Mohon tunggu...
Sutriyono Robert
Sutriyono Robert Mohon Tunggu... -

Penulis lepas di Purwokerto. Mendampingi anak-anak muda belajar menulis. Selain itu juga mendongeng.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perang Kembang

21 Oktober 2013   11:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:14 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia Wayang Purwa, kita mengenal satu raksasa yang bernama Cakil. Berbeda dengan raksasa di dunia wayang pada umumnya yang berbadan tinggi besar, Cakil berbadan lebih kecil. Tubuhnya kerempeng, meskipun tidak seramping citra wayang ksatria.

Cakil memiliki dagu bawah menonjol panjang ke depan. Dagu itu sedikit terangkat sehingga memberikan kesan congkak. Citra itu pula yang juga digunakan kartunis Panji Koming Dwi Koendoro pada salah satu tokohnya. Pejabat di kerajaan dengan dagu bawah maju dan mendongak angkuh serta selalu mau menang sendiri.

Selain soal dagu, hal menonjol lain dari Cakil adalah suaranya yang seperti tercekik. Dalam bahasa Jawa diistilahkan sebagai cempreng (bunyi ‘e’ mengikuti kata genteng). Suara Cakil ini sangat mengganggu. Ketika ia muncul dan berhadapan dengan Ksatria, suaranya terus menerocos dengan mampat. Berbeda benar dengan suara Ksatria yang tenang dengan kecepatan yang relatife lambat.

Cakil merupakan bagian dari Buta Prepat atau Raksasa Empat Sekawan. Para raksasa ini mewakili empat nafsu manusia, yaitu amarah, aluamah, sufiah, dan mutmainah.

Tokoh Cakil akan muncul pada pertengahan pagelaran wayang. Cakil berperang satu lawan satu dengan Ksatria. Perang itu dinamakan sebagai Perang Kembang. Uniknya, setiap kali perang pasti Cakil kalah hingga mati. Kematian Cakil terjadi karena keris yang ia pakai sebagai senjata menusuk tubuhnya sendiri. Konon itu dipahami sebagai sebuah pesan, siapapun yang sombong, serakah dan dikuasai nafsu angkara akan mati oleh kesombongan, keserakahan dan nafsu angkaranya sendiri.

Di panggung berita nasional, kita dikejutkan oleh sebentuk keserakahan dan keangkaraan yang ditunjukkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tangkap tangan pada beberapa orang termasuk Akil. Uang senilai lebih dari tiga milar rupiah menjadi bukti di TKP.

Kejadian ini tentu amat menusuk perasaan masyarakat. Seorang yang mestinya menjadi panglima utama penegak hukum di Negara ini justru mengingkari 180 derajat tugas dan tanggung-jawabnya. Sejauh ini Akil masih mengingkari. Akan tetapi toh KPK telah menetapkan Akil sebagai tersangka. Hal itu tentu menunjukkan kuatnya bukti-bukti yang telah dikantongi KPK.

Meksipun menunjukkan ada kesamaan bunyi, Akil tentu bukanlah Cakil. Akil ada dalam alam nyata, sementara Cakil ada dalam dunia pewayangan. Akil berbadan tegap, bersuara berat berwibawa, sementara Cakil berbadan kerempeng dan bersuara cempreng.Wajah Akil juga teduh dan halus, sementara Cakil kasar berdagu bawah menonjol ke depan.

Akan tetapi mungkin justru di situlah kemampuan lebih manusia. Ia mampu membungkus apa yang durjana dan angkara dalam raga yang halus lembut dan penuh wibawa. Pada sosok Cakil, ia tampil apa adanya. Durjana sikap dan perangainya, demikian jugalah tampilan raganya. Dalam hal ini Cakil jujur, sementara manusia bisa munafik.

Pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya karena beratnya tekanan, manusia munafik akan memperlihatkan keasliannya. Akil seperti memperlihatkan perangai Cakil ketika ditanya wartawan seputar hukuman potong jari untuk koruptor yang pernah ia usulkan. Tangan Akil melayang ringan menampar penanya.

Bagi para dalang, perang kembang adalah kesempatan penting untuk menunjukkan ketrampilannya memainkan wayang. Pada kesempatan itu, dalang memainkan Cakil dengan tarian lincah brangasan. Melompat kesana kemari. Tangannya merentang menari-nari dengan angkuh ditingkah suara melengking-lengking. Cakil berusaha menendang, menampar dan menabrak Ksatria dengan kerisnya. Akan tetapi senjatanya itulah yang lantas memungkasinya.

Bagi Akil, gagasan potong jari tangan bagi koruptor seperti visa untuk menduduki kursi Ketua MK. Akil dinilai bersih dan pantas memegang tampuk pimpinan MK. Akan tetapi seperti keris Cakil, sekarang senjata ampuh Akil seperti hendak menusuk dirinya. Bila ini terjadi, Akil sungguh-sungguh bernasib seperti Cakil.

Dalam dunia peradilan kita, perang kembang mungkin sedang dimulai. Ksatria-ksatria peradilan sedang berperang melawan cakil-cakil yang bermunculan dari segenap penjuru. Kita tentu berharap, para cakil terbunuh oleh senjatanya sendiri. Hanya saja kita juga perlu ingat, dalam dunia pewayangan, perang kembang barulah perang permulaan. Perang yang sesungguhnya berlangsung selepas perang kembang selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun