Munculnya kasus pelecehan seksual maupun kekerasan fisik terhadap siswa sekolah, memang bisa menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua murid. Sebaliknya, munculnya kasus pemidanaan guru dewasa ini juga menimbulkan dilema cukup pelik dalam dunia pendidikan di Indonesia karena bisa membuat guru jadi takut mengajar siswanya. Karena itu, langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam menggalakkan “Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah”, pantas didukung oleh kalangan orang tua dan semua pihak demi perbaikan dunia pendidikan di Indonesia. Kenapa “Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah” perlu didukung semua pihak? Berikut ulasan Saya.
Antara Guru Nakal dan Siswa Nakal
Guru yang baik, pasti ingin selalu mendorong siswa-siswi di sekolahnya bisa tumbuh menjadi generasi yang cerdas dan beradab. Demikian juga para orang tua siswa, pasti sangat memimpikan anaknya bisa tumbuh menjadi anak yang pintar agar masa depan hidupnya lebih baik. Namun untuk mewujudkan impian para guru dan para orang tua murid tersebut, tampaknya tidak semudah membalik telapak tangan. Kenapa tidak semudah membalik telapak tangan? Dari ribuan guru yang mengajar di berbagai pelosok Indonesia, tidak semuanya tergolong guru yang baik. Sebaliknya, diantara jutaan anak sekolah di Indonesia, tidak semuanya tergolong anak sekolah yang baik. Artinya, di antara ribuan guru, ada juga guru yang nakal. Demkian pula sebaliknya, di antara juataan anak sekolah, ada juga anak yang nakal.
Faktanya, di antara guru sekolah ternyata ada yang tega melakukan tindak pelecehan seksual terhadap anak didiknya sendiri maupun tindak kekerasan fisik lainnya. Tak aneh, dia antara guru sekolah, kadang ada yang sampai dijebloskan ke penjara oleh pihak berwajib. Salah satu contohnya adalah oknum guru berinisial TH (44) yang diamankan Satuan Reskrim Polresta Medan karena dituduh melakukan pencabulan terhadap empat orang pelajar Sekolah Dasar. Celakanya, munculnya kasus pemidanaan guru belakangan ini, akhirnya menimbulkan dilema cukup pelik di dunia pendidikan. Masalahnya, di antara kasus pemidanaan guru yang muncul dewasa ini, kadang hanya dilatarbelakangi oleh masalah sepele. Contohnya seperti dialami Nurmayani, guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 yang dipidanakan gara-gara mencubit seorang murid warga Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kasus serupa juga dialami oleh Sambudi, guru SMP di Sidoarjo, yang dipidanakan hanya karena mencubit seorang muridnya yang anak tentara. Belakangan, anak tentara itu akhirnya ditolak menjadi siswa di sekolah lain.
Dilema Pemidanaan Guru dan Dilema Anak Nakal
Munculnya kasus-kasus pemidanaan guru karena masalah sepele belakangan ini, akhirnya membuat Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) merasa prihatin. Pelaksana Tugas Ketua Umum (Plt Ketum) PB PGRI, Unifah Rasidi, menilai munculnya kasus pemidanaan guru tersebut mencerminkan adanya perubahan nilai di tengah masyarakat. Menurut Unifah Rasidi, ada pemahaman yang salah terhadap aturan sekolah. Akibat munculnya kasus-kasus pemdanaan guru terebut, menurut Unifah Rasidi, membuat para guru dicekam rasa ketakutan dalam melaksanakan tugas edukatifnya. Sekolah bukan lagi menjadi ruang yang nyaman bagi para guru dalam mendidik, menanamkan budi pekerti dan membentuk karakter anak, termasuk menerapkan nila-nilai disiplin.
Pertanyaan yang muncul kemudian, kalau para guru takut menjalankan tugas edukatifnya, siapa yang akan rugi? Haruskah anak didik yang nakal tetap dibiarkan nakal karena guru takut memberikan sanksi atau peringatan? Haruskan anak didik yang bodoh tetap dibiarkan bodoh karena guru takut memberikan sanksi atau peringatan kepada siswa yang malas belajar? Kalau sampai anak didik sekolah dibirkan nakal dan bodoh oleh para guru, yang rugi bukan hanya orang tua murid, tapi Bangsa Indonesia akan mengalami kerugian lebih besar lagi karena generasi mudanya tidak bisa tumbuh dengan daya saing yang kuat.
Pentingnya Gerakan Antar Sekolah dan Komunikasi dengan Guru
Dengan dasar pemikiran itulah, maka langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam menggalakkan “Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah”, pantas mendapat dukungan dari semua pihak. Karena itu, ketika anak saya mengikuti proses pendaftaran siswa baru SMP tahun pelajaran 2016/2017 pada Juni lalu, saya ikut mengantarkan ke sekolah dan melakukan komunikasi langsung dengan para guru. Setelah anak Saya diterima sebagai siswa baru, tentunya Saya juga ikut mendukung “Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah”.
Saya sependapat dengan ajakan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga Kemendikbud bahwa orang tua harus aktif sebagai mitra guru dalam menjalankan proses pendidikan anak. Sebab, pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab guru, tetapi juga menjadi tanggung jawab orang tua, sebagai pendidik utama di lingkungan keluarga sendiri. Melalui “Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah” itu, setidaknya Saya bisa membangun interaksi dan komunikasi dengan guru dan orang tua siswa lainnya. Dengan langkah awal yang baik ini, setidaknya Saya akan dapat bertukar nomor telepon atau alamat rumah dengan para guru di sekolah. Dengan cara ini, Saya bisa lebih gampang dalam memantau perkembangan belajar anak Saya sendiri di sekolahnya nanti.
Paling tidak, kalau anak Saya berbuat nakal atau menghadapi kendala dalam belajar di sekolah, Saya bisa mendapatkan informasi yang tepat demi perbaikan anak Saya sendiri. Ketika berkomunikasi dengan guru, tentunya Saya akan menyampaikan amanat bahwa selama mengikuti proes pembelajaran di sekolah, maka anak Saya wajib mengikuti semua aturan yang diberlakukan sekolah dan guru memiliki wewenang penuh dalam menjalan tugas edukatifnya. Harapannya, sekolah harus menjadi ruang yang nyaman bagi para guru dalam menjalankan tugasnya; yakni mendidik, menanamkan budi pekerti dan membentuk karakter anak, termasuk menerapkan nila-nilai disiplin. Melalui kerjasama antara guru dan orang tua semacam itu, setidaknya perkembangan belajar anak Saya bisa terpantau dengan baik, termasuk bisa mengetahui hoby dan bakat anak Saya sendiri. Ketika anak Saya menemui kendala, Saya bisa membantu memperbaiki dari rumah. Sehingga tidak pernah ada salah paham antara guru dengan orang tua.
Kerjasama semacam ini sudah saya lakukan ketika anak Saya masih Sekolah Dasar. Hasilnya, anak Saya bisa lulus Sekolah Dasar dengan predikat juara pertama. Yang membanggakan, hoby menyanyi anak Saya juga bisa diketahui sejak dini. Seperti ini contoh penampilan anak Saya ketika menynayi di panggung perpisahan sekolah. Walau tak sehebat artis ternama, keberanian anak Saya tampil di panggung, setidaknya memuat nilai postif yang bisa mendukung proses pendidikannya selanjutnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H