya semangat novel-novel teenlit akhirnya mampu juga menggeser dominasi Lupus. Setelah teenlit, muncul lagi novel-novel inspiratif seperti Laskar Pelangi, 5 CM, Lima Menara, dst. Kemudian muncul juga novel-novel Islami seperti Ketika Cinta Bertasbih. Nah, asahlah kepekaan kita untuk menemukan sesuatu kebaruan tersebut, jadilah yang pertama jika kita mampu. Namun jika tidak, maka ikutlah musim yang sedang berjaya, tapi ingat jangan semata-mata ngikut. Meski tema kita ngikut-ngikut, namun pengolahan cerita juga harus menunjukkan kualitas yang orisinil dan menawarkan kebaruan.

(BERSAMBUNG)

Demikian curhatan tentang IDE

Selama ini saya selalu melakoni tips ini

Semangat berkarya,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun