Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Solo Hiking 3 Hari 2 Malam Menuju Atap Sumatera Barat Gunung Talamau 2.982 Mdpl

17 Februari 2021   14:35 Diperbarui: 30 Agustus 2021   20:09 4235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalur hutan hujan menuju pos Peninjauan (Dokpri)

Dengan ketinggian 2.982 meter di atas permukaan laut (mdpl), gunung Talamau di Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat, menjadi gunung tertinggi dari 22 gunung yang ada di Sumatera Barat.

Sebetulnya, ada satu gunung lagi yang lebih tinggi dari gunung Talamau, yakni gunung Kerinci dengan ketinggian 3.805 mdpl. Akan tetapi, gunung ini hanya sebagian saja masuk wilayah Kabupaten Solok Selatan Provinsi Sumatera Barat, sebagian lagi masuk wilayah Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Jadi jika gunung Kerinci ditambahkan, total ada 23 gunung yang ada di Sumatera Barat.

Ke gunung Talamau inilah saya solo hiking kali ini. Butuh waktu 16 jam untuk naik dan 10 jam lagi untuk turun. Total 3 hari 2 malam untuk naik dan turun. Treknya jauh dan berat, sepadan dengan julukan gunung ini: Atap Sumatera Barat.

Start jalan dari pos lapor/pandu (Dokpri)
Start jalan dari pos lapor/pandu (Dokpri)
Oh ya, baru saja sampai di posko lapor, saya sudah dapat peringatan. "Tidak boleh mendaki sendirian, pak. Bapak harus gabung dengan group lain," kata Andri, sebagai Satgas pendakian gunung Talamau jalur Pinaga, dengan wajah nampak cemas melihat saya cuma sendirian.

Tapi setelah dijelaskan, bahwa saya mendaki Talamau sudah kali ke-2, kali pertama lewat jalur Lubuk Landur, dan saya pendaki yang cukup berpengalaman dengan peralatan yang lengkap, maka Andri membolehkan saya berjalan. "Tapi tolong kabari tiap sampai pos yang dilewati," pesan Andri dengan nada baik hati.

Menuju Pos Harimau Campo

Dan setelah berdebat dengan Andri karena saya diminta surat pengantar organisasi pencinta alam, padahal saya pendaki independen, dan diminta pula surat pengantar dari RT/RW dengan diketahui kepala desa/lurah asal pendaki, saya pun start jalan pukul 11.30 WIB, Jumat (12/2/2021).

Kali ini saya hanya menyerahkan persyaratan pendakian berupa foto copy identitas (KTP), surat keterangan berbadan sehat dari puskesmas, membayar Rp15.000 untuk administrasi masuk, dan parkir motor Rp15.000.

Di trek jalan berbatu menuju pos Harimau Campo (Dokpri)
Di trek jalan berbatu menuju pos Harimau Campo (Dokpri)
Baru melangkah beberapa langkah dari gerbang posko lapor, saya sudah dihadapkan pada jalan berbatu dan berdebu. Hentakan telapak sepatu mengenai bebatuan menghasilkan getaran yang terasa mengalir ke tulang, bikin ngilu. Sementara sinar matahari di atas kepala terasa sangat terik.

Saya berjalan benar-benar sendirian. Tanpa pemandu. Tanpa porter. Dan tidak ada pula gorup lain yang mendaki pada jam itu. Di posko lapor memang ada satu group pendaki dari Padang, akan tetapi belum bisa berjalan karena masih menunggu kawan lainnya yang belum sampai.

Kalaupun ada group lain yang mendaki bersamaan waktu itu, saya tetap akan berjalan memisahkan diri. Menjauh. Karena misi saya adalah pendakian secara solo atau sendirian.

Dari 7 gunung yang biasa didaki orang di Sumatera Barat (Talamau, Sago, Singgalang, Tandikek, Marapi, Talang, dan Kerinci), tinggal gunung Talamau yang belum pernah saya daki seorang diri. Karena itu sekaranglah saatnya.

Etape pertama dari posko lapor menuju pos Harimau Campo diwarnai oleh trek yang mayoritas landai. Tanjakan ekstrim hanya sekitar 150 meter panjangnya mendekati bukit Harimau Campo.

Sampai di pos Harimau Campo (Dokpri)
Sampai di pos Harimau Campo (Dokpri)
Pos Harimau Campo

Setelah 1,5 jam berjalan melewati medan berbatu dan tanah kering berdebu, saya akhirnya sampai di pos Harimau Campo. Tidak ada orang lain di pos ini. Sinar matahari masih terasa sangat terik. Ada untungnya panas terik begini: nyaris tidak ada pacet di sepanjang jalur.

Saya istirahat duduk berteduh di bawah pohon di pos ini. Baru sekitar pukul 14.30 saya melanjutkan perjalanan menuju pos Rindu Alam.

Pos Harimau Campo berada pada ketinggian 710 mdpl. Di puncak bukit Harimau Campo berdiri dua bangunan: satu bangunan berupa rumah panggung berdinding separoh sebagai pesanggrahan bagi pendaki dan di belakangnya berdiri satu bangunan semi permanen sebagai pos jaga, yang waktu itu tidak berpenghuni.

Dari pos Harimau Campo terhampar pemandangan di bawah, ada perkebunan sawit, Talu, dan kota Simpang Empat. Hijau permai dan indah!

Di jalur menuju pos Harimau Campo dengan latar gunung Talamau di kejauhan (Dokpri)
Di jalur menuju pos Harimau Campo dengan latar gunung Talamau di kejauhan (Dokpri)
Bendera di puncak bukit Harimau Campo ini bisa jadi patokan terlihat dari jauh biar tidak nyasar (Dokpri)
Bendera di puncak bukit Harimau Campo ini bisa jadi patokan terlihat dari jauh biar tidak nyasar (Dokpri)
Karakter jalur dari pos Harimau Campo menuju pos Rindu Alam masih relatif landai. Pada sekitar 30 menit pertama berjalan akan melewati perkebunan warga. Ada pula persimpangan ke kiri menuju air terjun Lenggogeni. Perhatikan saja rambu penunjuk jalannya, biar tidak nyasar.

Setelah 30 menit berjalan, mulai masuk ke rimba muda bekas perkebunan kopi yang sudah tidak diurus lagi. Di sini melewati dua sumber air, yang waktu itu kering karena sedang musim kemarau. Pada musim hujan, sumber air ini akan melimpah ruah.

Tiba di pos Rindu Alam

Mendirikan tenda di pos Rindu Alam (Dokpri)
Mendirikan tenda di pos Rindu Alam (Dokpri)
Tepat pukul 17.00 atau setelah berjalan 2,5 jam, saya pun tiba di pos Rindu Alam. Lagi-lagi tidak ada orang lain. Benar-benar asyik. Karena sebentar lagi malam, saya segera mendirikan tenda.

Sesaat setelah tenda berdiri, saya segera ke sumber air di kanan pos. Kerongkongan terasa kering dan haus sekali. Karena stok air sudah habis sebelum sampai pos ini.

Di sumber air saya segera minum dengan kalap. Dan ketika sedang asyik mengisi air ke dalam jerigen lipat sambil menikmati suara gemericik air, tiba-tiba terdengar sapaan seorang pendaki di lereng tebing ke sumber air. Ternyata ada rombongan pendaki dari UIN tiba di pos Rindu Alam.

Sumber air di kanan pos Rindu Alam (Dokpri)
Sumber air di kanan pos Rindu Alam (Dokpri)
Setelah mengambil persediaan air dan membersihkan diri ala kadarnya, saya kembali ke tenda. Benar saja, di sekitar tenda saya sudah berkumpul rombongan pendaki dari UIN yang sedang turun. Sempat ngobrol sebentar selum mereka melanjutkan perjalanan turun.

Seturun mahasiswa UIN, suasana pos Rindu Alam kembali lengang. Tak berapa lama magrib pun tiba. Segera saya memasak nasi. Sedangkan lauk-jadi sudah disiapkan bawa dari rumah. Semasak nasi, langsung makan enak dan lahap dengan lauk dendeng dan rebus sayuran.

Makan nasi dengan lauk daging adalah cara pas ala saya untuk melawan hawa dingin di gunung. Saat tidur malam tidak terlalu terasa dingin. Kalori nasi dan protein serta serat daging ampuh membuat badan hangat dan nyaman.

Pukul 20.30 saya sudah merebahkan diri di atas kasur tiup yang empuk dan nyaman. Dengan bantal tiup yang juga empuk dan nyaman. Di luar tenda sura cicit binatang mewarnai malam jadi pengantar ke alam mimpi yang indah.

Pukul 05.00 saya sudah bangun. Sekali lagi menyiapkan masak nasi. Dengan lauk tetap dendeng balado dan rebusan sayuran hijau. Makanan penutup (tepatnya minuman penutup) berupa susu murni yang dipanaskan dicampur kuning telor ayam kampung dan madu murni.

Ya, begitulah kira-kira rutinitas sarapan pagi ala saya saat trekking di gunung manapun. Setelah minuman penutup tadi, biasanya saya minum vitamin B-Complex+B12 agar produksi tenaga dalam tubuh benar-benar optimal.

Sore dii tepi telaga Puti Sangka Bulan (Dokpri)
Sore dii tepi telaga Puti Sangka Bulan (Dokpri)
Sedangkan untuk makan siang di jalan, saya biasanya menyiapkan roti gandum. Lebih praktis dan tidak memboroskan waktu untuk memasak di perjalanan. Membawa roti juga untuk antisipasi kondisi darurat, misalnya tidak bisa memasak karena kompor rusak dan sebagainya.

Setelah membongkar tenda, pukul 7.30 saya melanjutkan perjalanan menuju pos Bumi Sarasah di ketinggian 1.860 mdpl. Estimasi normal butuh waktu 2,5-3 jam.

Pendakian sebenarnya baru dimulai sekarang. Karena karakter jalur dari pos Rindu Alam menuju pos Bumi Sarasah sudah mulai menanjak moderat, melewati akar-akar pohon, dan hutan hujan yang sejuk menawan. Perjalanan yang cukup lama dan melelahkan tentunya.

Sekali lagi saya berjalan sendirian. Benar-benar tidak ada ketemu orang lain, baik pendaki yang mau turun maupun naik. Kondisi ideal yang benar-benar saya suka.

Tiba di pos Bumi Sarasah

Pukul 10.42 saya tiba di pos Bumi Sarasah 1.860 mdpl. Pos nampak lengang, sama sekali tidak ada tenda atau pendaki lain kecuali saya. Di sekeliling hanya terdengar paduan suara orkestrasi alam liar.

Area pos Bumi Sarasah lumayan luas, cukuplah untuk mendirikan setidaknya 10 tenda ukuran besar.

Istirahat di pos Bumi Sarasah (Dokpri)
Istirahat di pos Bumi Sarasah (Dokpri)
Pos ini cukup ideal untuk bermalam sebelum muncak, dengan beberapa alasan, pertama, areanya lumayan luas dan datar, kedua, tersedia sumber air yang berlimpah dan berkualitas tinggi, dan, ketiga, tidak banyak tikus gunung besar-besar seperti di pos Peninjuan dan pos sekitar telaga.

Saya langsung ambil stok air di kiri pos, menurun ke lembah sekitar 30 meter. Sumber air yang bagus sekali, paling bagus dari semua sumber air di jalur ini, berupa sungai kecil berbatu dengan air yang cling, jernih sekali. Suara gemericik air memberi efek relaksasi. Meminum airnya memberi sensasi kesegaran, menghilangkan rasa dahaga dan penat selama menjalani trek dari pos Rindu Alam.

Saya istirahat sejenak di pos Bumi Sarasah. Makan cemilan roti dan kopi panas tanpa gula.

Pukul 11.00 saya meninggalkan pos Bumi Sarasah, kembali melanjutkan perjalanan menuju pos Peninjauan pada ketinggian sekitar 2.500 mdpl. Estimasi waktu 2,5-3 jam.

Karakter jalur dari pos Bumi Sarasah menuju pos Peninjauan sangat menantang, diwarnai banyak tanjakan ekstrim, beberapa diantaranya bahkan nyaris tegak lurus, mesti bergantungan di tali tambang sebagai alat bantu.

Tiba di pos Peninjauan

Benar saja, pukul 14.05 saya pun sampai di pos Peninjauan 2.500 mdpl. Suasana pos sepi, tidak ada orang lain atau tenda berdiri di sini. Di bawah sebatang pohon yang rindang, saya istirahat sambil makan roti dan minum kopi tanpa gula.

Hampir satu jam saya beristirahat di pos Peninjauan sambil menikmati semilir angin tengah hari dan pemandangan di bawah. Karena bisa "meninjau" pemandangan di bawah, maka pos ini konon disebut "peninjauan".

Pukul 14.58 saya melanjutkan perjalanan. Target ngekem di bawah pohon, sekitar 30 menit berjalan dari pos Peninjauan. Mudah-mudahan di sini tikus gunung tidak banyak.

Istirahat siang di pos Peninjauan (Dokpri)
Istirahat siang di pos Peninjauan (Dokpri)
Saya paling malas dengan tikus gunung. Ukurannya besar-besar, hampir sebesar kucing dewasa, sudah terbilang mengerikan, berwarna putih atau keabu-abuan, dan sangat jahat. Kelakuannya suka mencicit menyebalkan, mengganggu tidur, suka melobangi tenda, menggondol persediaan logistik, atau melobangi ember yang ditarok di dekat tenda.

Pukul 15.30 saya sampai di pos bawah pohon. Sinar matahari masih terik mencekik. Tapi di sini terasa teduh berkat pohon yang rindang.

Segera saya menghempaskan carier ke bawah pohon, mengeluarkan tenda, dan mendirikan tenda di bawah pohon-pohon ini.

Baru saja frame tenda dilengkungkan...trek! Frame patah. Untung saja saya bawa sambungan darurat. Jadi tenda tetap bisa berdiri. Seberdiri tenda, pukul 16.00 saya melanjutkan perjalanan menuju telaga dan puncak.

Andai saja saya tidak bawah cadangan sambungan frame, maka patahnya frame tenda adalah salah satu kondisi darurat, yang membahayakan, bahkan mengancam nyawa pendaki.

Pasalnya, andai tenda gagal didirikan, maka pendaki bisa tidur seadanya tanpa tenda, dan ini sangat berbahaya, misalnya andai tiba-tiba hujan, apalagi badai. Hipotermia mengancam. Berdasarkan statistik, hipotermia adalah pembunuh pendaki nomor satu di gunung.

Jalur hutan hujan menuju pos Peninjauan (Dokpri)
Jalur hutan hujan menuju pos Peninjauan (Dokpri)
Pukul 16.30, hari Sabtu (13/2/2021), saya sudah tiba di tepian telaga Puti Sangka Bulan. Di atas telaga ini menjulang puncak gunung Talamau. Cuma butuh waktu 20-30 menit dari tepian telaga ini untuk mencapai puncak gunung Talamau.

Saya menikmati suasana telaga sejenak. Foto-foto. Bikin video. Dan salat. Karena sudah sore, dan angin berhembus cukup kuat, udara sekitar telaga terasa cukup dingin.

Di sekitar telaga Puti Sangka Bulan ada 12 buah lagi telaga, sehingga total ada 13 telaga. Tetapi jumlah telaga tersebut jarang terlihat semua saat pendaki sudah berada di puncak. Sering hanya terlihat 5-7 telaga saja. Lainnya terhalang semak dan pepohonan.

Tiba di puncak

Pukul 17.15 saya tiba di puncak. Suasana sepi. Tidak ada pendaki lain kecuali saya. Di atas puncak bergelayut awan kehitaman. Angin berhembus dengan kecepatan sedang membawa hawa dingin yang lumayan.

Puas foto-foto pakai hp dan bikin video pakai tripod dengan remote control, saya pun turun kembali ke telaga, dan rencana langsung kembali ke tenda.

Tiba di puncak 2.982 mdpl (Dokpri)
Tiba di puncak 2.982 mdpl (Dokpri)
Saya menghindari turun malam dari puncak Talamau. Sekaligus menghindari terjebak kabut di puncak saat mau turun. Mengapa?

Sebab, kabut rawan menyesatkan pendaki. Hal mana karena sekitar puncak banyak bebatuan, jalurnya sebagian lewat batu-batu itu, sebagian batu tersebut berwarna abu-abu keputihan, sehingga rawan mekamuflase jalur andai tertutup kabut yang juga berwarna putih.

Pukul 18.15 saya sudah tiba kembali di tepian telaga Puti Sangka Bulan. Lalu lanjut kembali ke tenda. Sampai di tenda pukul 18.30. Bertepatan matahari tenggelam. Senja kali ini benar-benar spektakuler. Kuanggap senja indah kali ini adalah penutup pendakian ke gunung Talamau.

Senja di gunung Talamau di muka tendaku (Dokpri)
Senja di gunung Talamau di muka tendaku (Dokpri)
REVIEW JALUR

Setelah melewati jalur Pinaga, dapat saya berikan ulasan pro (+) dan kontra (-) atas jalur ini, mudah-mudahan terus ada perbaikan demi kemajuan dunia pariwisata sekaligus dengan tetap mempertimbangkan faktor keselamatan dan kelestarian alam:

  • Pro (+)

Jalurnya bersih. Disebut-sebut sebagai jalur pendakian gunung paling bersih se-Indonesia. Salut! Kenyataan memang begitu. Sangat sulit menemukan satupun sampah sepanjang jalur hingga puncak.

Kebersihan gunung dari sampah demikian berkat upaya pihak Satgas atas nama Andrianto Anggara (Andri). Di posko lapor semua peralatan dan logistik para pendaki akan dihitung satu-satu. Saat turun akan dihitung lagi. Harus cocok.

Pola begini dapat ditiru oleh gunung-gunung yang relatif kotor oleh sampah, seperti gunung Marapi, Talang, Semeru, dan lain-lain.

  • Kontra (-)

Persyaratan pendakian gunung Talamau jalur Pinaga terbilang ribet. Selain diminta foto copy identitas dan surat keterangan sehat dari dokter/puskesmas, pendaki (saya) juga diminta surat pengantar dari organisasi pencinta alam, dan surat pengantar dari RT/RW yang diketahui oleh kepala desa/lurah asal pendaki.

Dua persyaratan terakhir tidak bisa saya penuhi waktu itu. Sempat terjadi perdebatan. Karena itu, sekembali dari pendakian, saya kirimkan surat tertulis berisi sumbang saran langsung kepada Kadis Pariwisata Pasaman Barat dan Satgas Pendakian gunung Talamau jalur Pinaga.

Tiba di Padang Siranjano dan telaga (Dokpri)
Tiba di Padang Siranjano dan telaga (Dokpri)
Dua persyaratan terakhir tersebut saya nilai berlebihan. Sebab, kenyataan umumnya pendaki tidak tergabung dalam organisasi pencinta alam atau pendaki independen, seperti saya. Selain itu, dari mana asal pendaki bisa diketahui cukup dengan foto copy identitas diri.

Surat keterangan berbadan sehat, pun, sebenarnya tidak relevan, tidak bermanfaat, cuma menambah rantai birokrasi dan biaya saja.

Pasalnya, surat keterangan sehat demikian sama sekali tidak menerangkan kesehatan/kekuatan fisik pendaki untuk naik gunung. Isi surat itu cuma pengukuran tinggi/berat badan sama tensi doang. Sama sekali tidak ada pengukuran kadar O2 dalam darah, kekuatan jantung, paru-paru, ginjal, dan daya tahan tubuh (endurance) secara umum untuk mendaki gunung.

Baca juga: Gunung Talamau Aman Didaki Sendirian, Berikut Tips dan Triknya

Berikut video perjalanan saya:


Salam lestari!

SUTOMO PAGUCI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun