Oleh : Suwondo Yudhistiro[1]
Pendahuluan
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua diNusantara yang eksistensinyamasih tetap bertahan hingga sekarang di tengah-tengah kontestasi dengan pendidikanmodernyang berkiblat pada dunia pendidikan model Barat yang di bawa oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak abad ke-19 M dengan diberlakukannya politik etis.
Keberadaan pesantren yang tetap bertahan di tengah arus modernisasi yang sangat kuatsaat ini, menunjukkan bahwa Pondok Pesantren memiliki nilai-nilai luhur dan bersifat membumi serta memiliki fleksibilitas tinggi seperti sopan santun, penghargaan dan penghormatan terhadap guru/kiai dan keluarganya, penghargaan terhadap keilmuan seseorang, penghargaan terhadap hasil karya ulama-ulama terdahulu, yang tetapdipegang teguh oleh sebagian masyarakat kita.
Pondok pesantren juga telah terbukti memberikan andil yang sangat besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, baik pada masa sebelum kemerdekaan sampai era kemerdekaan Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, model pendidikan pondok pesantren/surau-surau telah membuktikan kiprahnya di pentas nasional dengan melahirkan para pejuang-pejuang kemerdekaan sepertiPangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Nyi Ageng Serang, Tengku Cik Ditiro,K. Zaenal Arifin, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansur, Muhammad Natsir, KH. Agus Salim dan pejuang-pejuang lainnya. Bahkan di Kabupaten Kebumen ini juga terdapat pejuang hebat yang turut serta merebut kemerdekaan yaitu Kiai Sumolangu. Sementara itu dalam kancah keilmuan Internasional, sebagai lembaga penmdidikan pesantren atau surau telah melahirkan ulama-ulama besar dan berpengaruh seperti Syech Nawawi Al-Bantani, Syech Yusuf Al-Makassari Al-Bantani, Syech Abdul Rauf Sinkel, Hamzah Fansuri, Syech Nuruddin Al-Raniri dan ulama lainnya.
Di era kemerdekaan, terdapat banyak tokoh nasional yang juga menimba keilmuan di pesantren selain menimba keilmuan di lembaga pendidikan formal sepertiKH. Idham Kholid, KH. Abdurrahman Wahid, DR. Nurcholis Madjid, KH. Hasyim Muzadi, KH. Said Aqiel Siradj, KH. Masdar Farid Mas’udi, DR. Hidayat Nur Wahid, DR. Din Samsudin dan tokoh-tokoh lainnya.
Meskipun pesantren telah terbukti memberikan kontribusi besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, pondok pesantren tentunya juga masih memiliki beberapa kelemahan yang harus diperbaiki. Mensitir pernyataan DR. KH. Said Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.
Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka jugaakrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharapkan mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.
Institusionalisasi Pendidikan Agama
Pesantren pada saat ini telahmenjelma menjadi sub-kultur sendiri yang melahirkan kaum santri. Karena itu dalam sebuah penelitiannya, Clifort Gertz di Jawa Timur pada tahun 1950-an, dia mengklasifikasikan masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok yaitu masyarakat abangan, santri dan priyayi. Ketiganya memiliki ciri khas tersendiriyang membedakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Dengan semakin banyaknya pondok pesantren di daerah maka akan berpengaruh pula terhadap perubahan cara pandang, pola pikir dan perilaku masyarakat yang bercelupkan Islam. Hal ini secara langsung juga berpengaruh terhadap munculnya lembaga-lembaga pendidikan berbasis keagamaan yang didirikan oleh masyarakat (sekolah swasta) seperti PAUD, RA, MI, MTs, MA, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)dan munculnya sekolah-sekolah negeri yang berbasis keagamaan seperti MIN, MTsN, MAN, STAIN, IAIN dan UIN. Di samping itu di sekolah-sekolah umum juga memasukkan Pendidikan Agama sebagai salah satu materi ajar dalam kurikulum.
Kebijakan nasional tentang pendidikan, mengklasifikasikan pengelolaan sekolah/perguruan tinggi ke dalam dua kamar, yaitu untuksekolah/perguruan tinggi umum berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional sedangkan sekolah/madrasah/perguruan tinggi agama berada di bawah Kementerian Agama.
Karena anggaran, kebijakan dan manajemen kedua kementerian tersebut berbeda maka dalam waktu yang relatif lama hal ini berdampak pada terjadinya kesenjangan antara sekolah yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan sekolah yang dikelola oleh Kementerian Agama. Hal ini juga berdampak luas pada out put dari sekolah yang dikelola oleh dua kementerian tersebut. Meskipun juga banyak kita dapatkan beberapa sekolah yang dikelola oleh masyarakat prestasinya jauh lebih bagus dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri. Di samping itu lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama sebagian besar adalah lembaga pendidikan swasta yang sumber pembiayaannya sebagian besar berasal dari sumbangan masyarakat atau dari BP3, sedangkan sekolah yang menginduk ke Kementerian Pendidikan Nasional sebagian besar adalah sekolah negeri yang operasional pendidikan dan pembangunannya bersumber dari APBN atau APBD. Demikian pula gurunya sebagian besar adalah PNS yang sudah barang tentu digaji oleh negara.
Dampaknya terjadilah kesenjangan yang cukup tajam antara sekolah/madrasah dan guru di bawah dua Kementerian tersebut. Masih terdapat kesenjangan antara guru swasta dengan negeri.Guru negeri memiliki gaji pokok ditambah lagi dengan tunjangan sertifikasi, sementara bagi guru swasta sebagian besar hanya mengandalkan honorarium dari sekolah atau yayasan yang jumlahnya sangat kecil, hanya sekitar Rp. 50.000-250.000. Tentunya hal ini sangat tidak layak untuk penghidupan guru dan keluarganya.
Karena dipandang cukup menjanjikan, saat ini profesi sebagai PNS masih dianggap sebagai profesi paling ideal dan nyaman untuk menjaga kelangsungan hidup, makanya orang berbondong-bondong menjadi PNS, bahkan untuk menjadi PNS mereka rela membayar uang puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru dan dosen termasuk di dalamnya guru dan dosen swasta merupakan kebijakan yang cukup tepat, karena memberikan peluang bagi guru-guru swasta untuk mendapatkan pendapatan yang lebih layak terlebih dengansudah disejajarkannya tunjangan profesi guru swasta dengan guru negeri sebesar Rp. 1,5 juta per bulan.
Meskipun demikian tentunya hal ini masih akan tetap memunculkan kesenjangan, karena guru-guru PNS memiliki gaji pokok dan sertifikasi, sementara itu guru-guru swasta hanya mendapatkan sertifikasi dan gaji dari sekolah atau yayasan yang jumlahnya tidak seberapa besar.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sertifikasi guru merupakan proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Tujuannya untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran, meningkatkan profesionalisme guru, serta mengangkat harkat dan martabat guru. Proses sertifikasi dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah.
Anggaran Pendidikan
Anggaran pendidikan dalam lima tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan yang sangat signifikan, terlebih setelah adanya ketentuan yang mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran sebesar 20% untukpendidikan dalam APBN dan APBD. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan RI, APBN 2005 sampai dengan RAPBN 2010, perkembangan alokasi dan rasio anggaran pendidikan terhadap APBN adalah sebagai berikut :
APBN
Alokasi
Rasio
2005
33,40 triliun
8,1 %
2006
44,11 triliun
10,1 %
2007
53,07 triliun
10,5 %
2008
158,52 triliun
18,5 %
2009
207,41 triliun
20,0 %
2010
209,54 triliun
20,0 %
Kalau dilihat sepintas, peningkatananggaran pendidikan di atas cukup mencengangkan, terjadi kenaikan rasio yang sangat signifikan. Tetapi pertanyaannya adalah apakah rasio kenaikan anggaran tersebut juga berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan rasio pendidikan di Indonesia? Hipotesa ini tentunya masih perlu diuji di lapangan, apakah kenaikan anggaran pendidikan berpengaruh terhadap out put pendidikan atau tidak.
Menurut Jusuf Kalla seperti yang dilansir apakabar.ws, dilihat dari peringkat negara, kualitas pendidikan Indonesia berada di urutan ke-160 dunia dan urutan ke-16 di Asia. Bahkan secara rata-rata, Indonesia masih berada di bawah Vietnam, apalagi jika dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) tanggal 27/5 2010, Komisi VIII DPR RI dengan RektorPTAI , diindikasikan bahwa kenaikan anggaran 20% untuk sektor pendidikan masih belum dirasakan manfaatnya oleh lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama. Hal ini didasari masih melekatnya pandangan bahwa pendidikan yang bisa dibiayai oleh Kemendiknas hanyalah pendidikan di bawah koordinasinya. Sehingga pendidikan yang berada di bawah Kemenag bukanlah menjadi bagian dari anggaran pendidikan dimaksud. Jadi yang sungguh diperlukan adalah adanya kesamaan visi bahwa pendidikan di manapun lembaganya adalah bagian dari pendidikan nasional secara umum.
Komisi VIII DPR RI yang memiliki mitra kerja dengan Kementerian Agama RI senantiasa mendorong agar pendidikan Agama dan keagamaan baik itu madrasah, diniyah maupun pondok pesantren yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah agar mendapat posisi yang layak dan terhormat. Hal ini dilakukan karena peran pendidikan madrasah, diniyah dan pondok pesantren sangat besar dalam rangka turut serta mencerdaskan bangsa dan membangun masyarakat dan bangsa yang bermoral.
Oleh karena itu dalam beberapa kali rapat Komisi VIII DPR RI, isu tentang pendidikan madrasah, diniyah dan pesantren selalu dicuatkan agar mendapatkan alokasi anggaran yang memadahi. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VIII DPR RI dengan Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI pada tanggal 26 Januari 2010 dihasilkan beberapa rekomendasi tentang pendidikan di bawah Kementerian Agama RI termasuk di dalamnya adalah pendidikan diniyah dan pondok pesantren, diantaranya adalah: Komisi VIII DPR RI bersepakat untuk meningkatkan anggaran dan programdalam rangka pengembangan dan pembangunan Pendidikan Diniyah dan Pesantren sebagaimana termaktub di dalam sistem pendidikan nasional, mengembangkan pendidikan kewirausahaan di lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI dan perlunya disusun standarisasi pesantren sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan pesantren secara berkualitas.
Lebih lanjut, dalam RDP Komisi VIII DPR RI dengan Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI yang diselenggarakan pada tanggal 1 Maret 2010 disepakati bersama antara Komisi VIII DPR RI dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam tentang Program Prioritas pada APBN-P Tahun 2010 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, diantarnya adalah: peningkatan mutu sarana pendidikan; peningkatan bantuan bagi satuan pendidikan swasta dan peningkatan anggaran program pendidikan non formal, diniyah dan pesantren.
Peran Pondok Pesantrean
Melihat realitas bahwa masih terjadi kesenjangan antara lembaga pendidikandan guru di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan maka kita harus terus-menerus berupaya untuk mendorong agar tidak lagi ada diskriminasi antara pendidikan umum dengan pendidikan agama, antara guru swasta dengan negeri dan antara guru di bawah Kementerian Agama dengan guru yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional.
Konsep kesetaraan perlu terus menerus kita kampanyekan. Adanya ketentuan bahwa pemerintah maupun pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% tentunya pemanfaatannya juga harusmeliputi pendidikan di Kementerian Agama.
Langkah kongkrit lainnya, pemerintah juga harus mempercepat sertifikasi guru swasta dan negeri agar ada jaminan kesejahteraan bagi guru-guru yang sudah memenuhi kualifikasi untuk mengajar agar kualitas/mutu pendidikan terus-menerus dapat ditingkatkan.
Dan ke depan, kitaberharap agar tidak ada lagi diskiminasi kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan agar pembangunan kualitas sumberdaya manusia bisa merata. Semakin tinggi kualitas sumberdaya manusia suatu bangsa maka akan semakin cepat pula kemajuan bangsa dapat diraih.
Tentunya Pondok Pesantren juga bisa mengambil peranan yang penting untuk turut serta mendorong lahirnya kebijakan pemerintah yang tidak diskriminatif, mendorong peningkatan kualitas guru agama dengan membuka kajian-kajian tentang kandungan kitab kuning atau ilmu-ilmu keagamaan dari sumber lainnya yang selama ini tidak diajarkan di pendidikan formal, pesantren juga dapat menjadi lembaga yang berfungsi untuk mentransformasikan ilmu-ilmu agama kepada guru-guru agama untuk meningkatkan kapasitas keilmuan agama mereka yang akan berpengaruh besar terhadap penguasaan ilmu agama oleh anak didiknya.******
[1] Penulis adalah Ketua DKC GARDA BANGSA Kabupaten Wonosobo 2008-2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H