Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Solo Hiking ke-17 ke Gunung Kerinci, Bagaimana Rasanya?

4 Oktober 2021   15:56 Diperbarui: 5 Oktober 2021   08:01 1941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEPERTI pernah saya tulis sebelumnya, selalu ada alasan untuk mendaki gunung Kerinci 3.805 mdpl. Walaupun sudah berkali-kali, belum ada tanda-tanda bosan.

Gunung api tipe kerucut ini seolah "memanggil" pada waktu-waktu tertentu. Pada saat itulah waktunya mendaki gunung berjuluk "Atap Sumatera" ini.

Tak terkecuali kali ini. Walau sudah 16 kali saya mendaki gunung tertinggi di pulau Sumatera tersebut, namun tetap ada keinginan mengulang lagi. 

Baca juga: Selalu Ada Alasan Mendaki Gunung Kerinci

Hari Sabtu 25 September 2021 pukul 06.00, saya meninggalkan rumah di Padang, Sumatera Barat, menuju provinsi tetangga, Jambi. 

Tepatnya, saya menuju ke titik awal pendakian gunung Kerinci di Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia.

Berjalan mendekati puncak (Dokumentasi Pribadi)
Berjalan mendekati puncak (Dokumentasi Pribadi)

Bulan September 2021 masih puncak musim hujan di Provinsi Sumatera Barat dan Jambi. Namun ramalan cuaca mengatakan, hanya akan turun hujan ringan antara tanggal 25-27 September 2021, hari dimana saya mendaki.

Saya beruntung. Cuaca cerah berawan sepanjang perjalanan darat dari Padang menuju desa Kersik Tuo. Saya tiba sekira pukul 11.3o WIB di Pos Registrasi Balai Besar Taman Nasional Kerinci Sebelat (BBTNKS).

Setelah menyerahkan persyaratan pendakian (berupa KTP, surat keterangan kesehatan dari dokter, menunjukan sertifikat vaksinasi Covid-19, dan membayar tiket masuk hari libur Rp25.000), saya meluncur menuju pintu rimba.

Formulir registrasi dan tiket masuk (Dokumentasi Pribadi)
Formulir registrasi dan tiket masuk (Dokumentasi Pribadi)

Kendaraan saya bawa hingga mendekati pintu rimba. Di sini saya pemanasan sejenak. Pukul 12.18 treking dimulai. Cuaca cerah berawan. Puncak gunung Kerinci tidak terlihat jelas karena tertutup kabut.

Selang beberapa menit saya tiba tepat di gerbang pintu rimba yang menjulang. Di gerbang ini banyak ditemui papan bertuliskan peringatan, sebaiknya dipatuhi para pendaki.

Tanpa istirahat di pintu rimba, saya terus berjalan. Udara terasa sejuk. Suasana hutan hujan tropis nampak tenang dan damai. Cicit burung dan suara aneka satwa mulai mewarnai perjalanan.

Sungguh disayangkan masih terdengar suara mesin chainsaw di dalam rimba TNKS, seperti samar-sama terdengar suaranya dalam video di akhir tulisan ini.

Salah satu masalah serius TNKS adalah pembalakan liar yang dilakukan oleh warga lokal dan pendatang. Pembalakan bahkan telah masuk hingga jauh ke dalam lereng gunung Kerinci.

Sampai di gerbang pintu rimba (Dokumentasi Pribadi)
Sampai di gerbang pintu rimba (Dokumentasi Pribadi)

Di pintu rimba, seperti nampak di foto, sebenarnya bukan batas hutan TNKS. Batasnya cukup jauh di bawah. Bayangkan, di sekitar pintu rimba saja sudah menjadi peladangan warga, apalagi di bawahnya.

Patok batas hutan lindung TNKS ada di ujung jalan dekat kedai tempat saya biasa berhenti pemanasan sebelum memulai treking. Di sini hutan lindung TNKS telah berubah menjadi ladang penduduk lokal sejak bertahun-tahun lamanya.

Keadaan ini cukup ironi dan memalukan di hadapan hukum, negara dan dunia internasional. 

Pasalnya, TNKS dengan luas 13.750 km2 atau 1.389.509,867 ha sudah lama ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO (World Heritage Site) Kluster Hutan Hujan Tropis (Cluster Tropical Rain Forest) sejak tahun 2004 dan Taman Warisan ASEAN (ASEAN Heritage Park) sejak tahun 2003.

Baca juga: 6 Tips Aman Mendaki Gunung Kerinci Seorang Diri

Artinya, kawasan ini bukan hanya milik Indonesia, melainkan menjadi sumber paru-paru dunia. Sungguh ironi, kekuatan negara Indonesia seolah tak berdaya menghadapi para pembalak liar.

Gerbang Pintu Rimba TNKS (Dokumentasi Pribadi)
Gerbang Pintu Rimba TNKS (Dokumentasi Pribadi)

Para pembalak liar bukan tak ditangkap. Ada ditangkap. Tapi masifnya pembalakan liar tidak sebanding dengan penegakan hukum. 

Berdasarkan Data Unit Pelaksana Teknis Balai Besar TNKS (UPT-BBTNKS), 2016, terdapat sekitar 41 ribu hektar hutan dalam kawasan TNKS mengalami perambahan. Perambahan terluas di Kabupaten Kerinci dan Merangin, dengan total 20 ribu hektar.

Data lain yang dipublikasikan oleh Tropenbos Internasional Indonesia bersama UNESCO (2015) mencatat angka yang lebih besar, yaitu luas perambahan total TNKS adalah 130.322 ha. Total hingga tahun 2021 ini diyakini lebih luas lagi.

Kembali ke perjalanan. Pukul 13.09 WIB saya tiba di Pos 1 Bangku Panjang. Di pos ini kebetulan tidak ada pendaki lain. Tanpa istirahat, saya melanjutkan perjalanan menuju Pos 2. Karakter trek masih relatif mendatar.

Sampai di Pos 1 Bangku Panjang (Dokumentasi Pribadi)
Sampai di Pos 1 Bangku Panjang (Dokumentasi Pribadi)

Kembali ada perasaan beruntung mendaki gunung pada puncak musim hujan tapi tidak diguyur hujan seperti saat ini. Sepanjang perjalanan dalam rimba saya bisa menikmati suasana sekitar dengan enak dan leluasa.

Aroma hutan tropis terasa enak sekali. Hawa sejuk oksigen dan ion negatif masuk ke dalam paru-paru. Secara keseluruhan, suasananya memberi efek relaksasi bagi jiwa orang kota seperti saya. 

Walau begitu jalan diwarnai lumpur. Hal mana karena hari-hari sebelumnya daerah ini diguyur hujan cukup lebat. Trek menjadi berlumpur saat diinjak-injak telapak sepatu para pendaki.

Pukul 13.51 WIB saya tiba di Pos 2 Batu Lumut. Telah ada beberapa pendaki istirahat di pos ini. Saya pun sejenak istirahat minum.

Sudah beberapa tahun pos ini nampak bersih dari sampah. Dahulu pos ini seolah menjadi tempat pembuangan sampah karena saking banyaknya sampah.

Di trek ekstrem antara Shelter 2 dan 3 (Dokumentasi Pribadi)
Di trek ekstrem antara Shelter 2 dan 3 (Dokumentasi Pribadi)

Belakangan secara keseluruhan gunung Kerinci relatif makin nampak bersih. Sedikit sampah masih di temui di sepanjang perjalanan, khususnya di trek antara Shelter 2 menuju Shelter 3.

Makin bersihnya gunung kerinci nampaknya karena faktor naiknya kesadaran para pendaki, porter, dan guide untuk membawa turun atau menimbun sampah yang ada.

Di samping itu, ada pengaruh kebijakan Pos Registrasi R10 BB TNKS beberapa tahun belakangan ini, dimana personil penjaga Pos Registrasi memberi kantong sampah dan menahan KTP asli sebagai jaminan sampah dibawa turun dan disetor pada pihak pos registrasi.

Baca juga: Seandainya Gunung Bisa Menangis

Dari Pos 2 saya melanjutkan perjalanan. Target sampai di Pos 3 sebelum pukul 16.00 WIB. Di etape ini trek mulai sedikit menanjak di antara akar-akar kayu.

Pukul 15.13 WIB saya pun tiba di Pos 3 Pondok Panorama. Tanpa istirahat, saya langsung berbelok ke kiri, menuju ke sumber air yang eksotis itu.

Sumber air di Pos 3 (Dokumentasi Pribadi)
Sumber air di Pos 3 (Dokumentasi Pribadi)

Sumber air di Pos 3 berupa sungai yang mengalir melalui ceruk batu. Gerusan air selama ribuan tahun membentuk jalur air di permukaan batu yang begitu keras.

Saya biasa mengambil cadangan air di sini. Bersebab sumber air di kiri Shelter 1 kurang layak minum, sering keruh, dan dicurigai terkontaminasi kotoran para pendaki yang biasa dibuang ke lembah jalur sumber air.

Ada sumber air lain di Shelter 1. Lokasinya berjalan sedikit ke arah atas Shelter 1, lalu berbelok ke kanan, lantas menurun ke lembah. Cukup jauh. Bolak-balik sekitar 30 menit perjalanan.

Sehabis mengambil stok air, saya melanjutkan perjalanan menuju Shelter 1. Rencananya saya akan bermalam di sini sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Istirahat sejenak di dekat lobang kayu (Dokumentasi Pribadi)
Istirahat sejenak di dekat lobang kayu (Dokumentasi Pribadi)

Di jalur ini ada 3 buah pos dan 3 buah shelter, tempat biasa pendaki istirahat atau berteduh.

Perjalanan hari pertama, antara Pos 1 menuju Shelter 1 , terasa meletihkan. Badan masih dalam tahap "penyesuaian" (aklimatisasi) khususnya jantung dan paru-paru. Hari kedua biasanya tak begitu letih lagi.

Pukul 17.08 WIB saya tiba di Shelter 1 pada ketinggian sekitar 2.500 mdpl. Suasana nampak lengang. Belum ada tenda pendaki yang nampak berdiri, hanya ada satu kelompok pendaki sedang beristirahat, yang katanya akan segera melanjutkan perjalanan.

Saya melanjutkan perjalanan hingga sedikit di atas Shelter 1. Di sini lebih ideal untuk solo camping.

Sampai di Shelter 1 (Dokumentasi Pribadi)
Sampai di Shelter 1 (Dokumentasi Pribadi)

Mendirikan tenda di Shelter 1 (Dokumentasi Pribadi)
Mendirikan tenda di Shelter 1 (Dokumentasi Pribadi)

Sesampai di tempat mendirikan tenda, isi ransel saya keluarkan. Tenda Naturehike Star River berkapasitas dua orang segera saya dirikan. Seberdiri tenda, saya memasak nasi untuk makan malam.

Hari pertama perjalanan berakhir di sini. Bermalam semalam. Keesokan paginya baru perjalanan dilanjutkan hingga ke Shelter 3. Pola ini sudah bertahun-tahun saya lakukan. Sengaja menghindari berjalan malam untuk alasan praktis dan keamanan.

Sehabis makan malam dan setelah salat Isya, saya mulai berbaring tidur. Badan terasa cukup letih dan malam yang dingin mempercepat rasa ngantuk. Malam itu langit di atas Shelter 1 masih cerah berawan. 

Hari ke-2, Minggu, 26 September 2021, pukul 06.12 WIB, saya meninggalkan Shelter 1, berjalan menuju Shelter 2. Treknya mulai diwarnai tanjakan yang lebih berat dibandingkan etape sebelumnya.

Di terowongan legendaris di trek menuju Shelter 3 (Dokumentasi Pribadi)
Di terowongan legendaris di trek menuju Shelter 3 (Dokumentasi Pribadi)

Saya berjalan santai tanpa banyak istirahat. Kalaupun istirahat hanya beberapa menit saja.

Satu jam berjalan, langit di atas makin pekat berawan dan suara guntur di kejauhan mulai terdengar. 

Benar saja, hujan mulai turun. Tidak begitu deras. Saya memutuskan terus berjalan tanpa mantel. Celana, baju dan topi yang saya pakai punya teknologi cepat kering (quick dry).

Sambil berjalan saya masih memikirkan laju deforestasi kawasan TNKS. Dari sini lapat-lapat masih terdengar suara chainsaw. Andai sumber suara itu ditelusuri, tak sulit bagi aparat penegak hukum untuk menangkap pembalak liar.

Mendekati Shelter 3 di ketinggian 3.300 mdpl (Dokumentasi Pribadi)
Mendekati Shelter 3 di ketinggian 3.300 mdpl (Dokumentasi Pribadi)

Mungkin kunci mengatasi lanju deforestasi kawasan TNKS adalah dengan menggalakkan patroli dan penegakan hukum terhadap para perambah liar. Selain, tentu saja, edukasi terhadap warga sekitar kawasan.

Tak terasa sudah hampir tiga jam saya berjalan. Pukul 08.54 saya tiba di Shelter 2 pada ketinggian sekitar 3.000 mdpl. Langit masih mencurahkan hujan gerimis. Suasana di sini sepi. Tidak ada satupun tenda pendaki.

Tanpa istirahat saya memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Shelter 3. Biasanya butuh waktu sekitar dua jam berjalan santai ala saya untuk sampai ke Shelter 3 dari Shelter 2.

Karakter trek dari Shelter 2 menuju Shelter 3 benar-benar ekstrem. Beberapa titik diantaranya perlu bergelantungan di pepohonan belukar sub-alpine untuk melewatinya. Jalur licin saat hujan makin menyulitkan perjalanan.

Trek terowongan belukar sub-alpine antara Shelter 2 dan 3 (Dokumentasi Pribadi)
Trek terowongan belukar sub-alpine antara Shelter 2 dan 3 (Dokumentasi Pribadi)

Menurut penelitian Laumonier (1994), mulai ketinggian 2.900 mdpl, TNKS memiliki tipe ekosistem berupa belukar sub-alpine yang didominasi vegetasi Ericaceae (Rhododendron retusum, Vaccinum miquellii dan Aultheri nummularoides) dan Symplocacea (Symplocos cochinchinensis).

Pukul 10.34 WIB saya tiba di camping ground Shelter 3 pada ketinggian sekitar 3.300 mdpl. Nampak sudah berdiri beberapa tenda. Tanpa istirahat, saya langsung menuju sumber air di kiri Shelter 3.

Seberes mengambil persediaan air, saya kembali melanjutkan perjalanan sedikit lagi di atas Shelter 3. Di sini jarang pendaki mendirikan tenda, cocok untuk solo camping.

Lokasi tenda di Shelter 3 (Dokumentasi Pribadi)
Lokasi tenda di Shelter 3 (Dokumentasi Pribadi)

Seberdiri tenda, saya memasak makan siang. Rencananya, siang ini juga langsung trekking menuju puncak. Dengan pola ini, besok pagi-pagi sekali (hari ke-3), saya turun pada saat para pendaki lain pergi muncak.

Pukul 13.30 saya mulai melanjutkan perjalanan menuju puncak. Estimasi waktu sekitar 2 jam berjalan normal dari Shelter 3.

Kabut tipis mengantar perjalanan saya menuju puncak. Sendirian. Suhu udara terasa cukup dingin walaupun tengah hari.

Di tengah perjalanan beberapa kali berpapasan dengan para pendaki yang turun dari puncak. Beberapa diantaranya mengeluh mendapati suasana puncak yang berkabut menghalangi pemandangan indah di sekitar gunung Kerinci.

Start muncak di tengah kabut tipis (Dokumentasi Pribadi)
Start muncak di tengah kabut tipis (Dokumentasi Pribadi)

Saya sendiri tidak memedulikan apakah cuaca berkabut atau cerah. Pendakian kali ini lebih untuk menikmati perjalanan, toh, sudah sering melihat pemandangan sekitar gunung saat cuaca cerah.

Langkah demi langkah menuju puncak dengan sisa tenaga yang ada. Angin kadang berhembus cukup kencang menambah dingin suhu udara. Untunglah tadi sempat minum obat anti masuk angin setelah makan siang.

Pukul 15.10 WIB saya tiba di area bernama Tugu Yudha pada ketinggian sekitar 3.700 mdpl. Di sinilah diperkirakan titik terakhir Yudha Sentika (1973-1990) diketahui hilang waktu kabut badai, 23 Juni 1990. Masih ada beberapa pendaki lain hilang di sini, sekitar 8-9 orang.

Di tengah kabut yang datang dan pergi terlihat pemandangan puncak gunung Kerinci dari area Tugu Yudha. Sejauh mata memandang diwarnai pemandangan bebatuan berwarna kecoklatan akibat hujan abu dari kawah gunung ini.

Sampai di area Tugu Yudha (Dokumentasi Pribadi)
Sampai di area Tugu Yudha (Dokumentasi Pribadi)

Sejenak saya berhenti di dekat plakat memorabilia Yudha Sentika. Tak bisa berlama-lama istirahat di tengah angin dingin, ini akan membuat badan mendingin dengan cepat, otot-otot jadi kaku, dan kepala cepat pusing.

Perjalanan saya lanjutkan menuju puncak. Sedikit lagi. Paling 20-30 menit berjalan santai. Makin sore, angin makin dingin. Tapi saya tetap memutuskan tidak pakai jaket, hanya pakai kaos dalaman (baselayer), maksudnya sekalian latihan menahan hawa dingin.

Pukul 15.42 WIB, Minggu, 26 September 2021, saya kembali menjejakan kaki di titik tertinggi pulau Sumatera. Cuaca cerah berawan. Karenanya, saya sempat mengabadikan suasana sekitar.

Tak sampai setengah jam saya menikmati suasana puncak. Di kejauhan sudah mulai terdengar bunyi petir pertanda akan turun hujan. Saya bergegas turun. Pukul 17.30 WIB saya sudah sampai kembali di tenda.

Sejenak mengheningkan cipta mengenang para pendaki yang hilang di sekitar area ini (Dokumentasi Pribadi)
Sejenak mengheningkan cipta mengenang para pendaki yang hilang di sekitar area ini (Dokumentasi Pribadi)

Tak berapa lama hujan mulai turun. Lalu disusul angin kencang mulai menerjang tenda. Kedua pintu tenda segera saya tutup. Memasak makan malam dilakukan di dalam tenda.

Selewat magrib hujan badai makin menjadi-jadi. Untunglah tenda anti badai. Tapi tetap saja cuaca begini membuat kepala pusing nyut-nyut. 

Sekitar pukul 20.30 WIB saya tidur di tengah hiruk-pikuk suara badai dan gemuruh suara air di lembah tak jauh dari tenda saya. Suasana begini tentu saja sulit bisa tidur nyenyak.

Lukisan sunrise di atas gunung Tujuh dilihat dari depan tendaku (Dokumentasi Pribadi)
Lukisan sunrise di atas gunung Tujuh dilihat dari depan tendaku (Dokumentasi Pribadi)

Pukul 05.00 WIB saya bangun dengan kepala masih sedikit pusing. Selesai salat Subuh, langsung berkemas dan masak sarapan pagi. Rencana turun pagi ini juga.

Dari celah pintu tenda terlihat pelahan sinar matahari menerobos celah awan di atas gunung Tujuh. Selamat pagi, Kerinci, izinkan saya turun kali ini.(*)

Berikut video perjalanan saya:


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun