Mohon tunggu...
Suyadi Tjhin
Suyadi Tjhin Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa

Who Moved My Cheese?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hedonisme, Kemakmuran, dan Iman Kristiani

23 Januari 2019   08:41 Diperbarui: 7 Juli 2021   18:55 2509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengertian hedonisme semula berasal dari bahasa Yunani "hedone" yang berarti "kepuasan". Menurut KBBI, Hedonisme adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Sedangkan, Kemakmuran adalah keadaan kehidupan yang terpenuhi baik jasmani maupun rohani.

Menurut Wikipedia, Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.

Baca juga : Rekomendasi Tempat Retret Rohani Kristiani di Kediri, Blitar, dan Yogya

170907083332-hedonisme-5c47cc3712ae9414a3481eb6.jpg
170907083332-hedonisme-5c47cc3712ae9414a3481eb6.jpg
Latar Belakang

Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM.  Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat "apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?"  Hal ini diawali dengan Socrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan.  

Aristippos memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang 'kesenangan' (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. 

Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja---seperti Kaum Aristippos, melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.  Jeremy Bentham adalah pendiri pandangan utilitarian, dia memiliki hubungan erat dengan John Stuart Mill. 

Bentham membagi prinsip manusia kepada tiga hal yakni ascesticism, sympathy, dan anthipathy. Menurut Bentham tugas negara adalah mengarahkan warganya kepada kesenangan, untuk menjamin kesenangan adalah tugas dari negara untuk menggunakan metode hadiah dan hukuman pada warganya.

Baca juga :Sejuta Dua Pertanyaan tentang Kristianitas, Siapkah?

Pandangan Kristen

Kekayaan maupun kemakmuran dapat dikatakan adalah sebuah karunia Tuhan bagi kehidupan manusia, namun demikian menjadi hedonisme merupakan suatu masalah yang lain. Alkitab dengan jelas memberitahukan bahwa bapak-bapak beriman yakni Abraham, Ishak, dan Yakub adalah orang-orang yang kaya secara materi.  

Alkitab secara eksplisit mengatakan mereka sangat kaya berupa ternak, hasil tanah atu perkebunan, emas, dan lain-lain. Selain itu kita juga mendapati Ayub, Salomo juga adalah orang-orang yang kaya atau makmur secara material bahkan dikatakan melebihi siapapun.  

Dengan demikian kita ketahui bahwa Allah tidaklah anti kepada kekayaan atau orang kaya, karena kekayaan atau bumi ini dalam arti kekayaan-nya memang diciptakan dan diserahkan oleh Tuhan untuk manusia kuasai atau mengusahakan-nya (Kej. 1: 28).  

Namun demikian perlu disadari bahwa harta atau kekayaan juga dikuasai oleh iblis, dimana iblis bisa memberikan kemakmuran pada manusia (bdk. Mat. 4: 8-9), bahkan iblis dapat merusak kekayaan manusia misalnya apa yang terjadi pada Ayub.

Baca juga : Hari Raya Pentakosta Umat Kristiani

Walaupun kekayaan atau kemakmuran bukan hanya tidak salah atau diberikan oleh Tuhan, namun manusia juga diberi tanggungjawab dan perlu aware (sadar) bahwa materi atau kekayaan dapat berdampak pada banyak segi dalam kehidupan manusia jika manusia telah menjadikan kekayaan itu sebagai satu-satunya tujuan dalam hidup dan sebagai sebuah kesenangan yang membawa manusia menjadi sombong dan melupakan Tuhan sebagai pemilik atau yang empunya (Owner) atas segala kekayaan yang ada di dunia ini.  

Sebalikya sadar atau tanpa sadar menjadikan kekayaan atau meteri sebagai "tuan (lord)" atas dirinya yang akhirnya bukan manusia yang menguasai materi atau kekayaan yang ada, tetapi justru manusia menjadi dikuasai oleh materi atau kekayaan, atau dalam hal ini yang disebut sebagai Mamon (Mat. 6: 24, Luk. 16: 9, 11, 13).  

Mamon, merupakan transliterasi dari bahasa Aram yaitu mamona. Arti biasa ialah kekayaan atau keuntungan.  Kristus melihat di dalam kata ini sebagai keinginan yang tamak, yang menuntut seluruh hati manusia, dengan demikian mengasingkan orang itu dari Allah (Mat. 6: 19): jika seseorang memiliki "sesuatu", sebenarnya sesuatu itu memiliki dia.  

Bandingkan pandangan mamon dari bahasa Babel yakni mimma, artinya sama sekali atau seluruhnya."  Lihat Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid II Jakarta: OMF, 1996.  Dengan demikian otomatis kakayaan atau kemakmuran dapat mempengaruhi hubungan manusia dengan Allah demikian juga hubungan manusia dengan manusia.  

Walaupun kekayaan adalah pemberian Allah, namun manusia diminta juga bertanggungjawab baik dalam hal memperoleh maupun mengelolah kekayaan yang ada.  Ada beberapa bagian Alkitab secara eksplisit memmberitahukan kepada kita bahwa manusia harus berusaha dan tidak bermalas-malasan (ams. 10: 4; 20: 13).  

Dalam hal mengelolah kekayaan yang anda Alkitab mengajarkan supaya yang kaya dapat memperhatikan yang miskin.  Kaya atau makmur belum tentu identik dengan berkat Allah, miskin belum tentu identik dengan dikutuk Tuhan, karena kaya atau makmur dapat menyebabkan manusia juah dari Allah, dan miskin dikatakan lebih baik dan berbahagia bila mereka mencari Tuhan dan hidup di dalam Tuhan.  

Hedonisme tidaklah sesuai dengan iman Kristen, karena hedonisme mengutamakan kesenangan semata-mata sebagai tujuan utama dalam kehidupan ini.  

Hedonisme dapat dikatakan lahir dari keinginan fisik atau kejatuhan manusia dalam dosa, serta ketidakmampuan manusia hidup untuk mencapai standar atau hukum Allah, demikian juga satu bentuk dari manusia yang menolak Allah sang pencipta (bdk. Rom 1: 18-32) kemudian jatuh dalam kesenangan atau hawa nafsu semata-mata dan dimana Allh membiarkan hal itu terjadi.  

Hedonisme juga satu bentuk kehidupan daging yang bertentangan dengan keinginan Roh (Gal. 5: 16-21).  Tentu kesenangan atau sukacita tidaklah salah, tetapi kesenangan atau sukacita haruslah di dalam Tuhan.

Kesimpulan

Orang Kristen kaya dan makmur tidak salah bahkan merupakan berkat dari Tuhan, tetapi kita harus berhati-hati terhadap hedonisme yang menjadi kesenangan semata-mata sebagai tujuan hidup.  

Hedonisme bertentangan dengan Firman Tuhan karena hedonisme menjadikan kesenangan manusia pribadi sebagai tujuan hidup dengan kata lain semata-mata hidup untuk memuaskan keinginan daging, sehingga manusia lupa dan menolak Tuhan atau merusakkan orang lain itulah yang tidak diperkenan oleh Tuhan.  

Orang Kristen boleh menikmati segala berkat Tuhan berupa kekayaan, tetapi bukan sebagai tujuan utama hanya untuk menyenangkan diri sendiri, memuaskan keinginan diri, memuliakan diri sendiri sebab tujuan yang tertinggi dari kehidupan orang Kristen ialah menyenangkan dan mempermuliakan Allah.  

Dengan demikian hendaknya segala kekayaan dan kemakmuran yang Allah limpahkan kita dapat pakai untuk memuliakan Allah dan kabaikan atau berkat bagi sesama.

Sumber bacaan: 

Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid II . Jakarta: OMF, 1996.

Brown, Colin.  Filsafat & Iman Kristen.  Ed. ke-1. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994.

Copleston, S. J. Frederich.  A History of Philosophy, vol: 2, Medieval Philosophy from Augustine to Duns Scotus. New York: Image Books, 1993.

Clark, Gordon H.  Thales to Dewei.  Dallas, Texas: The Trinity Foundation, 1997.Fremantle, Anne.  The Age of Belief: The Medieval Philosophers. USA, Boston: Houghton Mifflin and The Riverside, 1954.

Scotus, John Duns.  Duns Scotus on The Will and Morality, edit. William A. Frank. Washington, D.C.: The Catholic University of America, 1997.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun