Fenomena Alfatekah yang sempat viral di media sosial sesungguhnya dalam kebiasaan orang Madura sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Kesalahan pengucapan atau pelafalan masih banyak ditemukan sampai saat ini. Hal itu dapat kita temui di berbagai pelosok daerah termasuk di Pulau Madura. Logat 'keseleo' didominasi oleh kaum yang sudah tua seperti kakek dan nenek kita. Sehingga berangkat dari itu Khoirul Anwar yang merupakan seorang penyair muda asal Madura pernah menyinggung kebiasaan itu. Dalam syair lagunya "Oreng Madureh" ia mengatakan bahwa:
"Orang Madureh kabennyaan lakar ken ge-oge
Nyamah teng-genteng bik reng Madureh ebe-obe"
Kira-kira arti dalam bahasa Indonesianya
"Orang Madura banyak yang ugal-ugalan
Nama bagus-bagus oleh orang Madura diubah-ubah"
Contoh kasus kesalahan pelafalan pada lirik berikutnya adalah
Abdullah dipanggil Dulla
Astaghfirullah menjadi  Poraalla
Mungkar Nakir dibilang Benakeron
Penyair hampir menyebutkan semua kesalahan-kesalahan orang Madura dalam melafalkan bahasa Arab. Hanya saja penyair mempertimbangkan eksistensi dari sebuah lagu atau syair yang ia ciptakan.
Setelah lagu tersebut mulai populer di kalangan orang Madura yaitu pada tahun 2010-an. Kemudian muncul berbagai respon dari masyarakat Pulau Garam. Mereka merasa tersinggung. Ketersinggungan ini bukan berangkat karena tuduhan adanya kesalahan pengucapan, akan tetapi karena tuduhan ge-oge oleh sang penyair terhadap orang Madura.
Mewakili keresahan masyarakat Madura, kemudian muncullah penyair dari tanah 'carok' seperti Syafiii Robetly. Untuk menepis tuduhan ge-oge, Syafii kemudian menciptakan sebuah syair lagu tandingan sebagai jawaban dari lagu "Oreng Madureh" ia memeberi judul "Oreng Madureh tak Ge-oge".
Dalam lirik lagunya Syafii mengakui bahwa banyak orang Madura mengubah-ubah nama atau bahasa Arab. Meski demikian ia mengaggap orang Madura tidaklah sampai ge-oge. Ia juga mengecam terhadap Khoirul Anwar yang menuduh orang Madura ge-oge.
Syafii juga menambahkan dalam potongan syairnya bahwa orang Madura terdahulu memang begitu pengucapannya tapi itu benar-benar dilakukan atau keluar dari lubuk hatinya sehinggga mereka banyak yang menjadi orang-orang keramat/mulia.
Kemudian Syafii memberikan perbandingan di bait berikutnya antara sesepuh orang Madura dengan pemuda Madura saat ini. Pemuda saat ini tidak akan bisa seperti mereka (sesepuh terdahulu) sebab kaum milenial sekarang matanya sampai mendelik melihat bokong dan rok mini.
Sekilas dari interpretasi yang juga kajian tesis S2 saya, kita kesampingkan soal Alfatekah sebab Pak Jokowi seumuran orang tua kita yang logatnya masih kental dengan ke-Jawa-annya. Sehingga tidak perlu dipersoalkan. Sebagai anak muda kita tetap pada cara bagaimana kita menghargai orang tua terlebih beliau pemimpin kita
Gambar: Mojok.co
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H