Mohon tunggu...
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Budiharto Mohon Tunggu... lainnya -

Membaca dunia, lalu menulis dan melukiskan hidup:\r\n\r\nsutrisno.budiharto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Mafioso di Balik Freddy Budiman, Siapa Dalang Sesungguhnya?

30 Juli 2016   18:39 Diperbarui: 30 Juli 2016   18:46 1633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika membaca tulisan Haris Azhar yang berjudul “Cerita Busuk dari seorang Bandit: Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusakambangan”, jadi terbayang seperti menonton film-film mafioso di bioskop. Kenapa? Dalam jaringan narkoba yang dikendalikan Freddy Budiman terdapat aparat yang disebut ikut terlibat bermain. Bahkan, ada perwira berbintang dua yang memberikan pengawalan khusus ketika Freddy Budiman mengangkut narkoba selundupannya.  Pertanyaannya, siapa sesungguhnya mafioso di balik Freddy Budiman dan kenapa pengakuan Freddy Budiman baru diungkap di tengah proses eksekusi mati?

Kisah Jaringan Narkoba Freddy Budiman

Seperti diberitakan berbaga media, kasus Freddy Budiman terbongkar ketika ia sedang berusaha menyelundupkan 1,4 juta butir pil ekstasi dan tertangkap aparat. Upaya penyelundupan 1,4 juta butir pil ekstasi itu tentuya tidak bisa dilakukan mendadak atau tiba-tiba. Setidaknya, membutuhkan waktu, perencanaan matang dan jaringan.

Dari proses sidang terungkap bahwa upaya penyelundupan berawal dari rapat di sebuah sel penjara Freddy di LP Cipinang pada 2012. Ada tiga geng mafia narkoba dalam pertemuan jahat itu, yaitu: Chandra Halim (statusnya adalah terpidana seumur hidup dalam kasus narkoba), Freddy Budiman (statusnya ketika itu adalah terpidana 9 tahun penjara dalam kasus narkoba), dan Hani Sapta Wibowo (statusnya terpidana dalam kasus narkoba).

Setelah pertemuan itu, Chandra mengontak temannya yang menjadi produsen ekstasi di China, Wang Chang Shu. Awalnya, Chandra meminta temannya mengirimkan 500 ribu butir pil ekstasi yang disarukan dalam akuarium. Namun, paket yang dikirim membengkak menjadi 1,4 juta butir. Seluruh biaya pengurusan impor ditanggung Freddy, yang memiliki jaringan.

Dalam jaringan Freddy Budiman tersebut,  Hani diminta untuk mengkondisikan pengiriman paket. Freddy  juga melibatkan Ahmadi, temannya ketika menjadi pencopet dan pengedar narkoba di Senen, untuk menjadi pengedar. Dalam bisnis itu, Chandra dan Freddy tidak keluar uang banyak karena baru bisa mendapatkan uang setelah narkoba dipsarkan ke masyarakat. Freddy hanya mengeluarkan uang belasan juta rupiah saja untuk mempersiapkan proses impor ke Indonesia.

Kontainer berisi akuarium yang di sela-selanya ada paket ekstasi itu akhirnya sampai ke Tanjung Priok. Aparat yang mengendus membiarkan kiriman itu ke luar pelabuhan hingga tiba di gudang di Jalan Kayu Besar Dalam, Cengkareng, Jakarta Barat. Setelah bongkar muat selesai, komplotan itu dibekuk dan  diseret ke pengadilan.

Dari hasil persidangan terdapat beberapa orang yang dijatuhi hukuman, yaitu: 1. Freddy Budiman (hukumannya semula 9 tahun penjara jadi dijatuhi hukuman mati); 2. Ahmadi (divonis hukuman mati); 3. Chandra Halim (hukumannya seumur seumur hidup menjadi divonis hukuman mati); 4. Teja Haryono (divonis hukuman mati); 5. Hani Sapto Pribowo (dipenjara seumur hidup); 6. Abdul Syukur (dipenjara seumur hidup); 7. Muhtar (dipenjara seumur hidup); 8. Anggota TNI Serma Supriadi (divonis 7 tahun penjara dan telah dipecat).

Setelah mengungkap kasus itu, aparat juga mengendus adanya produksi ekstasi di kamar penjara Freddy di LP Cipinang. Setelah digrebek aparat, Freddy akhirnya dipindahkan ke LP Nusakambangan. Kendati demikian, Freddy tetap masih bisa berkomunikasi dengan jaringannya di luar penjara. Bermodal BlackBerry, ia mengontak kurang lebih 10 orang temannya untuk mengedarkan narkoba dari paket 1 ons sabu hingga pengiriman paket 50 ribu butir pil ekstasi.

Keluhan Freddy Budiman kepada Haris Azhar

Selama berada di Nusakambangan inilah, Freddy Budiman bertemu dengan Haris Azhar dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Ketika itu, Haris Azhar  sedang berpartisipasi memberikan pendidikan HAM kepada masyarakat di masa kampanye Pilpres tahun 2014. Saat keduanya bertemu, Freddy Budiman sempat memaparkan keluh kesah tetang keterlibatan aparat dalam jaringannya. Keluh kesah Freddy Budiman pada tahun 2014 tersebut akhirnya dutulis Haris Azhar dan kemudian beredar luas di tengah masyarakat menjelang pelaksanaan eksekusi mati Freddy Budiman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun