Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Keseruan Masak Lemang di Puncak Gunung Talang

1 Juli 2021   14:00 Diperbarui: 2 Juli 2021   21:45 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu-satunya tenda di puncak hutan mati (Dokpri)

Masak lemang dan kinca di ketinggian 2.400 Mdpl di puncak hutan mati gunung Talang. Rekor dunia?

Lemang merupakan panganan khas masyarakat berbagai daerah di Indonesia. Terbuat dari beras ketan dan dimasak dalam bambu dengan air santan kelapa. Untuk variasi rasa bisa ditambah garam, vanili, pisang dan sebagainya.

Saat mendaki gunung saya rutin membawa beras biasa untuk dimasak dan dimakan dengan lauk yang dibawa dari rumah. Kini saatnya makan hal berbeda.

Sarapan pagi lemang di puncak bendera (Dokpri)
Sarapan pagi lemang di puncak bendera (Dokpri)

Persiapan bahan

Kali ini saya mendaki gunung dengan membawa beras ketan untuk dimasak menjadi lemang sebagai makanan utama. 

Di samping itu, saya juga bawa bahan-bahan untuk membuat air kinca atau semacam sausnya.

Bambu tinggal ambil dalam rimba di perjalanan. Saya tebang satu batang bambu muda berukuran sedang.

Sementara daun pisang muda saya bawa dari rumah. Daun pisang ini dipergunakan untuk pembungkus bagian dalam bambu agar lemang tidak lengket dan aroma lemang lebih harum.

Saya sampai di puncak hutan mati gunung Talang sekira 15.30 WIB, Jumat 11 Juni 2021. Langsung mendirikan tenda.

Seberdiri tenda, saya mengambil air di lembah tak jauh dari tenda. Setelahnya, tambah membuang waktu, saya menyiapkan bahan kayu bakar dari sisa-sisa kayu mati di sekitar tenda.

Menyiapkan kayu bakar (Dokpri)
Menyiapkan kayu bakar (Dokpri)

Api unggun mulai menyala (Dokpri)
Api unggun mulai menyala (Dokpri)

Daun pisang saya masukkan dalam bambu. Caranya, daun digulung pakai kayu kecil lalu dimasukkan ke dalam bambu.

Makan lemang paling lezat ala saya dengan mencocol lemang ke dalam air kinca. 

Kinca adalah air santan kelapa yang dimasak pakai gula merah dicampur vanili atau durian untuk variasi aroma rasa yang harum dan lezat.

Semua bahan untuk membuat air kinca saya bawa dari rumah. Untuk memperingan beban, santan kelapa saya bawa dalam bentuk bubuk instan sasetan.

Cara buat

Pertama-tama rendam beras ketan 3-5 jam agar hasil lemang lebih lembut. Tiriskan hingga kering. Lalu masukkan beras ketan ke dalam bambu. 

Pastikan jangan penuh, beri ruang bagi beras ketan itu untuk mengembang saat dimasak.

Siapkan santan, nah santan bubuk sasetan seperti saya bawa perlu dicampur air dan direbus dulu. (Air santan perasan-sendiri lebih bagus lagi). Taburi garam halus dan vanili secukupnya. Vanili memberi aroma harum pada lemang.

Memasukan daun ke dalam bambu (Dokpri)
Memasukan daun ke dalam bambu (Dokpri)

Santan itu lantas dimasukan ke dalam bambu berisi beras ketan tadi. Tak perlu terlalu banyak seperti halnya air menanak nasi. 

Permukaan lemang cukup becek saja, kalau kebanyakan santan nanti lemangnya lunak seperti bubur.

Sementara itu, cara membuat air kinca: santan kelapa dimasak hingga mendidih. Campurkan gula merah secukupnya. Masukan garam, tepung maizena, daun pandan, dan durian untuk aroma serta rasa manis yang khas.

Lemang ala Sutomo Paguci siap dibakar.   

Membakar lemang

Menjelang magrib semua bahan sudah siap. Api unggun sudah menyala. Beruntung cuaca cukup bersahabat. 

Andai saja hujan, sudah pasti acara bakar lemang terpaksa ditunda.

Sore itu tidak ada pendaki lain di puncak hutan mati. Benar-benar cuma ada saya sendiri. Sedangkan di camping ground cadas di bawah nampak ada beberapa tenda.

Satu-satunya tenda di puncak hutan mati (Dokpri)
Satu-satunya tenda di puncak hutan mati (Dokpri)
Air kinca sudah mendidih (Dokpri)
Air kinca sudah mendidih (Dokpri)

Lemang saya masukan ke dalam api unggun. Dibalik-balik dalam interval waktu tertentu agar masaknya merata. 

Proses memanggang begini berlangsung sekitar 2-2,5 jam. Sebelum diangkat boleh ditambah lagi 10 menit untuk memadarkan lemang dengan bara api kecil untuk hasil lebih maksimal.

Dalam kondisi normal (bukan di gunung) saya biasa memanggang lemang dengan bara api dari arang kayu pohon kopi atau batok kelapa. Bukan dicemplungkan ke dalam api menyala begini.

Di sini memanggang lemang dengan bara api nampaknya sulit dilakukan. Mengingat suhu udara lagi dingin-dinginya, ditambah malam hari pula, dan berangin pula, bara api akan sangat cepat habis. Bisa-bisa lemang belum keburu mateng.

Lemang mulai dibakar (Dokpri)
Lemang mulai dibakar (Dokpri)

Lemang sudah matang (Dokpri)
Lemang sudah matang (Dokpri)

Saya memanggang lemang di tengah gelap malam puncak hutan mati. Makin larut perut makin terasa lapar. Hampir pukul 21.00 WIB barulah lemang matang.

Oh iya, bersamaan membakar lemang, saya juga memasak air kinca. Dan air kincanya sudah lebih dahulu masak dibandingkan lemang.

Menyantap lemang

Satu batang lemang yang telah masak itu kemudian saya belah. Ternyata masaknya bagus dan sempurna sekali. Saya potong-potong dan masukan ke dalam piring plastik warna merah.

Di dalam tenda, pada pukul sembilan malam, saya pun makan lemang panas yang dicocol air kinca. Makan malam yang lahap dan lezat sekali. Enyakkkk!

Satu batang lemang saya lahap habis malam itu. Kekenyangan sampai sedikit sakit perut, karena satu batang lemang itu setara 1/4 kg dalam bentuk beras ketan sebelum dimasak.

Setelah makan lemang saya merasa kondisi badan tidak nyaman jadi sulit tidur. 

Tengah malam saya googling kira-kira apa penyebabnya. Kebetulan di puncak hutan mati sinyal internet bagus sekali, 4G LTE.

Ternyata, makan lemang dapat memicu refluks asam lambung dan penumpukan gas di perut. Waladalah! 

Nampaknya itu menjadi penyebab badan saya jadi kurang nyaman dan perut terasa kembung.

Memotong lemang sudah masak (Dokpri)
Memotong lemang sudah masak (Dokpri)

Makan malam lemang (Dokpri)
Makan malam lemang (Dokpri)

Di ketinggian makin memperparah keadaan. Di puncak gunung begini tanpa makan lemang saja penumpukan gas di perut lebih mudah terjadi dibandingkan saat di dataran rendah.

Sambil bergolek di dalam tenda pada lewat tengah malam yang dingin saya berpikir, ah, biarlah, toh setimpal dengan kenikmatan makan lemang di ketinggian begini. Menjelang subuh barulah saya tertidur.

Keesokan paginya apakah saya tobat? Tentu tidak. Untuk sarapan pagi kembali makan lemang, tapi kali ini lemang dingin. Air kincanya saja yang saya panaskan, tetap lezat dan tanpa penyesalan.

Makan siang tetap lemang. Benar-benar jadi makanan utama. Saya makan nasi dengan lauk seperti biasa baru sore harinya. Terus begitu hingga hari ke-2.

Hari ke-2 saya pindah ngekem ke tempat yang lebih tinggi di puncak bendera 2.530 Mdpl.(*)

Berikut video liputannya:


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun