Mohon tunggu...
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Budiharto Mohon Tunggu... lainnya -

Membaca dunia, lalu menulis dan melukiskan hidup:\r\n\r\nsutrisno.budiharto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soal Harga Gas: Inikah Bentuk "Penindasan Demokratis"?

4 Januari 2014   21:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:09 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan dalih rugi dan rekomendasi dari BPK, Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 Kg. Suara masyarakat pun seragam; menjerit bagai tercekik. Sementara porsi penjualan gas luar negeri tetap tinggi, sedang penjualan gas dalam negeri malah rendah. Seperti inikah bentuk ‘penindasan’ yang “demokratis” di negeri ini?

Katanya, pemerintah menyiapkan subsidi untuk gas. Subsdi terhadap elpiji tabung 3 Kg untuk tahun 2012 sebesar Rp 31,5 triliun dan tahun 2014 sebesar Rp 36,7 triliun. Namun, masyarakat belum dapat mengetahui dengan jelas bagaimana pertanggungjawaban uang subsidi tersebut. Sebaliknya, di tengah himpitan ekonomi dewasa ini, malah ada kenaikan harga gas elpiji 12 Kg.

Wajar saja jika Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, mencium bau kurang sedap terkait kenaikan elpiji ini. Menurut dia, Pertamina dan DPR telah kehilangaan rasa perikemanusian karena hanya sibuk mencari keuntungaan. DPR seharusnya kompak dengan segera menolak kenaikan harga elpiji, sebelum ada hasil audit investigasi terhadap Pertamina yang berkaitan dengan subsidi elpiji. "Tercium baunya untuk uang politik menjelang Pemilu 2014," tegas Uchok seperti yang dilansir rmol.co.

Uchok Sky Khadafi yakin sudah ada pra kondisi untuk menaikkan harga gas elpiji 12 Kg.

1.Pertama,  pemerintah tidak pernah mau mengubah porsi penjualan gas antara kebutuhaan luar negeri dengan dalam negeri. Pemerintah tetap mempertahankan porsi penjualan gas luar negeri tetap tinggi, dan dalam negeri rendah.

2.Kedua, kenaikan harga gas elpiji 12 Kg disebabkan rekomendasi BPK yang tertuang dalam  hasil audit BPK semester 1 Tahun 2013 terhadap PT. Pertamina untuk sektor Gas. Dalam rekomendasi BPK tersebut, PT. Pertamina dalam kurun waktu 2011 - 2012 mengalami kerugian sebesar Rp 7,73 triliun. Seharusnya, BPK tak melihat keuangaan Pertamina dari sudut pandang perbandingan harga produksi LPG dengan harga jual ke publik karena pasti hasilnya Pertamina merugi.

Sekarang, makin lengkap sudah beban hidup masyarakat. Indonesia terasa makin tenggelam dalam hiruk pikuk persoalan pelik dalam negeri yang tak kunjung akhirnya. Pasal 33 UUD 1945 seolah tidak berarti lagi. Padahal, dalam Pasal 33 UUD sudah disebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Tapi pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah sepertinya bukan lagi untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, tapi cenderung hanya menguntungkan segelintir oknum saja. Bagaimana disebut untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, kalau untuk menikmati hasil sumber daya alam Indonesia sendiri harus membeli dengan harga mahal? Bagaimana masyarakat dapat merasakan kemakmuran kalau penghasilan selalu terbatas (sulit naik) tapi harga-harga kebutuhan hidup makin naik dan kian memberatkan?

Kalau para anggota DPR membenarkan kenaikan harga elpiji 12 Kg dan tak ada upaya untuk meninjau kebijakan tersebut, maka sama halnya membiarkan masyarkat makin terjepit oleh beban hidup yang kian berat. Sikap para penyelenggara negara yang membiarkan ekspor gas besar-besaran dan menaikan harga gas dalam negeri itu sama halnya tidak mau melaksankan Pasal 33 UUD 1945. Boleh jadi memang seperti itulah bentuk ‘penindasan’ yang ‘demokratis’ di negeri ini. Kalau memang demikian maunya para penyelenggara Negara, kenapa Pasal 33 UUD 1945 tidak dihapus sekalian? Kalau Pasal 33 UUD tetap ada tapi kebijakan penyelenggara negara tidak mengindahkan isi UUD, bukankah sama halnya mereka bohong secara terang-terangan kepada publik?

Semoga saja para anggota DPR dan penyelenggara negara lainnya sudi meninjau kembali kebijakan kenaikan harga tersebut. Jka tidak, bukan tak mungkin hajat Pemilu 2014 hanya akan jadi tontonan dan akan melahirkan calon orang gila baru karena masyarakat makin apatis terhadap praktik politik yang janggal di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun