Mohon tunggu...
Sutriyadi
Sutriyadi Mohon Tunggu... Penulis - Pengangguran

Sekali hidup hidup sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasib Permainan Tradisional

15 Maret 2021   14:29 Diperbarui: 15 Maret 2021   14:53 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teknologi dan informasi kian menguasai setiap aktivitas manusia. Kecanggihannya dapat memudahkan siapa pun yang memerlukan jasanya. Kedatangan mereka disambut dengan tangan terbuka. Tak terkecuali, anak-anak yang masih belum mampu berpikir jauh dan butuh kontrol orang tua masih tetap dapat menikmati teknologi mutakhir ini dengan bebas.

Namun, bersamaan dengan semakin luasnya jangkauan teknologi, ada sebuah budaya yang kian terkikis. Sebut saja permainan tradisional yang dulunya adalah sebuah aktivitas yang memacu semangat berinteraksi antaranak-anak kini disekat oleh pendatang baru. Namanya telepon genggam dan internet. Benda mungil dan energi atau sinyal tak kasat mata ini telah menggeser dominasi peninggalan leluhur kita.

Ciri Khas Permainan Tradisional

Tentu ada banyak jenis dan ciri permainan tradisional, namun paling tidak, sedikit yang penulis sebutkan dapat mewakili yang tak tertulis. Diantaranya, luring. Permainan tradisional adalah sebuah aktivitas yang hanya bisa dilakukan secara langsung tanpa bantuan teknologi dan internet. Siapa pun yang ingin terlibat dalam permainan ini harus bertatap muka secara langsung dengan rekan sepermainan.

Dilakukan dengan bersama-sama. Tidak sendirian. Harus ada kawan atau lawan. Selanjutnya alat mainnya mudah didapat sebab biasanya menggunakan bahan yang ada di sekitar kita dan murah jika perlu dibeli bahkan ada pula yang tidak memerlukan alat-alat apa pun. Seperti petak umpet dan sebagainya.

Bersifat musiman. Artinya permainan tradisional hanya eksis pada musimnya. Jika di daerah atau kampung tertentu sedang musim kelereng maka satu kampung anak-anak akan bermain kelereng. 

Tidak memerlukan wasit. Setiap pemain merangkap menjadi wasit yang saling mengawasi dan menjatuhkan keputusan serta dipatuhi bersama.

Tidak ada peraturan yang baku dan tertulis. Peraturan biasanya turun-temurun dari mulut ke mulut yang dilanjutkan oleh setiap generasi ke generasi di wilayah itu.

Taksonomik (memiliki kelas). Tingkatan atau kelas tidak diukur oleh usia. Namun diukur oleh kehebatan setiap individu. Mereka yang dikenal di wilayah itu sebagai pemain yang hebat akan ditolak untuk bergabung (bermain) di kelas yang lebih rendah atau tingkat kehebatannya rendah. Anak-anak biasanya memilih lawan seimbang, jika terpaksa harus bermain dengan yang lebih hebat biasanya anak-anak yang hebat tersebut diberi semacam ketentuan tambahan agar tetap sebanding.

Terakhir, tidak universal. Tata cara serta ketentuan permainan biasanya berbeda dengan daerah lain walaupun sama-sama bermain kelereng, umpama. Sehingga sangat relevan sekali jika teori atavistik Granville Stanley Hall psikolog Amerika Serikat menyebut bahwa jika bentuk dan cara bermain permainan tradisionalnya sama maka dipastikan mereka berasal dari nenek moyang yang sama meski beda negara sekali pun.

Memiliki Nilai Luhur

Bukan asal karang, para peneliti sepakat bahwa permainan tradisional memiliki nilai-nilai luhur. Nilai itu akan kita rasakan setelah dewasa. Sportivitas tanpa batas yang dijunjung di sepanjang permainan akan melekat dan menjadi karakter tersendiri di setiap anak-anak dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mau dikenal curang sebab akan dikucilkan dari komunitasnya dan sulit mencari teman.

Kompetitif dan semangat untuk menang. Setelah dewasa jika kita ingat masa kecil dulu bahwa apa yang kita mainkan bersama anak-anak lainnya adalah barang yang mungkin bisa kita sebut tidak berharga bagi orang dewasa. Namun bagi kita (kecil) dulu hal itu sangat-sangat pantas untuk diperjuangkan. Kalah malu, oleh karena itu anak-anak biasanya sering berlatih (otodidak) dan termotivasi agar tidak mudah kalah.

Nilai solidaritas, gotong royong  dan ngalah. Kesetiakawanan, kebersamaan dan bahu-membahu telah melekat pada setiap bentuk permainan tradisional. Coba bandingkan dengan permainan modern yang sedang digandrungi oleh anak-anak milenial. Misalnya game online free fire memang dapat dilakukan dengan kerja sama atau kelompok. Namun karena tidak tatap muka secara langsung antar kawan, itulah yang menyebabkan mereka lebih mementingkan diri sendiri dari pada perkawanan.

Kritis dan interaktif. Nilai itulah yang dapat menunjang anak lebih cepat tumbuh berkembang dan bahkan menyehatkan. Anak-anak langsung dihadapkan dengan masalah dan cara memecahkannya sendiri tanpa bantuan orang tua. Memiliki mental yang kokoh sebab mereka tidak memiliki ruang untuk melempar batu sembunyi tangan. Bahkan menurut penelitian, bermain layang-layang dapat menambah kecepatan anak-anak berlari. Keren sekali bukan.

Terkikis dan Pentingnya untuk Dilestarikan

Miris melihat anak-anak saat ini. Bagaimana tidak, mereka individualis dan tidak peduli dengan sosial dan lingkungan di sekitarnya. Mari kita lihat anak-anak kita saat bermain game online, sendirian tanpa bisa diganggu apalagi disapa dan tak kenal waktu yang lebih menyebalkan permainan mereka harus mengeluarkan uang. Maka dari itu sebagai langkah peduli terhadap generasi yang berbudaya alangkah baiknya permainan zaman old dihidupkan kembali.

Tentu tantangan ini tidak mudah. Perlu adanya campur tangan dan sinergisitas antarelemen. Orang tua, pemerintah, pemuda dan bahkan pendidikan agar warisan nenek moyang ini tetap eksis di tengah-tengah lajunya perkembangan zaman.

Orang tua sebagai ujung tombak keberhasilan generasi berkarakter Indonesia perlu proaktif mengarahkan dan membimbing anak-anak agar lebih mencintai budaya leluhurnya. 

Pemerintah hadir dengan otoritas yang lebih luas jangkauannya dapat membantu dengan kebijakan-kebijakan yang menyentuh ke wilayah pelestarian permainan tradisional. Melalui program-program di kementerian dan bekerja sama dengan komunitas.

Pemuda sebagai pemegang budaya antargenerasi turut meluruskan adik-adiknya dengan menghidupkan kembali atau mem-viral-kan permainan tradisional yang mereka pernah ketahui saat masih kecil dulu. Melakukan langkah kecil dengan membangun komunitas atau menciptakan ruang bermain. Sebagai wujud kepedulian terhadap sejarah.

Pendidikan sebagai lembaga yang memiliki ruang terukur dapat melibatkan atau mengaitkan setiap mata pelajaran dengan konteks yang ada di sekitar masyarakat setempat. 

Olahraga tidak hanya yang masa kini akan tetapi juga dengan olahraga tradisional. Permainan juga demikian. Di sinilah jika hal ini dapat diwujudkan di tengah-tengah kita akan menjadi nilai tersendiri yang tidak dimiliki oleh negara lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun