Mohon tunggu...
suwandi suwee
suwandi suwee Mohon Tunggu... -

I'm a learner

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tirani Korporatokrasi

25 Oktober 2011   00:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:33 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Indonesia, tanah air yang amat kita cintai ini merupakan negara dengan kekayaan alam yang sangat melimpah, Tanah subur yang sangat baik untuk pertanian, hutan tropis kita adalah paru-paru dunia yang mengandung jutaan kubik kayu, lautan yang kaya ikan dan potensi laut lainnya. Berbagai barang tambang strategis juga tertimbun di bawah bumi Indonesia. Begitu kayanya negeri ini sampai-sampai ada yang mempersonifikasikan tanah air kita ini sebagai tanah surga zamrud khatulistiwa atau sebutan-sebutan lain yang mengasosiasikan negeri ini sebagai anugrah luar biasa dari sang pencipta.

Namun, ironisnya kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia saat ini lebih banyak dinikmati justru oleh Negara lain daripada penduduknya sendiri. Padahal dalam konstitusi bangsa ini jelas tercantum bahwasanya “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (pasal 33 ayat 3 UUd 1945). Pasal ini sudah demikian Jelas dan terang benderang bahwa segala bentuk kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia adalah sepenuhnya hak rakyat Indonesia artinya adalah Kesejahteraan rakyat menjadi harga mati yang harus dipenuhi.

Kekayaan alam Indonesia kini sudah bukan lagi milik rakyat, karena swasta asing lah yang kini mendominasi bahkan memonopoli.  Berdasarkan data Neraca Energi 2009 dari 346 juta barrel minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri, 38% diekspor ke negara lain. Namun Ironisnnya pada saat yang sama Indonesia harus mengimpor minyak mentah 129 juta BOE, atau 35% dari total produksi dalam negeri. Ini karena 85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai oleh swasta termasuk asing. Di sisi lain, rakyat terus dibuat sengsara akibat harga minyak terus dinaikkan agar sesuai dengan harga internasional.

Demikian pula dengan barang tambang lainnya seperti emas, perak, tembaga, timah dan nikel juga dimonopoli swasta asing. Di Indonesia untuk industri tambang (gold, coal, nickel dkk) saat ini dikuasai oleh perusahaan perusahaan asing yang kemudian dikenal dengan sebutan the Big four yang terdiri dari: Freeport Indonesia, Newmont Indonesia, International Nickel Indonesia (INCO) dan Kaltim Prima Coal (KPC). Ke empat perusahaan ini mengeruk hasil bumi Indonesia dalam jumlah yang sangat besar.  Sebagai contoh sebut saja Freeport Indonesia yang sejak 1973 telah mengeksploitasi habis-habisan tanah papua, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan ini selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Kemudian Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung sampai saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041. selama seperempat abad, kekayaan Indonesia yang sudah di gotong keluar negeri kurang lebih 1620 ton emas, 3420 ton perak, dan 162 juta ton tembaga. Sekian ton emas itu kalau dirupiahkan dengan harga sekarang bernilai lebih dari 400 triliun rupiah. Jumlah yang sangat fantastis, bayangkan jika keuntungan yang di dapat dari hasil eksploitasi tambang Freeport sebagian dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan. nominal tersebut tentu akan sangat membantu.

Namun yang ada justru sebuah ironi dan ironi, Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport, setiap orang pasti akan menilai betapa bodohnya perjanjian yang pemimpin-pemimpin bangsa ini ratifikasi dengan korporasi-korporasi asing tersebut. Bangsa kita yang notabene adalah tuan rumah sudah puas hanya dengan bagian yang sangat kecil. Tidakkah kita sadar bangsa ini sudah dikangkangi secara terang-terangan oleh kapitalisme korporasi asing tersebut.

Mereka adalah para perampok asing yang merampas hasil kekayaan alam Indonesia dari rakyat Indonesia. Mereka merampok minyak, gas, emas, perak, batubara, timah, perkebunan, dan sebagainya. Jumlah yang mereka rampas diperkirakan antara Rp 2.000-3.000 trilyun/tahun. Jumlah ini jauh lebih besar dari jumlah kerugian negara akibat korupsi sekalipun yang “hanya” 400 trilyun/tahun. Namun kemudian isu yang begitu fatal ini tidak pernah terekspose, seolah-olah sengaja ditutup-tutupi. Tidakkah kita sadar kawan, bangsa kita pada hakikatnya masih terjajah. Namun bedanya penjajahan yang muncul pada era ini jauh lebih terorganisir sehingga kita sendiri bahkan tidak menyadarinya. Betapa bangsa ini begitu kompromis dengan penindasan yang jelas-jelas di depan mata. Satu kata yang menjadi harga mati adalah kembalikan asset bangsa ini kepada tuannya yakni Rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun