Mohon tunggu...
Suyanto Suyanto
Suyanto Suyanto Mohon Tunggu... Human Resources - Guru, Widyaiswara, Anggota BAN-S/M

Ketua BAP-S/M Provinsi NTB.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Salah Arah di Kurikulum 2013

1 Januari 2014   08:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:17 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JANGAN SALAH ARAH DI KURIKULUM 2013

Undang-undang Sistem Pendidikan nasional menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.  Pada dokumen Kurikulum 2013, ada dua rumusan tujuan yang berbeda yaitu yang terdapat pada Permendikbud nomor 65 tentang Standar Proses dan nomor 81A tentang Implementasi Kurikulum 2013. Permendikbud nomor 65 menyatakan bahwa Tujuan pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD, dengan menggunakan kata kerja  operasional  yang  dapat  diamati  dan diukur, yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.  Sedangkan menurut Permendikbud nomor 81A, tujuan dapat diorganisasikan mencakup seluruh Kompetensi Dasar atau diorganisasikan untuk setiap pertemuan. Tujuan mengacu pada indikator, paling tidak mengandung dua aspek: Audience (peserta didik) dan Behavior (aspek kemampuan). Secara konseptual keduanya bisa diterima, Dwyer(1991) menyebutnya: yang satu adalah Instructional Goal, tujuan yang harus dicapai pada akhir perencanaan pembelajaran dan yang satunya lagi Instructional Objective, tujuan yang harus dicapai di setiap kegiatan/pertemuan.  Satu perencanaan diselesaikan melalui beberapa kali pertemuan.

Yang menjadi persoalan adalah, dalam permendikbud 81A dinyatakan bahwa untuk kompetensi dasar yang berasal dari KI1 (sikap spiritual) dan KI2 (sikap sosial) “tidak harus” dirumuskan indikator pencapaiannya.  Implikasinya adalah bahwa pembelajaran tentang karakter/sikap perilaku dianggap kurang penting.  Logikanya, jika ada guru yang tidak merumuskan indikator pencapaian kompetensi tersebut, jelas di setiap kegiatan guru tidak akan mengajarkan  sikap perilaku karena menurut permendikbud tersebut dalam merumuskan tujuan harus mengacu pada indikator.  Padahal indikator inilah yang menunjukkan ketercapaian kompetensi peserta didik.

Kondisi ini bertentangan dengan harapan munculnya kurikulum baru yang merupakan tindak lanjut dari Inpres nomor 1 tahun 2010 yaitu tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional di mana kemendikbud melakukan penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.

Perlu diingat bahwa pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana”.  Pendidikan karakter yang merupakan implementasi KI1 dan KI2 pada Kurikulum 2013 mestinya harus disadari dan direncanakan secara cermat, bukan hanya yang menyangkut pengetahuan dan keterampilan saja.  Terlebih lagi pada pembelajaran Agama yang jelas-jelas tujuan utamanya adalah pembentukan akhlak, keimanan, dan budi pekerti.  Lalu ke mana arah pendidikan kita?

Permendikbud nomor 67 s.d. 69 tahun 2013 yang memuat Kompetensi Dasar dan Struktur Kurikulum menyatakan bahwa Kompetensi Inti yang meliputi sikap, pengetahuan dan keterampilan mengikat semua mata pelajaran. Oleh karena itu, tidak ada satu mata pelajaranpun yang boleh mengabaikan pendidikan sikap perilaku.  Untuk itu diperlukan kecermatan guru dalam merencanakan pembelajaran dengan cara mengaitkan kompetensi-kompetensi dasar dari semua kompeteni inti.  Berikut adalah gambaran di mana ke tiga ranah pengetahuan, keterampilan, dan sikap merupakan satu kesatuan.

Untuk mata pelajaran agama islam misalnya, tatkala mengajarkan tentang berpuasa mestinya dimulai dengan pembekalan pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan puasa, kapan waktunya, apa yang membatalkan puasa dan lain-lain. Dengan demikian peserta didik akan terampil menjalankan ibadah tersebut dengan tertib sesuai dengan rukun/ tata cara berpuasa yang benar. Dengan itu saja belum cukup.  Pembelajaran beserta penilaiannya harus dilanjutkan dengan pembentukan sikap/perilaku dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah tersebut.  Lembar pengamatan oleh guru, penilaian diri oleh peserta didik, dan penilaian oleh teman sejawat dapat digunakan. Misalnya mengenai sikap sabar, kasih sayang, pemurah, berkata benar, ikhlas, disiplin, terhindar dari sifat tamak dan rakus, percaya pada diri sendiri dan sebagainya.  Dengan demikian jangan sampai pelajaran agama di sekolah yang merupakan pendidikan spiritual berubah menjadi pelajaran ritual semata.

Demikian pula pada mata pelajaran matematika, misalnya tentang pembelajaran statistik.  Keterampilan yang diajarkan adalah tentang bagaimana mengumpulkan data, mengolah data, hingga melaporkan.  Untuk itu pengetahuan tentang apa yang disebut data, jenis-jenisnya, cara mengolah, serta bentuk-bentuk pelaporan harus diajarkan terlebih dahulu.  Sedangkan sikap perilaku yang bisa diajarkan adalah ketelitian, kejujuran, dan tanggung jawab. Dalam kehidupan nyata, jika laporan hasil analisa tidak didasari oleh ketelitian dan kejujuran akan mengakibatkan hasil keputusan serta kebijakan yang salah.

Harapan perubahan kurikulum cukup mendasar yaitu keseimbangan antara hard skill dan soft skill.  Oleh karenanya jangan sampai hal-hal yang berkenaan dengan pembelajaran/ pembinaan sikap perilaku diabaikan.  Pembelajaran ini bisa diajarkan secara langsung melalui berbagai jenis/strategi kegiatan pembelajaran.  Sebagai contoh, pada saat kegiatan “pengamatan” yang dilakukan secara berkelompok, sikap kerja sama, tangung jawab, kecermatan dan ketelitian bisa diajarkan. Dalam kegiatan “menanya” (tanya jawab), peserta didik harus diajarkan keberanian mengajukan pertanyaan.  Christ, Meyer dan Reed (2003) mengutarakan bahwa berfikir kritis perlu dilakukan sejak dini.  Tidak hanya kemampuan menjawab pertanyaan dari guru atau buku saja, akan tetapi juga kemampuan bertanya tentang jawaban (questioning answers) dan bahkan bertanya tentang pertanyaan (questioning questions).  Pada saat “menalar” atau mengasosiasikan, peserta didik diajarkan bagaimana berbagi pendapat, menghargai pendapat orang lain, berfikir logis dan sebagainya.  Pada setiap langkah kegiatan pembelajaran dengan pendekatan atau metode apapun secara spesifik sikap dapat dirumuskan dan diajarkan.

Memang sulit difahami mengapa terjadi kesenjangan di antara permendikbud sendiri.  Di samping yang telah disebutkan di atas, yang berkenaan dengan standar penilaian juga telah terjadi pula pergeseran makna.  Penilaian yang merujuk pada perilaku sosial dan perilaku keagamaan, pada lampiran IV, permendikbud nomor 81A disebutkan bahwa sikap terdiri dari tiga komponen, afektif, kognitif, dan konatif.  Memang tidak salah jika terdapat banyak ragam teori yang dapat digunakan untuk mendefinisikan konsep tertentu, akan tetapi sebuah panduan inplementasi seharusnya merujuk pada permen yang telah mengatur sebelumnya.  Metode penilaian sikap yang dituliskan pada permen tentang standar penilaian tidak semuanya dijabarkan pada pedoman implementasi.

Tentang ketuntasan belajar, untuk pengetahuan dan keterampilan adalah tuntutan yang bisa dipenuhi dalam kegiatan pembelajaran.  Akan tetapi untuk sikap tidak bisa dikatakan tuntas karena makna tuntas adalah sudah tercapai dan tidak perlu diajarkan lagi.  Di samping itu, sikap tidak bisa dinilai melalui pengukuran melainkan pengamatan dan bisa bersifat “fluktuatif”.  Oleh karenanya yang perlu dicermati oleh guru adalah trend perubahan dan konsistensi terhadap sikap/perilaku mulia yang diajarkan oleh guru.

Dari paparan di atas, penulis berharap bahwa para pembaca menyadari bahwa kompetensi sikap sosial dan spiritual merupakan tujuan utama pendidikan yang harus diajarkan melalui usaha sadar dan terencana.  Menanggapi perbedaan isi pada permendikbud, kita harus tetap merujuk pada esensi perubahan yang diinginkan oleh kurikulum.  Sikap merupakan bagian dari pendidikan sepanjang hayat dan di sekolah harus diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan sekolah lainnya.  Wilbur Wright, penemu pesawat terbang, mengatakan: “It is possible to fly without motor, but not without knowledge and skills”.  Ini artinya bahwa para pendidik harus memiliki pengetahuan tentang perkembangan pendidikan dan perubahan kurikulum serta keterampilan mengelola pembelajaran untuk bisa menerbangkan kurikulum 2013.  Jangan hanya terbang karena perintah tanpa mengetahui arah yang jelas, apalagi sampai tersesat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun