Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Ketika Naik Gunung Sago Serasa KKN di Desa Penari

10 September 2019   19:38 Diperbarui: 20 Juli 2021   11:59 3332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak percaya hantu, tapi tetap merasa seram saat mendaki gunung Sago. Apalagi pendaki yang percaya hantu? Jangan lupa, di gunung Sago ada pos bernama "Gelanggang Hantu" loh. Dan inilah kisah pendakianku: seorang diri ke gunung Sago.

Tulisan ini sekaligus panduan pendakian bagi yang bermaksud pertama kali mendaki gunung Sago jalur Sikabu-Kabu. Saya berencana mendaki gunung berketinggian 2.261 mdpl ini selama dua hari, Sabtu-Minggu 7-8 September 2019.

Pohon itu patokan di pintu rimba (dokpri)
Pohon itu patokan di pintu rimba (dokpri)
Sebelum itu, hari Rabu 4 September 2019, saya sudah menghubungi nomor kontak Posko Pendakian Gunung Sago Jalur Kayu Kolek, Nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang, Kecamatan Luak, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat.

Di ujung telepon Is (pengelola Posko) mewanti-wanti agar tidak membawa cewek (baca: bukan muhrim) saat mendaki gunung Sago. Saya iyakan saja.

Is juga mewanti-wanti memulai pendakian paling lambat pukul 4 sore. Kembali saya iyakan, terbayang maksudnya: agar tidak kemalaman di jalan, karena gunung Sago adalah habitat binatang buas, seperti harimau Sumatera dan beruang, sehingga riskan mendaki malam.

Jalur menuju pintu rimba ke arah atas itu (dokpri)
Jalur menuju pintu rimba ke arah atas itu (dokpri)
Hari Jumat siang 6 September 2019 saya berangkat dari Padang menuju Kota Payakumbuh. Empat jam setelahnya, saya telah tiba di Kota Payakumbuh. Dari kota ini saya berkendara sekitar 20 menit ke arah selatan, menuju Panorama Kayu Kolek, di Nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang.

Jika belum tahu arah Panorama Kayu Kolek, cara terbaik adalah dengan menggunakan panduan Google Maps. Jauh lebih praktis ketimbang tiap sebentar turun dari kendaraan untuk bertanya, sebab cukup banyak persimpangan dari kota Payakumbuh hingga sampai ke objek wisata Panorama Kayu Kolek.

Panorama Kayu Kolek, titik awal pendakian (dokpri)
Panorama Kayu Kolek, titik awal pendakian (dokpri)
Dari kota Payakumbuh, gunung Sago nampak menjulang di arah selatan mata angin. Kelihatan jelas. Inilah salah satu gunung paling dekat kota akan tetapi tidak banyak didaki orang.

Saya sampai di Kayu Kolek mendekati pukul empat sore. Sesuai saran warga sekitar dan Is, saya memutuskan bermalam di Objek Wisata Panorama Kayu Kolek. Sekalian langsung mendaftar sore itu juga: tiket masuk per orang Rp10.000, parkir Rp20.000 (mobil) dan Rp10.000 (motor).

Kebetulan Objek Wisata Panorama Kayu Kolek baru selesai dibangun. Ada fasilitas toilet dan musala yang dapat dimanfaatkan selama bermalam.

Rambu di Panorama Kayu Kolek (dokpri)
Rambu di Panorama Kayu Kolek (dokpri)
Para peziarah gunung Sago dipersilakan bermalam di camping area yang telah disediakan di sekitar Panorama Kayu Kolek. Dari sini pemandangan malam sangat indah. Kota Payakumbuh terbentang di bawah sana.

Karena malas bongkar tas carrier dan buka tenda, saya memutuskan bermalam di musala. "Tidur di musala lebih hangat," kata Eki, salah seorang pengelola posko pendakian lainnya. Ada benarnya, tidur di musala lebih hangat, sebab sedikit angin masuk.

Pukul 7.30 keesokan harinya saya sudah bersiap untuk memulai trekking. Diantar oleh Erik naik motor, saya menuju ke pintu rimba. Pukul 7.45 saya memulai trekking dari pintu rimba.

Gerbang sekitar 100 meter setelah pintu rimba (dokpri)
Gerbang sekitar 100 meter setelah pintu rimba (dokpri)
"Ikuti saja patokan pohon besar itu," kata Erik di batas pintu rimba, seraya menujuk pohon besar di kejauhan.

Di bawah pohon besar itu ternyata ada area cukup untuk mendirikan satu tenda. Tak jauh darinya ada sumber air berupa pipa kecil milik penduduk lokal.

Dari bawah pohon besar itu telah terlihat gerbang pendakian, yang kelihatannya belum lama dibangun di sana. Dari sini butuh waktu sekitar dua jam berjalan normal hingga sampai di pos Gelanggang Hantu.

Pos Gelanggang Hantu (dokpri)
Pos Gelanggang Hantu (dokpri)
Di pos Gelanggang Hantu tidak ada sumber air, jadi saya diminta pastikan bawa air cukup dari pintu rimba. Persediaan air harus cukup hingga pos setelahnya, sebut saja pos Ndak Tolok Lee, yang ada sumber airnya, menurun ke lembah di kanan pos.

Trek dari pintu rimba hingga pos Gelanggang Hantu berupa tanjakan moderat sekitar 30 derajat. Tapi terus menanjak tanpa bonus.

Hari itu, Sabtu 7 September 2019. Cuaca pagi cerah. Angin berembus pelan. Hanya saja gunung Sago hanya nampak samar dari pintu rimba, diselimuti kabut asap kiriman dari provinsi tetangga.

Pondok terakhir dekat pintu rimba (dokpri)
Pondok terakhir dekat pintu rimba (dokpri)
Di bawah pohon patokan pintu rimba, bisa ngekem di sini (dokpri)
Di bawah pohon patokan pintu rimba, bisa ngekem di sini (dokpri)
Saya memulai perjalanan dari pintu rimba. Seorang diri. Benar-benar seorang diri, tidak ada guide, porter atau pendaki lain. Hari itu hanya ada satu orang pendaki gunung Sago dari jalur Sikabu-Kabu, yaitu saya.

Kebayang kan berjalan seorang diri dari pintu rimba menuju pos Gelanggang Hantu. Seorang diri. Pemutar musik tak kuhidupkan agar telinga lebih awas mendengar segala suara alam sepanjang perjalanan.

Trek dari pintu rimba menuju pos Gelanggang Hantu cukup jelas terlihat. Juga bersih. Paling sesekali ada ditemui pohon tumbang. Tetapi secara keseluruhan trek terlihat dengan jelas. Kalaupun ada persimpangan, pilih jalur yang paling jelas menuju ke atas, biasanya ada tanda berupa tali rafia.

Contoh trek pintu rimba menuju pos Gelanggang Hantu (dokpri)
Contoh trek pintu rimba menuju pos Gelanggang Hantu (dokpri)
Karakter hutannya: berupa rimba muda; tak terlihat ada pohon berukuran besar; jarak antar pohon juga relatif jarang. Dengannya sinar matahari bisa menerobos ke dalam rimba. Berjalan siang hari di dalamnya tidak terasa gelap.

Estimasi waktu dari pintu rimba hingga ke pos Gelanggang Hantu sekitar dua jam berjalan normal. Namun berhubung saya berjalan sendirian maka tak sampai dua jam sudah sampai ke pos Gelanggang Hantu, sekitar pukul 9.30.

Pos Gelanggang Hantu ternyata sangat bagus. Datar. Walau tak terlalu luas, paling muat sekitar empat tenda ukuran besar. Di sekelilingnya hutan rimba dengan pohon yang tidak terlalu rapat. Di bawah pohon-pohon itu nampak terang dan bersih, sedikit saja semak, seperti taman yang ditata secara alami.

Contoh trek setelah Gelanggang Hantu (dokpri)
Contoh trek setelah Gelanggang Hantu (dokpri)
Sambil menikmati secangkir kopi hitam tanpa gula, saya mendengar aneka suara alam di rimba raya sekitar pos Gelanggang Hantu. Ada suara burung-burung hantukah? Konon disebut "gelanggang hantu" karena di sini banyak burung hantu yang suka bernyanyi bersama dengan suara merdu.

Bagi sebagian orang burung hantu diasosiasikan pada hal-hal yang seram. Tapi bagiku burung ya burung. Berkegiatan luar ruang seorang diri memang dituntut berpikir dan bertindak serasional mungkin, kalau tidak ya bakal jadi horor.

Setelah setengah jam menikmati nyanyian burung hantu, saya beranjak meninggalkan pos Gelanggang Hantu menuju pos Ndak Tolok Lee. Treknya ternyata sedikit lebih menanjak dibanding dari pintu rimba ke pos Gelanggang Hantu. Tapi hutannya cantik sekali. Kicauan burung juga sangat ramai menemani sepanjang perjalanan.

Estimasi dari pos Gelanggang Hantu menuju pos/shelter Ndak Tolok Lee sekitar 1,5 jam berjalan normal. Tapi karena saya berjalan seorang diri, baru berjalan satu jam, saya sudah sampai di shelter Ndak Tolok Lee.

Sampai di pos ini, tanpa istirahat, saya langsung berjalan ke arah kanan shelter, ke arah sumber air bermaksud mengambil air.

Di papan, yang tertempel di batang pohon, tertulis: sumber air 30 meter. Nyatanya, sumber air jauh di dasar lembah, lebihlah 30 meter, mungkin nyaris 100 meter. Treknya curam diliputi akar-akar kayu yang licin kalau terinjak. Hati-hati saja. Ngos-ngosan saya memanjat tanjakan sambil menenteng ember berisi air lima liter.

Sumber air terakhir di shelter ini (dokpri)
Sumber air terakhir di shelter ini (dokpri)
Bagi saya horor sebenarnya bukan di Gelanggang Hantu. Tetapi di trek setelah shelter Ndak Tolok Lee ini. Etape terakhir menuju camping area bernama pos Puncak Robuang.

Di trek inilah saya memahami mengapa mendaki Sago sangat tidak dianjurkan berjalan malam. Jalur lebih menanjak lagi dan mulai diwarnai hutan lumut yang rapat. Malam pastinya sangat gelap, apalagi saat kabut.

Sementara di kiri-kanan jalur ada jurang yang sangat dalam, tersembunyi ditutupi hutan lumut. Saat melangkah harus ekstra hati-hati, jangan sampai tergelincir masuk jurang. Bisa-bisa wassalam.

Contoh trek menuju puncak Robuang, di kiri-kanan jurang (dokpri)
Contoh trek menuju puncak Robuang, di kiri-kanan jurang (dokpri)
Kadang-kadang pijakan kaki di atas jalinan akar-akar kayu. Beberapa titik di antaranya berlobang, yang lobangnya mengarah ke jurang. Jika salah menginjakkan kaki bisa-bisa kaki kejeblos lobang itu. Nauzubillah.

Modal utama saya mendaki gunung adalah: kaki. Karena itu saya sangat berhati-hati menggunakan kaki. Jangan sampai cidera, akibatnya bisa sangat fatal bagi seorang pendaki yang berjalan seorang diri. Siapa yang menolong?

Baru berjalan sekitar lima menit dari pos Ndak Tolok Lee, saya bertemu delapan orang pendaki asal Pariaman yang sedang turun. Mereka bercerita, di camp area puncak Robuang tidak ada pendaki lain. Artinya, saya akan benar-benar sendirian.

Trek menuju puncak Robuang (dokpri)
Trek menuju puncak Robuang (dokpri)
Estimasi dari pos/shelter Ndak Tolok Lee hingga ke camping area terakhir (pos puncak Robuang) adalah dua jam perjalanan. Namun karena saya berjalan seorang diri, baru 1,5 jam berjalan sudah sampai di puncak Robuang.

Puncak Robuang ternyata indah sekali. Tidak terlalu luas, paling muat sekitar 5-6 tenda ukuran besar. Dari sini pemandangan kota Payukumbuh terhampar di bawah. Pemandangan malam pastinya sangat indah: lampu-lampu kota yang terang. Sayangnya, kabut asap menghalangi pemandangan siang-sore ini.

Saya langsung mendirikan tenda. Menghadap ke panorama kota Payakumbuh. Setelahnya masak untuk makan siang.

Selepas makan siang di puncak Robuang (dokpri)
Selepas makan siang di puncak Robuang (dokpri)
Memandang panorama kota Payakumbuh terhalang kabut asap (dokpri)
Memandang panorama kota Payakumbuh terhalang kabut asap (dokpri)
Karena jarak puncak utama (top) Sago hanya sekitar 20 menit dari puncak Robuang, saya memutuskan langsung muncak sore itu. Pukul 16.00 saya meninggalkan tenda ditemani kabut yang makin pekat.

Jalur ke top Sago ternyata sangat ekstrim. 20 menit yang mendebarkan. Tanjakan curam, beberapa tegak lurus, harus bergelantungan di akar-akar kayu, kadang harus menyusup di celah sempit. Sementara di kiri-kanan jalur jurang yang sangat dalam. Sedangkan sore itu jarak pandang kurang bagus karena kabut asap dan kabut cukup tebal. Benar-benar serem.

Muncak sore seorang diri. Suasananya serem. (Dokpri)
Muncak sore seorang diri. Suasananya serem. (Dokpri)
Contoh trek menuju top puncak, kiri-kanan jurang dalam (dokpri)
Contoh trek menuju top puncak, kiri-kanan jurang dalam (dokpri)
Benar saja. 16.20 saya sudah sampai ke top Sago. Ternyata top Sago berupa tanah sempit yang di atasnya berdiri pohon-pohon lumayan besar. Terkepung rimba. Jadi tidak ada pemandangan sekeliling di puncak Sago.

Tak lama di puncak, setelah foto-foto sebentar, saya pun kembali turun ke puncak Robuang. Jam baru menunjukkan pukul 16.30 sore, tapi pemandangan di sekitar sudah hampir gelap. Hutan lebat dan kabut cukup tebal membuat jarak pandang makin pendek.

Susana top puncak Sago sore itu (dokpri)
Susana top puncak Sago sore itu (dokpri)
Belum sampai di tenda tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Segera saya berlari secepat mungkin menuju tenda, sebab lupa bawa mantel.

Sore itu tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemandangan. Kabut terlalu tebal. Kota Payakumbuh di bawah hanya nampak samar-samar dibalik kabut asap. Sambil masak untuk makan malam, saya ke luar tenda menikmati suasana sekitar.

Seiring hari mulai gelap, teror mulai berdatangan! Tiba-tiba melintas tikus gunung raksasa berwarna abu-abu. Hampir sebesar betis orang dewasa. Nampaknya tikus ini mencium bau makanan dari tendaku. Jumlahnya ternyata tidak hanya satu ekor.

Tenda jelang sore (dokpri)
Tenda jelang sore (dokpri)
Satu-satunya tenda di puncak Robung saat itu (dokpri)
Satu-satunya tenda di puncak Robung saat itu (dokpri)
Aku tak suka tikus gunung. Biasanya tikus gunung suka mencuri makanan, melobangi tenda, menggigit ember air hingga bocor, atau tiba-tiba masuk ke kantong tidur. Sampai-sampai tengah malam terbawa mimpi tikus gunung menarikku ke luar tenda!

Teror tikus gunung (suara mencicit, keresek-keresek sekitar tenda, dan lebih-lebih dalam pikiran) membuatku kurang nyenyak tidur. Sebangun subuh aku langsung memasak sarapan, sambil menikmati sunrise di samping tenda.

Menu makan siang: nasi dan rendang (dokpri)
Menu makan siang: nasi dan rendang (dokpri)
Cemilan lempuk (dodol durian murni) khas Bengkulu (dokpri)
Cemilan lempuk (dodol durian murni) khas Bengkulu (dokpri)
Pukul 08.00, Minggu 8 September 2019, aku telah selesai packing. Langsung turun menuju pintu rimba. Estimasi turun setengah waktu untuk naik, jadi sekitar 2,5 jam. Namun karena aku berjalan sendiri, pukul 10.00 sudah sampai di pintu rimba.

Pendakian solo kali ini tidak seseram yang dibayangkan. Sangat menyenangkan. Dengannya lunaslah "hutangku" mendaki 7 gunung yang biasa didaki orang di Sumatera Barat secara solo (sendirian), kecuali gunung Talamau karena dulu didaki bersama kawan.(*)

Gunung tempat orang-orang berani (dokpri)
Gunung tempat orang-orang berani (dokpri)
Kontak posko Sikabu (dokpri)
Kontak posko Sikabu (dokpri)
Daftar objek wisata di Kayu Kolek (dokpri)
Daftar objek wisata di Kayu Kolek (dokpri)
Salah satu sudut di Kayu Kolek (dokpri)
Salah satu sudut di Kayu Kolek (dokpri)
Pelataran panorama Kayu Kolek (dokpri)
Pelataran panorama Kayu Kolek (dokpri)
Pelataran tempat parkir di objek wisata Kayu Kolek (dokpri)
Pelataran tempat parkir di objek wisata Kayu Kolek (dokpri)
Panorama di Kayu Kolek (dokpri)
Panorama di Kayu Kolek (dokpri)
Rumah Hobbit di Kayu Kolek (dokpri)
Rumah Hobbit di Kayu Kolek (dokpri)
Peninjauan panorama Kayu Kolek (dokpri)
Peninjauan panorama Kayu Kolek (dokpri)
Sunrise di puncak Robung pagi itu (dokpri)
Sunrise di puncak Robung pagi itu (dokpri)
SUTOMO PAGUCI 

Bila berkenan sila ikuti juga media sosial saya lainnya:

YouTube: https://www.youtube.com/channel/UC_fpP2LuhpRmbO26BkmR27Q

Instagram: https://instagram.com/tompaguci 

Twitter: https://twitter.com/tompaguci 

Facebook: https://www.facebook.com/sutomopaguci

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun