UJIAN NASIONAL, PERINTAH TUHAN, DAN REVOLUSI PENDIDIKAN
Ujian Nasional (UN) sudah di ambang pintu. Masih segar di ingatan kita, baru pertama kali terjadi dalam sejarah bahwa UN tidak bisa dilaksanakan serentak karena kendala teknis yang seharusnya tidak perlu terjadi. Itulah kisah tahun lalu. Ketidak serempakan bukan hanya penundaan hari melainkan juga jam, bahkan ada yang dilaksanakan dari sore hingga malam. Padahal siswa sudah menunggu sejak pagi sehingga kondisi fisik dan psikis sudah kurang kondusif untuk mengerjakan soal tes dibanding jika dilakukan di pagi hari. Semoga tahun ini tidak terulang lagi.
Ujian ataupun tes secara massive dengan menggunakan paket-paket soal yang sama, memang seharusnya diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan untuk menghindari kebocoran. Saat ini, dengan majunya sarana komunikasi, jarak geografis bukan lagi merupakan hambatan untuk mengirimkan informasi dari tempat yang berjauhan sekalipun. Untuk mengirimkan suatu dokumen tidak lagi memerlukan jasa POS, Faximile, atau bahkan “attachment” pada E-mail. Secara instan, dokumen soal UN bisa difoto dengan HP kemudian dikirim via MMS. Si penerima bisa langsung membaca bahkan mencetak kemudian membahas bersama teman-temannya. Inilah informasi yang penulis dapatkan dari sumber yang bisa dipercaya saat pelaksanaan UN tingkat SMA tahun lalu. Oleh karenanya jaminan kerahasiaan soal sudah tidak mungkin lagi dilakukan walaupun dijaga ketat oleh polisi sekalipun. Masih banyak lagi keresahan yang ditimbulkan akibat penyelenggaraan UN baik tahun lalu maupun tahun-tahun sebelumnya. Dengan pengalaman pelaksanaan UN yang nyaris selalu karut marut tersebut, muncul pertanyaan:”Perlukah penyelenggaraan UN dipertahankan?” Untuk menjawab masalah tersebut, penulis ingin mengungkap esensi UN sebagai salah satu bentuk standarisasi dan tantangan perubahan pendidikan di masa mendatang.
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis tes standar. Disebut standar karena menggunakan instrumen atau alat ukur (tes) yang sama untuk di mana saja seperti halnya kita menggunakan timbangan untuk mengukur berat, meteran untuk jarak, thermometer untuk suhu. Tes standar digunakan untuk menimbang atau mengukur kompetensi seseorang. Dengan tes standar, skor yang sama dicapai oleh orang yang berasal dari tempat yang berbeda-beda menunjukkan kompetensi/ kecakapan yang sama. Kondisi ini diperlukan oleh pengguna lulusan seperti pendidikan yang lebih tinggi atau lowongan kerja sebagai salah satu pertimbangan dalam seleksi. Bisa dibayangkan bahwa ketidak adilan akan terjadi jika angka-angka/ nilai yang terdapat pada Tanda Lulus tidak bisa dibandingkan (comparable) bagi setiap individu. Akan terjadi nilai 8 dari sekolah tetentu belum tentu lebih cakap/pandai dari nilai 6 dari sekolah lain. Belum lagi jika mempertimbangkan nilai keterampilan dan sikap/perilaku. Mestinya orang yang lebih cakap, lebih terampil, dan lebih baik perilakunya akan mendapatkan peluang lebih banyak dibanding dengan yang kurang.
Tuhan berfirman : “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Al Isra ayat 35).
Takaran yang sempurna harus bisa menakar apa yang hendak ditakar/ diukur (valid atau sahih) dan bebas dari kecurangan atau ketidak jujuran. Neraca yang benar menggambarkan bahwa siapapun yang menakar, di manapun dan kapanpun ditakar, untuk obyek yang sama harus menunjukkan angka/nilai yang sama (reliable atau handal). Selama standarisasi diberlakukan untuk pendidikan kita, UN dan sejenisnya seperti Ujian Mutu Tingkat Kompetensi (UMTK) dalam implementasi Kurikulum 2013 adalah sebuah keniscayaan dan merupakan tanggung jawab penyelenggara pendidikan untuk memenuhinya hingga tercapai kriteria minimal (standar) yang sudah ditetapkan.
Penentuan kelulusan dengan mempertimbangkan hasil UN memang sering dianggap tidak adil. Apalagi jika hasil UN tersebut digunakan sebagai dasar pemetaan mutu satuan pendidikan. Kesalahan anggapan akan keberhasilan pendidikan dengan hanya melihat hasil UN merupakan salah satu kendala pembangunan pendidikan itu sendiri. Kekhawatiran yang sangat dalam terhadap kegagalan UN, telah menyebabkan penyimpangan-penyimpangan seperti kebocoran soal/ kunci jawaban, siswa nyontek, atau bahkan “konon” ada tim sukses di sekolah yang siap merekayasa jawaban agar siswanya memperoleh nilai baik. Jika hal ini benar terjadi, sudah jelas bahwa lulusan tidak akan mampu bersaing atau bahkan bisa dipastikan akan memberi racun terhadap akhlak peserta didik karena telah menanamkan ketidak jujuran. Kondisi ini sangat bertentangan dengan hakikat pendidikan yang sebenarnya, di mana akhlak budi pekerti dan nilai atau martabat merupakan pilar utama. Tidak ada satupun agama di muka bumi ini yang mengajarkan ketidak jujuran; Tuhan dengan jelas dan tegas melarangnya.
Kita harus menyadari tentang perlunya perubahan. Reformasi di bidang pendidikan seperti perubahan kurikulum hasilnya tidak bisa secara instan segera dilihat, melainkan harus menunggu proses yang cukup lama hingga sebuah kurikulum menghasilkan lulusan. Itupun dengan syarat bahwa ruh kurikulum benar-benar difahami oleh para pelaksana pendidikan dan diimplementasikan dengan baik dan benar. Turbulensi perubahan saat ini telah menuntut bahwa kurikulum harus ditinjau dan direvisi setiap saat. Para pendidik serta tenaga kependidikan tidak boleh enggan terhadap setiap perubahan karena mereka sendiri adalah agen perubahan yang harus selalu proaktif, mandiri, kreatif, inovatif dan selalu berusaha lebih baik dari waktu ke waktu.
Penulis tertarik dengan presentasi Sir Ken Robinson (2010) yang bisa diakses di http://www.ted.com/talks/sir_ken_robinson_bring_on_the_revolution.html, diunggah pada bulan Mei 2010. Beliau mengetengahkan sebuah gagasan perubahan radikal (revolusi) terhadap pendidikan yaitu dari persekolahan yang terstandarisasi menjadi pembelajaran yang lebih mengutamakan kebutuhan masing-masing individu peserta didik. Diharapkan dapat tercipta suatu kondisi di mana peserta didik dapat tumbuh secara alami sesuai dengan bakat mereka masing-masing. Menurutnya, sudah saatnya kita beralih dari pendidikan yang berorientasi pada “pabrik” ke “pertanian”. Sebuah pabrik bisa menerapkan standarisasi mulai dari input, proses, sampai output sehingga mendapatkan kualitas produk yang diharapkan. Akan tetapi di pertanian, benih tanaman yang bermacam-macam tidak bisa diperlakukan sama karena masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
Kurikulum 2013 telah melakukan perubahan dari orientasi matapelajaran ke kebutuhan peserta didik. Akan tetapi belum merupakan kebutuhan individu melainkan kebutuhan kompetensi lulusan di satuan pendidikan yang dirumuskan dalam bentuk SKL (Standar Kompetensi Lulusan). Oleh karenanya semua peserta didik masih diperlakukan sama mulai dari input, proses hingga outputnya bak sebuah pabrik manusia. Kendati di kurikulum terdapat kegiatan ekstra kurikuler, bahkan program peminatan untuk SMA, nampaknya belum bisa mengakomodir dan menumbuh kembangkan berbagai ragam talenta yang dimiliki peserta didik secara optimal.
Jika kita kembali ke firman Tuhan di atas utamanya yang menyangkut kesahihan (validitas), kita mesti berfikir: Sahihkah jika kita menakar berbagai macam jenis bibit tanaman (peserta didik) dengan alat ukur/takaran yang sama? Sahih jugakah tatkala memperlakukan, merawat, memupuk benih (bakat peserta didik) dengan cara yang sama pula?
Ada sebuah anekdot: Di tepi sebuah sungai, berkumpul berbagai jenis binatang. Ada buaya, rusa, angsa, bangau, kuda, sapi, gajah, harimau dan lain-lain. Mereka sedang mengikuti ujian kompetensi. “Agar adil”, kata monyet sang penguji: “Soal harus sama yaitu menyeberang sungai dan yang akan dinilai adalah kecepatan berenang dan sampainya di tempat tujuan”
Untuk direnungkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H