Tampilan orang miskin sangat khas--terlihat dari sorot mata, bentuk rambut, gigi, kulit, pakaian, dan bahasa tubuh. Orang berpunya sangat sulit didandani dan bertingkah natural menjadi orang miskin.
Hal itu nampak disadari betul oleh sutradara kenamaan Tiongkok, Zhang Yimou.
Dalam film Not One Less, ini, Zhang Yimou merekrut dan melatih langsung semua pemerannya dari murid-murid miskin sekolah dasar miskin di pelosok Tiongkok.
Semua memerankan nama dan karakter aslinya, mulai dari guru, murid, penjaga warung makan, reporter tv, sampai manajer tv.
Seorang remaja putri bernama Wei Minzhi--usia 13 tahun, tamat SD, warga desa yg sangat miskin--menjadi guru pengganti selama sebulan di SD Shuiquan, Desa Zenningbao, Kabupaten Chicheng, Provinsi Hebei, Tiongkok.
Wei berharap bayaran 50 Yuan, sesuai yang dijanjikan kepala desa. Guru Gao sendiri kesulitan membayar karena dirinya sudah enam bulan tak digaji.
Guru Wei menggantikan Guru Gao yang cuti untuk mengurus ibunya yang sakit keras. Sebelum pergi, Guru Gao berpesan pada Wei untuk menjaga semua murid jangan sampai berkurang karena berhenti, berkerja, dan sebagainya. Seperti sudah-sudah.
Guru Wei nampak sangat tidak meyakinkan, masih sangat muda, kumal, tak tangkas berbicara, dan hanya hafal satu lagu, itupun kadang lupa liriknya.
Tapi siapa sangka, seiring timbulnya berbagai masalah di SD Shuiquan, yang harus diatasi Guru Wei--mulai dari belum ada bayaran, kenakalan murid, sampai murid melarikan diri ke kota--secara alami dan tak direncanakan muncul cara mengajar ala Guru Wei yang mengagumkan.
Suatu hari seorang murid badung tapi pintar bernama Zhang Huike tak masuk sekolah. Usut punya usut ternyata ia pergi ke kota untuk mencari kerja guna melunasi hutang keluarganya yang sangat miskin.
Zhang menjadi murid kedua yang meninggalkan sekolah hanya dalam beberapa hari Guru Wei mengajar.
Guru Wei yang awalnya tak meyakinkan ternyata sangat amanah. Berbagai cara dilakukannya agar muridnya tetap sekolah.
Untuk mencari Zhang Huike ke kota, Guru Wei mencari cara mengumpulkan uang untuk tiket bus ke kota. Ia melibatkan murid-muridnya. Mulai dari iuran murid, tapi masih kurang, hingga kerja mengangkut batu bata.
Murid-murid terlibat membuat perencanaan, menghitung jumlah uang yang dibutuhkan, menghitung waktu kerja, lalu langsung kerja mengangkut batu bata.
Semua murid antusias menuliskan perhitungan angka-angka di papan tulis pakai kapur peninggalan Guru Gao. Secara tak sengaja murid belajar matematika langsung dari masalah di dunia nyata.
Setelah uang terkumpul, Guru Wei pergi ke stasiun bus. Ternyata, harga tiket bus lebih mahal dari perkiraan mereka.
Seorang murid mengusulkan Guru Wei menyusup ke dalam bus dibantu murid-muridnya. Usaha ini berhasil. Tapi di tengah jalan ketahuan dan Guru Wei diturunkan paksa di tengah jalan. Guru Wei melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki sampai ada mobil yang mau memberi tompangan.
Sesampai di kota tidak mudah bagi Guru Wei menemukan Zhang Huike yang ternyata tak pernah sampai ke penginapan yang dituju karena Zhang melarikan diri di stasiun kota.
Berbagai cara dilakukan Guru Wei untuk mencari Zhang Huike, mulai dari minta tolong pada teman seperjalanan Zhang Huike, mengumumkan di load speaker milik petugas pasar, hingga membuat selebaran tulisan tangan pakai sisa uang terakhir. Semua gagal memberi titik terang keberadaan Zhang Huike.
Sementara diperlihatkan adegan Zhang Huike berkeliaran di sekitar pasar, mengemis makanan untuk sekedar bertahan hidup.
Upaya terakhir Guru Wei ke stasiun tv lokal berharap "berita anak hilang" ditayangkan di tv. Tapi ia diusir petugas karena ia tak punya identitas dan tak sanggup bayar biaya iklan. "Hanya manajer yang mungkin bisa menolongmu," ujar petugas tv.
Dalam rasa putus asa, keletihan, dan menahan lapar, Guru Wei menunggu di depan gedung tv lokal. Berharap bertemu manajer tv.
Tak kuat menahan lapar, Guru Wei memakan sisa mie dari pelanggan sebuah kedai. Setelah makan, ia tertidur di tepi jalan.
Sebangun tidur keesokan harinya, Guru Wei kehilangan selebaran yang dia buat dan ditarok tak jauh dari dirinya saat tertidur. Selebaran itu sudah disapu oleh penyapu jalan.
Guru Wei terus menunggu di depan gedung tv lokal itu. Sudah hampir dua hari satu malam ia menunggu. Hingga akhirnya diketahui oleh manajer tv dan dipersilakan masuk.
Guru Wei diwawancarai penyiar tv. Beritanya segera menyebar hingga sampai di kedai tempat Zhang Huike berkerja sebagai pencuci piring dengan bayaran makanan.
Tayangan berita itu mampu menggerakkan solidaritas warga untuk memberi donasi.
Guru Wei dan Zhang Huike kembali pulang ke desa dengan donasi di tangan dan kru tv yang mengikuti untuk wawancara sepanjang perjalanan hingga tiba di desa. Mereka disambut antusias oleh warga desa Zenningbao dan murid-murid SD Shuiquan.
Anak-anak berpesta menuliskan apa saja kesan di papan tulis pakai kapur warna warni hasil donasi warga kota.
Setelah berakhir masa mengajar sebagai guru pengganti, Wei Minzhi kembali ke desanya. Ia masih sering mengunjungi murid-muridnya.
Zhang Yimou berhasil menampilkan wajah pendidikan di desa miskin dan terpencil di pelosok Tiongkok. Sebuah film drama human interest yang bagus sekali, natural, dan menggugah jiwa. Pantas Zhang Yimou diganjar penghargaan Golden Rooster untuk Sutradara Terbaik.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H