Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan sebuah tradisi yang memberi kesan bahwa mencintai Nabi butuh biaya mahal. Bagi orang kaya yang sering merayakan ulang tahun mereka dengan berbagai model seperti memberi hadiah mobil, makan malam di restoran mewah dan sebagainya, jika dibandingkan dua hal tersebut tentu biaya mengadakan Maulid sangatlah murah. Sebab kita melihat dari sudut pandang jendela orang kaya.
Persoalannya di banyak kasus orang-orang yang merayakan kelahiran Nabi Muhammad mayoritas dilakukan oleh masyarakat desa kelas bawah yang notabene ekonominya pas-pasan. Kalau kita telisik lebih jauh, pasti kita temukan di antara mereka yang 'ngutang/gadai' agar tetap eksis di bulan Maulid.
Lalu apa motivasi mereka merayakan Maulid dengan berbagai macam atribut hingga menelan biaya yang cukup anu. Apakah benar bentuk syukur dan cinta mereka kepada Nabi Muhammad? Atau agar terhindar dari mulut tetangga? Atau hanya sekedar ikut-ikutan? Atau agar bisa sama-sama merayakan?
Saya tidak mempersoalkan tahapan atau bacaan Maulid yang diisi dengan selawat sebab hal itu sangat baik tidak ada yang bertentangan dengan pedoman agama.
Lalu titik kesan yang kurang pas bagi saya adalah cara mereka menyajikan 'sedekah' yang berlebihan. Sehingga biaya mahal untuk menyiapkan makanan tidak sebanding dengan harapan, yang kadang hanya sebatas dilihat oleh para undangan sehingga meninggalkan sisa makanan pun jika dibawa pulang belum tentu dapat dihabiskan karena saking banyaknya makanan yang diantar ke rumah oleh saudara dan tetangga. Yang jalan terakhirnya, banyak makanan yang basi lalu dibuang (mubadzir).
Banyak orang yang takut untuk mengritisi sebuah tradisi, mereka takut dikucilkan dari kampung mereka. Dianggap sesat dan bahkan dikafirkan. Namun bagi saya mengkritik itu baik, yang tidak baik adalah mencela apalagi menghina. Setiap peradaban lahir di tengah-tengah persetujuan dan penolakan (pro dan kontra) oleh sebab itu alamiah dan tidak perlu menciutkan diri.
Di sebagian daerah perayaan Maulid hanya ala kadarnya, membawa buah-buahan dan makanan secukupnya lalu dikumpulkan di masjid atau musala. Menurut saya yang demikian itu pas dengan dosis kesederhanaan yang titik beratnya pada selawat.
Jadi, mereka yang datang ke masjid memang untuk merayakan Maulid dengan berselawat bersama, dan syukur-syukur jika dapat berkat-nya. Artinya mereka mendapat makanan atau menyiapkan makanan seadanya namun tetap dinikmati dan dihabiskan.
Namun ada juga sebagian daerah yang mengadakan acara Maulid dengan saling berkirim-kiriman makanan ke tetangga dan sanak famili dan mengadakan Maulid di rumah masing-masing bergiliran atau bergantian dalam satu hari di hari H.
Semua makanan untuk tamu harus disiapkan oleh si pemilik rumah. Sebab, mereka yang tidak mampu mengadakan acara Maulid di rumahnya sendiri dikucilkan atau dianggap tidak merayakan Maulid. Dan itu telah menjadi tradisi yang mengikat.